Kupi Beungoh

Selamat Jalan Tun Daim: Biar Jasa Jadi Kenangan

Tun Daim, laksana seorang mentor, selalu meluangkan waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya tersebut.

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Selamat Jalan Tun Daim: Biar Jasa Jadi Kenangan 

Setelah selesai berdiskusi dengan staf Tun Mahathir, saya pun mohon diri untuk pulang dan langsung menuju ke rumah Tun Daim yang berada di kawasan Bukit Tunku. 

Sepanjang perjalanan, semua kenangan dan pertemuan dengan Tun Daim satu per satu datang silih berganti. Di antara kenangan yang bermain-main dalam ingatan adalah pertemuan saya dengan Tun Daim bersama Tan Sri Sanusi Junid suatu ketika dahulu, bersama Tan Sri Mohd. Daud Bakar, bersama Akhramsyah Muammar Ubaidah, bersama rombongan Pemimpin Redaksi Serambi Indonesia, Zainal Arifin, dan beberapa pertemuan lainnya baik di rumahnya di Taman Melawati, di Bukit Tunku, ataupun di Menara Ilham.

Suatu ketika Tun Daim bercerita ia sedang menyelesaikan memoir yang ditulisnya sendiri. Memoir itu sudah mencapai ribuan halaman dan perlu dieditnya lagi sebelum dipublikasikan nanti. 

Ketika saya bertanya apakah dalam memoir itu ada kisah-kisah di balik layar hubungannya dengan Indonesia, beliau menganggukan kepala sambil menyebutkan beberapa kisah yang menunjukkan rapatnya hubungan beliau dengan Indonesia dan tentu saja dengan petinggi-petinggi negara kita.

Salah satu kisah yang diceritakan kepada saya adalah pertemuannya dengan Pak Yusril ketika sedang terjadi krisis moneter.

Pak Yusril, kata Tun Daim berjumpa dengannya karena diutus oleh Pak Harto dan Pak Mar’ie Muhammad, Menteri Keuangan Indonesia kala itu. Pak Yusril diminta untuk mendengar pandangan Malaysia tentang pinjaman dari IMF. 

Tun Daim menyebutkan ketika itu ia menyarankan supaya Indonesia menolak pinjaman dari IMF karena hal itu akan membawa dampak negatif terhadap mayoritas rakyat Indonesia.

Tun meminta Pak Yusril untuk menyampaikan kepada Pak Harto pendekatan yang diambil oleh Malaysia dalam menangani krisis moneter tersebut.

Selamat Jalan Tun Daim: Biar Jasa Jadi Kenangan15
Selamat Jalan Tun Daim: Biar Jasa Jadi Kenangan

Ketika selesai bercerita Tun Daim meminta saya untuk menanyakan hal ini secara langsung kepada Pak Yusril. Secara spontan saya bertanya, bagaimana caranya Tun? Apakah Tun mau menghubungkan saya dengan Pak Yusril untuk dapat menanyakan hal ini?

Sambil tersenyum Tun menjawab, tunggu sampai buku kompilasi saya siap. Tun lalu mengatakan ketika buku kompilasi wakaf dalam bahasa Inggris siap, saya bisa datang berjumpa dengan Pak Yusril dan menghadiahkan buku yang kata pengantarnya ditulis oleh Tun Daim itu. 

Tun Daim melanjutkan, tentu setelah lihat kata pengantar itu, Pak Yusril akan bersedia untuk bercerita kisah pertemuannya di tengah-tengah krisis moneter melanda Asia Tenggara itu.

Kebetulan, dalam salah satu podcast di Indonesia pada 19 Januari 2023, Pak Yusril sendiri bercerita kisah perjumpaannya dengan Tun Daim di Kuala Lumpur karena diminta oleh Pak Harto untuk mendengar pandangan Malaysia.

Pak Yusril yang dimaksudkan oleh Tun Daim tak lain dan tak bukan adalah Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra yang kini kembali menjadi salah seorang menteri di Indonesia.

Tun Daim juga menyebut nama satu tokoh berpengaruh lainnya untuk saya temui dan hadiahkan buku itu kelak sekaligus menyampaikan salam kepada tokoh yang sering menjemput Tun Daim jika beliau ke Jakarta dulu. 

Ketika saya bertanya kenapa Tun Daim spesifik meminta saya berjumpa dan menyerahkan buku kepada kedua tokoh itu, Tun Daim tersenyum dan menjawab mungkin mereka bisa tolong Aceh ke depan.

Mengingat kini Tun Daim telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, saya berjanji untuk segera merampungkan buku Contemporary Waqf Issues in Indonesia, bagi membolehkan saya menyerahkan buku tersebut kepada dua tokoh yang disebutkan oleh Tun Daim itu. 

Sementara itu, saya juga berharap agar keluarga Tun Daim berkenan untuk menerbitkan memoir yang ditulis sendiri oleh Tun Daim, karena saya yakin banyak sekali hal-hal inspiratif yang dapat kita teladani.

Tun Daim sendiri selama ini banyak membantu Aceh melalui kerja-kerja filantropi yang dilakukannya melalui Yayasan Zainuddin dan Yayasan Pok Rafeah.

Hal ini ternyata tidak diketahui oleh banyak orang kecuali orang-oramg yang rapat dengannya atau pernah ke Aceh ketika Tun Daim melawat lokasi lembaga pendidikan yang dibantunya itu.

Ketika diwawancarai oleh salah satu stasiun TV swasta, pasca meninggalnya Tun Daim, salah seorang tokoh wartawan di Malaysia, Datuk A. Kadir Jasin, menyebutkan bahwa Tun Daim banyak membantu Aceh termasuk mendanai pembangunan pondok pesantren modern dan membiayai biaya pendidikan anak-anak yang melanjutkan pendidikan di pondok pesantren tersebut.

Sesaat setelah shalat jenazah untuk Tun Daim selesai di Masjid Wilayah, Kuala Lumpur, ketika bersalaman dengan Datuk A. Kadir Jasin, ia langsung bertanya kepada saya, apakah saya kenal dengan pimpinan pondok pesantren yang dibantu itu? Ketika saya menjawab kenal, Datuk A. Kadir Jasin kelihatan sangat gembira. Ia lalu mengusulkan agar saya bertemu dengannya dan beberapa kawan rapat Tun Daim lain, dalam waktu terdekat ini.

Kenangan lain yang tidak akan saya lupakan tentang Tun Daim adalah dia selalu memberikan waktu bila saya mengabarkan ada orang dari Aceh yang ingin menjumpainya. Salah satu di antara orang Aceh yang beruntung itu adalah Zainal Arifin, Pemimpin Redaksi Serambi Indonesia.

Tun Daim bahkan berkenan melakukan wawancara eksklusif dengan Harian Serambi Indonesia, walaupun sebenarnya ketika itu beliau tidak berapa sehat. Tun Daim ketika itu dengan penuh semangat menjawab setiap pertanyaan secara panjang lebar.

Kenangan lain yang juga bermain di benak saya ketika dalam perjalanan menuju ke rumah Tun Daim di Bukit Tunku adalah nasehatnya untuk saya merubah cara pandang dalam melihat sesuatu masalah.

Tun Daim menyampaikan bahwa ia merasakan ada nada kecewa ketika saya bercerita bahwa sektor wakaf belum dimajukan dan dikembangkan dengan semestinya.

Beliau lalu menasehati saya dengan mengatakan bahwa saya seharusnya tidak perlu kecewa dengan kondisi ini. Kenapa begitu? Kalau wakaf sudah maju seperti yang idealnya, maka saya sudah tidak punya ruang lagi untuk berkontribusi bahkan untuk sekedar menulis diskursus wakaf.

Tun Daim kemudian menasehatkan saya untuk merubah mindset saya menjadi mindset seorang usahahawan atau pebisnis. Beliau mengatakan, bagi seorang pebisnis, setiap masalah itu merupakan peluang. Jadi saya harus melihat segala masalah dalam dunia perwakafan itu sebagai peluang untuk saya bisa berkontribusi secara aktif. 

Setelah mendengarkan nasehat ini, setiap kali saya mendengar pemaparan banyaknya masalah yang dihadapi oleh sektor wakaf kita, saya tersenyum sambil berbisik kepada diri sendiri, inilah peluang untuk saya berbuat seperti yang dinasehatkan oleh Tun Daim.

Imbasan kenangan berbagai interaksi dengan Tun Daim ini masih terus datang satu per satu sehinggalah saya sampai di kawasan Bukit Tunku.

Rumah Tun Daim sudah dipenuhi oleh keluarga, sahabat, kolega, dan tentu saja pihak media yang meliput langsung setiap pergerakan yang terjadi. 

Ketika berjalan memasuki rumah duka itu, saya melihat banyak sekali tamu-tamu VVIP yang sudah datang. Puan Kelly Kam, yang melihat saya datang terus saja membawa saya untuk berjumpa dengan isteri almarhum Tun Daim yang bernama, Toh Puan Naimah Abdul Khalid. 

Kebetulan sebelum ini, saya juga pernah bertemu dengan Toh Puan Naimah ketika bertamu ke rumah itu, untuk bertemu Tun Daim. Saya langsung saja mengucapkan ucapan duka cita atas meninggalnya Tun Daim. Selanjutnya saya mengucapkan takziah mewakili rekan-rekan dan masyarakat Aceh baik yang mengenali Tun Daim secara langsung atau tidak.

Karena banyaknya tamu yang ingin berbicara langsung dengan Toh Puan Naimah, saya pun segera menyerahkan buku Isu-Isu Kontemporer Wakaf Indonesia yang semestinya saya serahkan kepada Tun Daim.

Sebelum itu, saya sempat bercerita bahwa Tun Daim telah merampungkan kata pengantar untuk buku dalam bahasa Inggris. Saya berjanji akan menyerahkan buku itu kepada Toh Puan Naimah kelak setelah buku itu diterbitkan, mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi.

Meninggalnya Tun Daim ini merupakan kehilangan besar bagi saya pribadi. Ini adalah untuk kesekian kalinya saya kehilangan mentor yang selama ini selalu memberikan dukungan khususnya ketika berada di Kuala Lumpur. 

Pada akhir tahun lalu, saya juga kehilangan seorang mentor yang memiliki jasa besar terutama sekali dalam perjalanan saya dalam dunia wakaf. Mentor itu adalah almarhum Prof. Dr. Syed Khalid Rashid yang meninggal dunia pada 15 Desember 2023.

Jauh ke belakang, pada 9 Maret 2018, saya telah kehilangan mentor yang sangat besar jasanya bagi saya dan keluarga. Beliau adalah almarhum Tan Sri Sanusi Junid. 

Saya berharap agar Allah memberikan kesempatan agar saya dapat memberikan kontribusi dalam sektor wakaf dan meninggalkan legasi seperti yang telah ditunjukkan oleh masing-masing mentor itu sesuai dengan bidang pekerjaan mereka masing-masing.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengucapkan selamat jalan untuk Tun Daim, biar jasa yang menjadi kenangan abadi bagi semua pihak yang mengenalinya.

 

 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved