Opini

Tambang Antara Dampak Lingkungan dan Masa Depan Energi Aceh

Menurut Ahrens dan Morrissey (2005), batubara hanya berdampak buruk pada ekosistem laut jika dalam jumlah besar, yang tidak terjadi dalam kasus ini.

Editor: mufti
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS
Ir Izzan Nur Aslam ST MEng, dosen Program Studi Teknik Pertambangan USK dan Industri-Academia Liaison di PERHAPI Aceh. 

Ir Izzan Nur Aslam ST MEng, Dosen Program Studi Teknik Pertambangan USK dan Industry-Academia Liaison di PERHAPI Aceh

ACEH kaya akan sumber daya alam seperti batubara, emas, bijih besi, batu kapur, dan lainnya. Namun isu utama sering teralihkan oleh kekhawatiran yang kurang mendesak, yang terkadang tidak dilihat dengan bijak. Masalah yang lebih krusial adalah pertambangan ilegal yang merusak lingkungan dan ancaman transisi energi saat batubara habis. Untuk solusi efektif, penting memprioritaskan masalah yang nyata dan berdampak besar.

Pencemaran batubara

Pada Juli 2023, insiden tumpahan batubara di Pantai Peunaga Pasie, Aceh Barat, menimbulkan kekhawatiran pencemaran laut. Namun, kajian menyatakan batubara yang tumpah bukan dari tambang lokal dan tumpahan dapat diatasi dengan cepat. Menurut Ahrens dan Morrissey (2005), batubara hanya berdampak buruk pada ekosistem laut jika dalam jumlah besar, yang tidak terjadi dalam kasus ini.

Meski begitu, menurut Zhang (2023), dampak batubara yang lebih signifikan justru berasal dari pembangkit listriknya, di mana proses pembakaran batubara menghasilkan 947,40 gram emisi gas CO2 eq, jauh lebih besar dari penambangannya (19,27 gram CO2 eq). Dalam konteks global, ini cukup mengkhawatirkan, terutama dalam isu perubahan iklim.

Meski ada potensi pengasaman tanah dan air dari sulfur oleh batubara, batubara Aceh sendiri mengandung sulfur rendah (~0,3 persen) (Firdaus, 2022). Alhasil, risiko kerusakan biota laut dari konteks pengasaman ini sangat kecil.
Menilik lebih lanjut, tambang batubara di Aceh berlokasi di pedalaman, dengan jarak aman operasi yang jauh dari pemukiman. Ukuran batubara hasil peremukan (crushing) yang besar (50 mm hingga 200 mm) dan kandungan air tinggi (45 persen, kelas subbituminus) membuatnya tidak mudah terbawa angin, kecuali sangat halus dan kering (Firdaus, 2022; Putra & Rosalinda, 2020). Selain itu, menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, & Geofisika dari 2013-2022, curah hujan di Aceh Barat juga menengah ke tinggi, mencapai 152,87 mm per bulan (Fianda, 2023).

Hal ini kemudian jauh mengurangi potensi timbulan debu. Dengan analisis sederhana tersebut, hampir tidak mungkin batubara dari operasi penambangan mencapai rumah penduduk.

Studi debu jalan tambang PT Bara Energi Lestari oleh Ramadhan (2023) juga menunjukkan kadar debu siang dan malam hari (4,5 dan 16,5 mg/m3 untuk PM2,5 dan PM10) jauh di bawah batas baku mutu Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia (RI) Nomor 22 tahun 2021 dan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Hasil studi tersebut bahkan menunjukkan hasil yang lebih baik dari hasil Baristand Banda Aceh pada 1 Desember 2022, yang juga masih di bawah ambang batas (13,7 dan 27,23 mg/m3 untuk PM2,5 dan PM10). Selain itu, penyiraman rutin dengan water truck (2-3 kali/jam) juga dilakukan untuk menjaga jarak pandang aman bagi pengemudi hauling truck (Ramadhan, 2023).

Keseluruhan data tersebut telah menunjukkan bahwa batubara Aceh tidak berkontribusi signifikan terhadap debu di pemukiman. Oleh karena itu, penelitian yang lebih komprehensif dari hulu hingga hilir sangat diperlukan untuk memahami dampaknya (bukan tidak mungkin hingga ke aspek sosial dan kesehatan), karena sejatinya rantai industri tambang tidak serta merta hanya proses penambangan saja.

Sebuah dilema

Pertambangan ilegal di Aceh, terutama komoditas mineral, menggunakan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida, malah cenderung merusak lingkungan dan mengancam kesehatan. Penelitian Aflah dkk. (2023) menemukan 13 dari 20 sampel air di wilayah tambang ilegal di Aceh mengandung merkuri melebihi batas aman sesuai standar Kementerian Kesehatan RI. Merkuri, yang sulit terurai, dapat menyebabkan dampak jangka panjang, terutama bagi anak-anak.

Oleh karena itu, fokus seharusnya diarahkan pada bahaya pertambangan ilegal, bukan pada isu pertambangan batubara yang lebih minimal dampaknya dalam konteks lokal. Selain kerusakan lingkungan, pertambangan ilegal menimbulkan masalah sosial karena banyak masyarakat pedalaman bergantung pada tambang, sebuah kompleksitas lainnya. Seperti di banyak negara berkembang, masyarakat tidak punya pilihan selain bekerja di tambang tradisional tersebut meskipun berisiko tinggi.

Selain itu, pertambangan dengan tipikal tradisional hingga skala kecil-menengah ini cenderung sulit ditelusuri besar kontribusinya ke daerah, di mana alamnya rusak, namun kontribusinya minim.

Solusi berkelanjutan dari studi kasus di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia, seperti teknologi penambangan ramah lingkungan dan murah, terbukti membantu masyarakat tetap memperoleh penghasilan tanpa merusak lingkungan. Studi Aslam, Orcon, dan Klein (2022) menunjukkan bahwa sistem pengolahan mineral yang efisien dapat diterapkan di Aceh dengan kolaborasi berbagai pihak untuk menciptakan solusi yang menguntungkan semua.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved