Breaking News

Berita Banda Aceh

Pencabutan Qanun KKR Aceh Dinilai Berdampak Negatif Bagi Korban Konflik

Ia menilai pencabutan qanun tersebut akan berdampak negatif serta dapat merugikan upaya rekonsiliasi dan hak-hak korban konflik yang diatur dalam MoU

|
Penulis: Rianza Alfandi | Editor: Faisal Zamzami
SERAMBINEWS.COM/IST
Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Tasrizal. 

Laporan Rianza Alfandi | Banda Aceh 

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Tasrizal mengatakan perlu kajian mendalam terkait surat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang meminta Pemerintah Aceh mencabut Qanun Nomor 17 Tahun 2013 Tentang KKR.

Ia menilai pencabutan qanun tersebut akan berdampak negatif serta dapat merugikan upaya rekonsiliasi dan hak-hak korban konflik yang diatur dalam MoU Helsinki.

"Kami sangat menyesalkan arahan ini, karena Qanun KKR Aceh merupakan landasan hukum yang penting dalam proses rekonsiliasi pasca-konflik. Pencabutannya akan merugikan korban yang sudah menunggu keadilan," ujar Tasrizal dalam keterangannya, Rabu (13/11/2024). 

Pencabutan qanun KKR Aceh, kata Tasrizal, juga akan menghentikan mekanisme hukum yang memberikan akses bagi korban konflik untuk mencari keadilan dan kebenaran. 

KKR Aceh telah berfungsi sebagai lembaga yang membantu menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis pada keadilan restoratif.

Tasrizal khawatir jika Qanun ini dicabut maka sangat banyak korban yang tidak akan mendapatkan haknya dalam proses rekonsiliasi. 

Baca juga: Kemendagri Minta Aceh Cabut Qanun KKR, Pusat Khianati Semangat Damai

"Bagaimana kita bisa berbicara tentang perdamaian tanpa memberikan hak kepada korban untuk mengungkapkan kebenaran dan mendapatkan ganti rugi. Qanun ini adalah payung hukum yang memberi ruang bagi proses tersebut," tuturnya.

Ia menjelaskan, berdasarkan perspektif hukum Qanun KKR Aceh dilahirkan sebagai bagian dari implementasi MoU Helsinki yang disepakati antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005. 

Dalam MoU tersebut, terdapat komitmen untuk mengakui hak korban konflik, termasuk proses rekonsiliasi dan pemulihan. 

Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang memberikan dasar hukum bagi Aceh untuk mengatur urusan pemerintahan termasuk pembentukan qanun yang berlaku di tingkat provinsi.

Tasrizal menegaskan, pencabutan qanun ini bertentangan dengan prinsip otonomi daerah yang diatur dalam UUPA dan melemahkan upaya pemerintah untuk menegakkan keadilan bagi korban. 

"Pencabutan ini tidak hanya berpotensi merusak proses rekonsiliasi, tetapi juga dapat merusak kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam menghormati perjanjian damai yang sudah disepakati," ungkapnya.

Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat Aceh dan seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mempertahankan Qanun KKR Aceh. 

Ia juga meminta pemerintah pusat untuk mempertimbangkan dengan seksama dampak pencabutan qanun ini terhadap masa depan perdamaian dan rekonsiliasi di Aceh, serta untuk menghormati kewenangan yang diberikan kepada Aceh berdasarkan UUPA.(*)

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved