Opini
Pemimpin Profesional dan Kolaboratif
Bustami dikenal dengan program-program inovatif, sementara Muzakir Manaf memiliki rekam jejak dalam pembangunan daerah.
Machfud Azhari SE MSM, Wakil Dekan II FIKES Universitas Muhammadiyah Mahakarya Aceh dan Wakil Ketua KNPI Bireuen
ACEH sebagai salah satu provinsi di Indonesia, memiliki keunikan tersendiri. Dari segi budaya, sejarah, dan sumber daya alam, Aceh kaya akan potensi yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Namun, dalam konteks pemerintahan dan kepemimpinan, Aceh dihadapkan pada berbagai tantangan yang memerlukan pemimpin yang tidak hanya profesional. Tetapi juga mampu menyelesaikan masalah yang kompleks.
Tanpa terasa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang hampir dekat mengundang sejumlah pertanyaan di kalangan masyarakat. Menjelang Pilkada Aceh, perdebatan mengenai siapa calon gubernur dan wakil gubernur Aceh yang dapat menghadirkan kesejahteraan sekaligus profesional dalam menyelesaikan setiap masalah menjadi sangat penting. Baik pasangan Bustami Hamzah dan M Fadhil Rahmi maupun pasangan Muzakir Manaf dan Fadhlullah. Masing masing kandidat memiliki pengalaman dan visinya masing-masing.
Bustami dikenal dengan program-program inovatif, sementara Muzakir Manaf memiliki rekam jejak dalam pembangunan daerah. Keduanya perlu menunjukkan komitmen dan strategi yang jelas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh. Pilihan tergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap visi dan misi yang mereka tawarkan.
Tantangan
Aceh memiliki sejumlah tantangan yang cukup signifikan. Dampak dari konflik berkepanjangan yang terjadi sebelum penandatanganan MoU Helsinki pada tahun 2005 masih terasa hingga kini. Masyarakat Aceh sering kali mengalami trauma sosial dan psikologis yang berimplikasi pada stabilitas sosial. Sejumlah tantangan akan dihadapi oleh pemimpin selanjutnya antara lain:
Pertama, kemiskinan masih menjadi tantangan bagi Aceh. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh Persentase penduduk miskin di Aceh mengalami penurunan dari 14,45 persen pada Maret 2023 menjadi 14,23 persen pada Maret 2024. Di daerah pedesaan, persentase penduduk miskin mengalami penurunan dari 16,92 persen menjadi 16,75 persen (-0,17 poin). Sedangkan di perkotaan, persentase penduduk miskin mengalami penurunan dari 9,79 persen menjadi 9,60 persen (-0,19 poin). Aceh masih menjadi daerah termiskin di Sumatra dan ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin yang selanjutnya.
Kedua, dana Otonomi Khusus yang akan berakhir pada tahun 2027 juga akan menjadi tantangan sendiri. Pada 2023 lalu, Aceh hanya menerima dana Otsus satu persen dana yang berasal dari platform dana alokasi umum nasional. Pada tahun tahun 2022 Aceh menerima Rp7,56 triliun maka pada tahun 2024 Aceh hanya menerima dana Otsus Rp3,9 triliun atau setengahnya hingga tahun 2027. Pemerintah perlu mencari sumber-sumber pemasukan yang baru melalui Investasi untuk menopang keuangan daerah pasca Otonomi Khusus berakhir.
Ketiga, pendidikan sebagai salah satu masalah besar di Aceh. Pemimpin yang profesional dapat menginisiasi program pelatihan guru, memperbaiki infrastruktur sekolah, serta mendorong partisipasi orang tua dalam pendidikan anak. Dengan pendekatan yang inklusif, masalah ini dapat diatasi secara bertahap.
Keempat, ekonomi Aceh memiliki potensi ekonomi yang besar, terutama dalam sektor pertanian dan perikanan. Pemimpin yang inovatif dapat mendorong pengembangan koperasi petani dan nelayan, serta memfasilitasi akses ke pasar. Selain itu, pemimpin harus mampu menarik investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima, kesehatan menjadi kebutuhan terpenting, dimana layanan kesehatan di daerah terpencil masih sangat terbatas. Pemimpin yang peka terhadap isu kesehatan dapat mendorong pembangunan puskesmas, serta program kesehatan masyarakat yang berfokus pada pencegahan penyakit. Kerja sama dengan organisasi nonpemerintah juga dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan.
Keenam, pengelolaan sumber daya alam. Aceh kaya akan sumber daya alam, tetapi pengelolaannya sering kali tidak berkelanjutan. Pemimpin yang profesional perlu merumuskan kebijakan yang berbasis pada prinsip keberlanjutan, melibatkan masyarakat dalam pengelolaan, serta mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan.
Pemimpin profesional
Pentingnya pemimpin yang profesional yang memiliki, keahlian dan kompetensi di bidang yang dikelolanya. Dalam konteks Aceh, pemimpin profesional perlu memahami berbagai aspek, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, hingga politik. Mereka harus mampu menganalisis situasi secara objektif dan membuat keputusan yang berbasis data. Selain itu, pemimpin profesional juga harus memiliki integritas yang tinggi, sehingga masyarakat dapat mempercayai mereka untuk mengelola sumber daya dan mengambil keputusan yang penting bagi masa depan Aceh.
Menjadi pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan kreativitas, inovasi, serta kemampuan beradaptasi terhadap perubahan. Pemimpin yang efektif harus mampu mengidentifikasi masalah secara tepat, merumuskan solusi, dan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Ini penting karena banyak masalah di Aceh tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan top-down. Melainkan, keterlibatan masyarakat lokal sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan solusi yang diimplementasikan.
Pemimpin yang Profesional serta problem solver akan berorientasi pada kepentingan masyarakat bukan pada kelompok sendiri maupun konstituen yang memodali di saat pemilihan kepala daerah. Peter F Drucker salah seorang ahli manajemen menyebutkan bahwa daerah yang salah urus sering kali mengalami masalah dalam pengelolaan sumber daya dan penerapan kebijakan yang efektif. Ia berpendapat bahwa banyak daerah yang tidak mampu memaksimalkan potensi yang ada akibat kurangnya visi, koordinasi dan kepemimpinan yang baik. Ia menyimpulkan bahwa tidak ada daerah yang miskin, yang ada adalah salah urus.
Membangun kolaborasi
Kepemimpinan yang baik tidak hanya bersifat individu, tetapi juga kolektif. Aceh memerlukan pemimpin yang mampu membangun kolaborasi antarberbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Dengan menciptakan ekosistem kolaboratif, masalah-masalah yang kompleks dapat diselesaikan dengan lebih efektif. Misalnya, dalam pengembangan infrastruktur, kerja sama antara pemerintah daerah dan pihak swasta dapat mempercepat realisasi proyek yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam mendorong terciptanya pemimpin yang profesional dan problem solver. Partisipasi aktif masyarakat dalam pemilihan umum dan proses pengambilan keputusan dapat menjadi salah satu cara untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Edukasi politik dan kesadaran masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka juga sangat penting untuk menciptakan iklim demokrasi yang sehat di Aceh.
Aceh membutuhkan pemimpin yang tidak hanya profesional tetapi juga memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang ada. Tantangan yang dihadapi provinsi ini sangat kompleks dan memerlukan pendekatan yang holistik. Pemimpin yang mampu berkolaborasi dengan masyarakat, memahami berbagai isu secara mendalam, serta berkomitmen untuk memajukan Aceh akan menjadi kunci keberhasilan dalam mewujudkan harapan masyarakat.
Dengan demikian, Aceh tidak hanya akan menjadi daerah yang kaya akan sumber daya, tetapi juga menjadi provinsi yang sejahtera dan berkeadilan bagi seluruh warganya.
Opini Hari Ini
Penulis Opini
Jelang Pilkada Aceh
Pemimpin Profesional dan Kolaboratif
Machfud Azhari SE MSM
Damai bukan Sekadar Indah, tapi juga Mahal |
![]() |
---|
Kawasan Strategis Regional dan Keterbukaan Ekonomi Aceh |
![]() |
---|
Harapan Kepada 17 Guru Besar UIN Ar-Raniry, Penuntun Cahaya Bagi Umat |
![]() |
---|
Humas dan Media di Era Digital, Ibarat Jembatan dan Jalan Membangun Komunikasi dan Citra Institusi |
![]() |
---|
Ayah, Pulanglah dari Warung Kopi, Semai Cinta di Rumah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.