Menuju Pilkada Aceh 2024

TPHD Sorot Panwaslih Aceh, Dianggap tidak Serius Awasi Tahapan Pilkada

Belum terlihat kemampuan Panwaslih mengawasi secara adil dan serius setiap tahapan yang sudah berjalan dari agenda Pilkada Aceh.

|
Editor: IKL
Serambinews.com
Ketua Tim Pembela Hukum dan Demokrasi Aceh (TPHD-Aceh), Teuku Alfian SH. 

SERAMBINEWS.COM - Tim Pembela Hukum dan Demokrasi (TPHD) Aceh menyorot profesionalisme, netralitas dan kemampuan para komisioner Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh.

Menurut Teuku Alfian SH, Koordinator TPHD,  Panwaslih Aceh belum mampu menunjukkan sikap dan tindakan profesional.

Dan juga belum terlihat kemampuan Panwaslih mengawasi secara adil dan serius setiap tahapan yang sudah berjalan dari agenda Pilkada Aceh.

"Bisa dikatakan, mereka tidak fokus, terkesan main-main dan anggap enteng, serta sangat bias dalam mengawasi jalannya tahapan Pilkada secara menyeluruh," ujar Alfian.

Teuku Alfian mengungkapkan bahwa faktanya terdapat sejumlah dugaan pelanggaran yang terjadi dan dilakukan oleh penyelenggara pemilihan sejak awal tahapan dimulai.

Hal ini menurutnya, mudah terjadi karena tidak berjalannya fungsi pengawasan yang baik dan netral dari Panwaslih Aceh. 

“Fungsi pengawasan Panwaslih itu kan melekat dan sepenuhnya. Artinya wajib terlibat intens dan adil, disetiap proses tahapan Pilkada,"

"Semua kebijakan dan keputusan KIP Aceh dalam bentuk apapun wajib melibatkan dan diberitahukan ke Panwaslih,"

"Sehingga tidak ada ruang pelanggaran yang akan terjadi. Apalagi ruang kecenderungan untuk memihak, Itulah tugas pokok dan fungsi pengawas, apalagi dikenal juga fungsi dan tugas supervisi dari Panwas,” ujar Teuku Alfian.

Baca juga: BREAKING NEWS - Rohingya Kembali Mendarat di Aceh Timur, Enam Tewas di Tengah Laut

Baca juga: Seleksi Administrasi PPPK 2024 Sudah Diumumkan, Begini Cara Cek Lolos atau Tidak

Selain itu, sambung Teuku Alfian, minimnya kapasitas Komisioner Panwaslih Aceh juga salah satu faktor sumber masalah mendasar. 

"Kita juga pantau dan cermati, bagaimana langkah mereka menyikapi dan menindaklanjuti laporan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Komisioner KIP Aceh," tuturnya.

Beberapa waktu lalu, ia menyebutkan, tim dari salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Aceh melaporkan Komisioner KIP Aceh ke Panwaslih.

Atas laporan tersebut, sambung Alfian, Panwaslih melakukan klarifikasi secara terpisah terhadap komisioner KIP Aceh.

Padahal, tambahnya, komisioner KIP itu kolektif kolegial, sehingga seharusnya diperiksa bersamaan dalam satu waktu tertentu.

"Ini kok malah terpisah-pisah, apa dasar pertimbangannya? Jangan-jangan ada motif aneh tertentu di belakang ini semua,"

"Bisa saja ada yang akan dikorbankan dan ada yang ingin diselamatkan, mencoba memilah-milah siapa yang harus bersalah,”  tegas Teuku Alfian.

Parahnya lagi, sambung Alfian, setelah melakukan proses klarifikasi yang tergolong aneh, Panwaslih lantas mengeluarkan rekomendasi bahwa KIP Aceh telah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu. 

Namun, Panwaslih tidak pernah menjelaskan kepada publik secara terang-benderang hasil klarifikasi, dan apa detail kesalahan dan peraturan mana yang diduga dilanggar oleh KIP Aceh. 

"Proses kan sudah selesai, kalau mereka yakin sudah jalankan prosedur yang benar, tentu mereka berani buka dokumen risalah pemeriksaan dan absensi, karena itu bukan rahasia negara kok," tanda Teuku Alfian.

Baca juga: Akademisi: KIP Tamiang Harus Jalankan Putusan PTTUN

Baca juga: Tak Ada Jaringan Internet, Puluhan Murid SD di Sungai Mas Aceh Barat Ikut Ujian ANBK di Bukit Hutan

Lebih jauh lagi dan semakin aneh, terang Teuku Alfian, setelah mengeluarkan rekomendasi pelanggaran kode etik tersebut, Panwaslih melaporkan Komisioner KIP Aceh ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). 

"Terhadap laporan itu, kita dapati dalam laman website resmi DKPP bahwa laporan tersebut Belum Memenuhi Syarat (BMS), karena terdapat kekurangan formil dan materil dalam laporan tersebut," ungkapnya.

Kekurangan formil dan materil dalam laporan tersebut, disebutkannya, antara lain: kesalahan tentang legal standing atau kedudukan hukum terlapor atau teradu, tidak ada uraian kronologis peristiwa yang dilaporkan.

Selain itu, kekurangan lainnya adalah alat bukti kabur tanpa kodefikasi, tidak ada surat pernyataan saksi yang diajukan, serta tidak menyertakan masing masing-masing alat bukti utama pada setiap dalil pokok yang dilaporkan.

“Surat BMS laporan Panwaslih ke DKPP ini jelas menunjukkan Panwaslih tidak faham syarat formil dan materil yang wajib dipenuhi dalam setiap aduan ke DKPP. Harusnya mereka sudah khatam tentang hal ini,"

"Ini kan pengetahuan dasar, sangat mendasar, dan setiap mereka wajib memiliki pengetahuan soal ini sebelum mengajukan diri sebagai Komisioner Panwaslih, karena mereka akan bertugas sebagai penyelenggara dalam hal pengawasan pemilu," urai Teuku Alfian.

"Jika hal mendasar seperti ini saja mereka tidak faham, dan apalagi jika sampai tujuh hari batas waktu yang diberikan DKPP mereka tidak mampu penuhi semua kekurangan syarat pelaporan, maka wajar saja publik curiga. Jangan-jangan laporan itu sudah didesign untuk gagal dengan sendirinya," timpalnya.

Makanya, ujar Alfian, publik semakin curiga terhadap rumor adanya permufakatan antar penyelenggara di luar tupoksi kelembagaan. 

"Wajar jika publik mempertanyakan kemampuan dan netralitas Panwaslih Aceh, apalagi dengan status AdHoc yang cuma beberapa bulan masa kerja, mereka sepenuhnya menggunakan puluhan miliar dana APBA,” tutup Teuku Alfian.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved