Breaking News

KUPI BEUNGOH

Pilkada 2024, Momentum Menentukan Pemimpin Ideal untuk Aceh

Rakyat Aceh perlu menjadikan Pilkada 2024 sebagai momentum untuk memilih pemimpin ideal yang mampu membawa perubahan nyata bagi masa depan Aceh.

Editor: Yocerizal
Serambinews.com
Zahrul Fadhi Johan, Anggota Bawaslu Kota Banda Aceh. 

Serta memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dan bijaksana dalam menyelesaikan berbagai persoalan Aceh.

Bijak dalam Memilih

Menentukan pemimpin yang ideal untuk memimpin Aceh lima tahun ke depan bukanlah perkara mudah. Di era sekarang, kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi telah mengubah cara masyarakat dalam menentukan pilihannya.

Segala informasi dapat dengan mudah dimanipulasi, dan penyebaran berita hoaks, black campaign (kampanye hitam), dan negative campaign (kampanye negatif), menjadi hal yang lumrah.

Baca juga: Pedagang Mi Caluk Dapat Hadiah Utama Sepeda Listrik dalam Jalan Sehat Pilkada Damai di Pidie Jaya

Baca juga: VIDEO Jurnalis Tel Aviv Diteror Warga Belanda saat Meliput, Massa Teriakkan Slogan Menentang Israel

Manipulasi data dan informasi juga sering terjadi secara masif dan tanpa kendali. Situasi ini menciptakan tantangan besar bagi pemilih untuk memilah informasi yang benar dan relevan demi menentukan pilihan yang tepat.

Selain itu, politik identitas dan politisasi agama menjadi isu krusial yang kerap dimainkan dan dipolitisasi oleh para calon, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. 

Para calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, tidak luput dalam memanfaatkan isu-isu ini sebagai strategi untuk memperoleh dukungan, yang dapat memecah belah masyarakat dan mengaburkan fokus pada kualitas kepemimpinan.

Lebih lanjut, tantangan terbesar dalam Pilkada Aceh adalah praktik money politic (politik uang) yang sering digunakan untuk mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan. 

Praktik ini jelas dilarang dalam undang-undang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU Nomor 10 Tahun 2016, yang mengatur larangan politik uang dalam pemilihan, serta ketentuan sanksi tegas tercantum dalam Pasal 187A ayat (1) dan (2). 

Bagi penerima maupun pemberi suap, ancaman hukumannya adalah pidana penjara selama 36 hingga 72 bulan, serta denda sebesar Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.

Dalam konteks ini, lembaga pengawas di Aceh, yakni Panwaslih, memiliki peran penting dalam menegakkan keadilan dan mewujudkan demokrasi yang bersih pada Pilkada Aceh. 

Pengawas tidak hanya bertugas mengawasi jalannya pemilihan secara langsung, tetapi juga berperan aktif dalam mencegah dan mengambil tindakan tegas terhadap segala bentuk pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh peserta maupun masyarakat pada setiap tahapan kontestasi.

Selain itu, penyelenggara pemilihan, dalam hal ini Komisi Independen Pemilihan (KIP), diharapkan dapat bersikap netral dan tidak melanggar ketentuan yang telah ditetapkan selama proses tahapan berlangsung.

Baca juga: Nasib Pengantin Baru, Habiskan Malam Pertama di Polsek Gegara Isi Tas Petugas Catering saat Resepsi

Baca juga: Bom Bunuh Diri di Stasiun Kereta Pakistan Tewaskan 26 Orang Termasuk Tentara, Puluhan Terluka

Kemudian, peran paling penting dalam pelaksanaan pemilihan adalah keterlibatan seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemangku kepentingan, dalam mengawal setiap tahapan. 

Dengan adanya pengawasan yang aktif dari masyarakat, diharapkan pemilihan di Aceh dapat berjalan dengan damai tanpa adanya tekanan atau intimidasi dalam bentuk apa pun.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved