Opini
Burung-burung Nasar Pelindung Kelompok Jihadis Suriah yang Dilematis
Mereka tidak lebih dari bagian kelompok jihadis brutal dan tidak berkeadaban yang datang dari belahan dunia lain untuk mengklaim Suriah.
Oleh: T Taufiqulhadi*)
BUANG dulu narasi kediktatoran karena ini bukan narasi yang relevan di dunia Arab. Tapi yang pasti rezim Ba'ath yang dipimpin oleh Bashar al-Assad di Suriah telah tumbang tanpa banyak ribut.
Al Assad sendiri menyingkir dan diterima suakanya oleh Presiden Rusia Vladimir Putin, prosesnya di Moskow.
Disebutkan, rezim al-Assad ditumbangkan oleh sebuah kelompok milisi islamis radikal Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebuah kelompok islamis hasil reinkarnasi dari kelompok milisi sayap militer al-Qaeda di Suriah yaitu Jabhat al-Nusra.
Tapi pertanyaan kini adalah setelah Assad tumbang maka bagaimana kelanjutan politik Suriah? Jika HTS yang memimpin Suriah, apakah negara tersebut akan berubah menjadi sebuah negara demokratis yang membedakan dengan rezim Ba'ath yang dituduh sebagai rezim kediktatoran brutal?
Suriah yang kita lihat sekarang adalah bagian dari apa yang disebut Suriah Raya, yang dalam bahasa Arab disebut asy-Syam dan Barat menyebutnya Levant, yang meliputi Suriah pascakolonial, Lebanon dan Palestina.
Baca juga: Meminjam Tangan Pemberontak Suriah untuk Menjamin Keamanan Israel
Orang Suriah sendiri dipandang sebagai bangsa Arab kelas aristokratis karena memiliki cara pandang yang kosmopolit dengan berperilaku halus. Berbeda dengan bangsa-bangsa Arab di bagian selatan jazirah Arab, yang kasar dan kurang toleran.
Karakter aristokratis orang Suriah merupakan warisan budaya orang Suriah yang dahulu wilayah mereka merupakan kiblat kegiatan intelektualitas dunia dan pusat pemerintahan Daulah Umayyah yang berpengaruh.

Hingga era modern, Suriah tetap dipandang sebagai salah satu dari tiga episentrum penyebaran pemikiran-pemikiran maju yang memengaruhi pemikiran di Timur Tengah.
Di era helenistik dari 323 SM hingga 30 SM, Damaskus, ibu kota Suriah modern, telah menjadi tempat bersemayam para filosof, arsitek, dan seniman hebat.
Suburnya iklim intelektualitas di Damaskus di masa praislam, karena para filosof Damaskus ini akrab dengan semua pemikiran para filosof Yunani kuno seperti Plato, Aristoteles, dan Socrates.
Mereka juga sangat terpengaruh dengan mazhab filsafat Yunani kuno seperti aliran Stoa, mazhab Pitagoras, Paripatetik dll.
Di era Daulah Abbasiyah awal, terutama di masa ar-Rasyid dan putranya al-Makmun, semua khasanah filsafat Damaskus ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab di Darul Hikmah (pusat kajian dan penelitian ilmu pengetahuan) Abbasiyah.
Boleh dibilang, Darul Hikmah Abbasiyah ini telah menstimulasi munculnya pemikir-pemikir raksasa yang memiliki jejak kuat hingga hari ini.
Kebanyakan adalah para pemikir bebas dan kaum rasionalis Islam klasik yang disebut sebagai kaum mu'tazilah. Kaum mu'tazilah ini, seperti al-Kindi, ar-Razi, Ibnu Sina, al-Biruni dan lainnya ini menjadi penghela kemajuan hemisphere dunia saat itu. Jadi warisan Damaskus ini, masih menjadi faktor kesadaran semua orang Suriah hingga hari ini.
Tapi, Suriah tidak beruntung, sama seperti dunia Islam lainnya, menjadi objek kolonialisme dan kemudian mundur total. Pasca Perang Dunia II hingga Perang Dingin, Damaskus masih dipandang sebagai pusat intelektual Arab bersama dengan Kairo dan Beirut.
Indikatornya dari buku: di tiga ibu kota inilah buku-buku diterbitkan dan menyebar ke seluruh dunia Arab.
Merujuk kepada latar belakang sejarah itu, sesungguhnya, jika ada kesempatan, orang Suriah dapat menyelesaikan problem politik negerinya dengan wisdom yang merupakan warisan peradaban mereka yang sudah berurat-berakar.
Mungkin mereka mampu menemukan dan menempuh jalan politik yang lebih bermartabat dibanding negara-negara Timur Tengah lainnya.
Tapi juga Suriah pasca Assad tersebut sulit mengalir dalam alur ini yaitu sebuah Suriah berkehidupan politik damai, berkedaulatan dan demokratis.
Bahkan untuk mencapai dua istilah awal saja sudah susah. Konon lagi isu demokrasi, sebuah konsep yang tidak berada dalam khasanah semua kelompok Islamis pemberontak di Suriah.
Empat jaringan
Perlu diketahui, Suriah pasca Assad memiliki banyak sekali "stakeholder" dan hampir semua notorious.
Lanskap politik Suriah ditentukan oleh empat jaringan yang saling jalin-menjalin kepentingan tapi pada saat bersamaan saling bermusuhan. Pertama, kelompok-kelompok islamis; kedua, kelompok nonislam; ketiga, grup-grup perlawanan Kurdi; dan keempat, last but not least, negara-negara asing--baik berupa aktor regional maupun aktor internasional.
HTS, yang masuk dalam klasifikasi jaringan pertama, adalah satu kelompok milisi yang dimunculkan ke depan dalam peristiwa terbaru di Suriah. HTS ini sebuah kelompok Islamis Jihadis yang diasuh oleh Turki. Mayoritas anggota kelompok ini disebut milisi Islam asli Suriah.

Kelompok Islam militan yang masuk dalam daftar kelompok teroris Washington ini dipimpin oleh Ahmad al-Sharaa atau lebih dikenal dengan nama gerilya Abu Muhammad al-Golani.
Golani di belakangnya merujuk kepada asal-usul orang tuanya dari Dataran Tinggi Golan, meski ia sendiri lahir di Arab Saudi sebuah negara penganut sekte Wahabi. HTS yang mengklaim dirinya beraliran Syafi'i memiliki tujuan perjuangan untuk mendirikan sebuah negara bersyariat Islam.
Meski menyebutkan akan memperkenal hukum Islam yang ketat tapi anggota kelompok jihadis ini sangat terikat dengan praktik-praktik Islam tradisional seperti percaya kepada jimat dan kuburan-kuburan.
Di samping HTS, masih ada bekas kelompok islamis yang tidak dimunculkan ke depan tetapi mereka akan muncul pada momen yang tepat untuk mengklaim posisi mereka dalam politik Suriah.
Propaganda Turki dan Barat
Di antaranya adalah kelompok islamis Salafisme Ahrar asy-Syam, yang salah satu faksi menyeberang dan membentuk HTS. Kemudian Jaysh al-Fatih yang pernah mengklaim sebagai sebuah koalisi islamis pemersatu Suriah.
Jays al-Fatih dulunya sangat besar dan sangat ditakuti koalisi pro-Assad karena mendapat dukungan dana dari Turki, Arab Saudi dan Qatar. Diperkirakan, sebagian kaum Ikhwanul Muslimin Suriah berada dalam kelompok ini.

Di samping itu masih terdapat beberapa kelompok milisi islamis lainnya, yang salah satunya berpandangan sangat sektarian dan militan yaitu Jays al-Islam yang bertujuan selain mendirikan sebuah negara Islam berdasarkan al-Quran dan Hadis, juga bermaksud mengusir semua komunitas lain di Suriah seperti kaum Alawi, Syiah dll.
Jaysh al-Islam ini berideologi jihadis-Salafisme.
Kemudian di luar kelompok islamis ini, cepat atau lambat, akan muncul untuk mengklaim haknya pasca-Assad adalah kelompok jaringan nonislamis. Di sini yang paling paling terkenal adalah al-Jaish as-Suri al-Hurr atau Free Syrian Army (FSA).
FSA merupakan kelompok perlawanan paling awal muncul dalam Perang Suriah, yang didirikan oleh sejumlah perwira militer rezim Assad yang menyeberang, dan dengan kebanyakan anggota pentingnya berasal dari Ikhwanul Muslimin.
FSA ini menjadi alat propaganda Turki dan Barat dalam perang Suriah, sejenis perang yang tiada presedennya. Dalam perang Suriah hadir berbagai bangsa dari berbagai pelosok dunia, dengan membentuk milisi sendiri, datang hendak mengklaim Suriah.
Mereka itu disebut kaum jihadis. Kelompok jihadis ini bersikap sangat brutal dan saling bunuh sesamanya. Dalam perang sejenis ini, Turki dan Barat perlu menampilkan FSA sebagai role model yang protagonis.
FSA disebutkan sebagai kelompok koalisi yang berhaluan moderat, berkeadaban serta bermaksud mendirikan sebuah negara Suriah demokratis yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip agama tertentu.
Organisasi pemberontak ini mengalami kemunduran karena gagal mempersatukan kelompok-kelompok perlawanan Suriah karena dituduh menjadi perpanjangan tangan negara asing berhubung markasnya berada di Turki.
Bahkan kemudian, teritori FSA banyak direbut oleh kelompok milisi islamis seperti Jabhat al-Nusra, Ahrar asy-Syams dan ISIS. Tapi FSA adalah kelompok favorit Turki karena sikap FSA yang sangat tergantung dan loyal kepada negara Erdogan tersebut.
Jaringan ketiga adalah Syrian Democratic Forces (SDF). SDF adalah sebuah kekuatan pertahanan dan perlawanan kaum Kurdi yang cukup solid dan sangat berpengaruh.
Mereka sudah mendirikan sebuah pemerintahan otonomi sendiri di bagian utara Suriah yang dekat dengan perbatasan Turki. Pemerintahan otonomi itu dikenal dengan nama Rojava.
Kelompok perlawanan ini memiliki sayap militer yang disebut YPG atau Unit Pertahanan Rakyat. SDF, meski sangat dibenci Turki karena diduga memiliki hubungan erat dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), tapi didukung kuat dan didanai oleh AS.
SDF sangat terkenal karena menjadi ujung tombak AS yang cukup efektif ketika melakukan serangan dan penghancuran terhadap ISIS. AS memberi dukungan persenjataan militer dan dana dalam rangka menghadapi ISIS dan kelompok islamis lainnya.
Kelompok milisi Kurdi ini menentang pembentukan negara Islam, dan ia mengklaim memperjuangkan sistem federasi di Suriah.
Milisi binaan Turki
Di sisi kelompok nonislamis ini , masih ada lagi kaum Ba'athis serta loyalis Assad yang masih tetap kuat. Meskipun sekarang mereka tengah tiarap, tapi pasti enggan membiarkan aktor-aktor lain menentukan wajah Suriah.
Mereka memiliki isu kuat yang heroik yaitu kedaulatan negara dan prinsip nasiosiolistik dalam sistem perekonomian nasionalnya. Kelompok ini akan berafiliasi dengan kelompok nonislamis lainnya, dan yang paling potensial dengan SDF di utara.
Kedua kelompok ini memiliki kedekatan dan dulu hampir tidak pernah bentrok dalam perang Suriah lalu. Kaum Ba'athis dan loyalis Assad dengan mudah dapat berafiliasi dengan SDF lantaran keduanya sama-sama anti-Turkiye dan sama-sama menentang kehadiran milisi Islamis di Suriah.
Stakeholder lain adalah aktor-aktor regional yaitu Turki, Israel, dan Qatar, serta aktor internasional terkemuka yaitu AS. Kesemua mereka mirip dengan burung-burung nasar yang sedang mengincar bangkai (Suriah).
Kekuatan-kekuatan ini merasa memiliki andil yang kuat dalam menjatuhkan Assad atau memiliki himpitan kepentingan nasionalnya dengan Suriah pasca-Assad.
Bagi Turki, yang bergembira karena komponen utamanya dalam isu-isu persaingan pengaruh kawasan tersingkir, merasa semua kelompok milisi yang menjatuhkan Assad adalah kelompok milisi binaannya.
Turki sangat berkepentingan melihat pemerintah di Damaskus tetap di bawah pengaruhnya dan bersedia menghancurkan organisasi perjuangan kaum Kurdi di wilayah utara timur Suriah.
Qatar sangat menghendaki terbentuknya sebuah rezim islamis yang didukung oleh Ikhwanul Muslimin di Suriah. Negara ini menyatakan telah siap mendanai pembangunan kembali Suriah jika HTS atau kelompok yang berafiliasi dengan Ahrar asy-Syam memimpin Suriah.
Sementara Israel yang dengan cepat mengambill-alih zona penyangga di di Golan sepeninggal pasukan rezim al-Assad, berkepentingan untuk menjaga keutuhan wilayahnya dan menjaga tidak muncul ancaman dari sebelah utara Israel. Israel mencaplok Dataran Tinggi Golan dari Suriah dalam perang enam hari pada 1967.
Kini mencaplok kembali wilayah Suriah yang sebelumnya menjadi zona penyangga di Golan Suriah. Wilayah pendudukan (occupied area) yang strategis itu kini diklaim sebagai bagian integral Israel.
Dengan demikian, Israel menghendaki terbentuknya sebuah pemerintah di Damaskus yang ramah kepadanya dan bersedia menghapus konstitusi Suriah yang menyatakan, harus merebut kembali wilayah Suriah yang dicaplok Israel 57 tahun yang lalu itu.
Israel agaknya berkenan dengan HTS. Tapi mengingatkan, HTS itu bukan siapa-siapa jika rejim Zionis di Tel Aviv tidak memperlemah Hizbullah di Lebanon terlebih dahulu. Israel mengancam tidak akan menolerir hadirnya sebuah rezim yang bermusuhan dengannya di Damaskus pasca Assad.
Amerika kini tengah menatap erat bagaimana nasib pangkalan militer Rusia di Suriah. Sejak Perang Dingin, Rusia (dulu Uni Soviet) telah hadir di Suriah dengan pangkalan laut dan udara di Latakia, provinsi yang dominan dihuni kaum Alawi, komunitas asal usul al Assad.
Washington kelihatan tidak terlalu peduli soal garis islamis atau sekuler, sepanjang mereka mampu bersikap tegas terhadap pangkalan air hangat Rusia di Suriah itu. Tapi sejauh ini, Kremlin kelihatan masih bersikap tenang saja.
Sikap tenang Rusia erat kaitannya dengan fakta bahwa negara itu memiliki hubungan yang akrab dengan hampir semua negara di Timur Tengah seperti Turki, Qatar, Arab Saudi dan lain-lain. Pada saat bersamaan, hampir semua negara-negara yang disebut di atas itu akan memiliki peranan penting di Suriah.
Dengan lanskap politik seperti ini, HTS harus segera memperbaiki posisi ideologisnya dan bersikap kompromistis dalam isu pembagian kekuasaan (power sharing). Gagal dalam dua hal itu, HTS segera akan menjadi nonfaktor dalam politik Suriah.
Ia akan digantikan segera oleh kelompok lain, yang paling dekat dengan Turki seperti FSA. Saat ini memang FSA sangat lemah tapi karena mendapat dukungan Turki dan semua negara Barat, organisasi ini bisa bangkit kembali dengan cepat karena sudah memiliki jaringan yang kuat dan luas.
HTS tak punya legitimasi
Di pihak lain, Turki juga harus siap kecewa karena nafsu untuk mendominasi Suriah secara penuh tidak akan berjalan mulus. Jika maksudnya untuk menghancurkan SDF secara militer dan secara politik, juga pasti akan gagal.
Kenapa? Karena Washington masih membutuhkan SDF dalam konteks balance of power di internal Suriah. Bagaimanapun, Washington tetap curiga kepada semua kelompok islamis di Suriah.
HTS, meski dapat diterima oleh Israel karena kelihatan mau melakukan kompromi tapi kelompok milisi islamis ini bukan favorit Washington. Amerika mengidealkan gabungan FSA dengan SDF untuk memimpin Suriah ke depan.
Kelompok-kelompok proislamis diperkirakan tidak mengalami kesulitan untuk melakukan persekutuan di antara mereka tapi itu untuk sementara. Dalam jangka panjang, kelompok-kelompok islamis ini akan saling bersaing sesamanya, jika tidak ada partai politik, maka persaingan faksional sengit yang terjadi.
Jika berminat melihat persaingan dalam bentuk partai politik di Suriah, maka itu agak mustahil. Lantaran persaingan sejenis itu mengharuskan rakyat Suriah membuat sebuah konstitusi baru yang demokratis. Sementara demokrasi dengan sistem multipartai bukan kehendak kelompok islamis.
Bahkan konsep demokrasi yang kita pahami sekarang tidak berada dalam khazanah pemikiran mereka karena konsep itu berasal dari kaum "kafir". Tapi demokrasi dan pemilu multipartai bisa saja hadir di Suriah jika para burung nasar tersebut memaksanya.
Maka ini ukuran menjadi sangat jelas, sepanjang kelompok Islamis mengambil-alih kekuasan, dengan diterima sistem demokrasi, maka dapat diduga HTS gagal menjaga martabatnya.
Tapi di pihak lain, ada problem besar, HTS tidak memiliki legitimasi politik sama sekali sejauh ini. Mereka mampu masuk ke Damaskus bukan karena upaya keras sendiri tapi rezim Assad tidak mau memberi perlawanan karena melemahkan Poros Perlawanan.
Jadi Assad menyerah bukan karena takut kepada HTS tapi takut kepada Barat, Israel, Turki dan Qatar. Karena itulah mayoritas rakyat Suriah tidak menyetujui HTS mewakili mereka.
Legitimasi harus diraih, dengan sebuah pembuktian. Pembuktiannya adalah dengan kemampuan menjaga kedaulatan negara dan independensi politik.
HTS tidak boleh membiarkan pihak asing memaksa agenda politik mereka terhadap persoalan nasionalnya, bahkan termasuk demokrasi. Pemaksaan itu bukti Suriah tidak berdaulat dan tidak mandiri.
Tapi sebuah kelompok yang mendapat kekuasaan karena hadiah pihak luar, sejauh mana HTS mampu menampik kehadiran kepentingan luar di Suriah? Saya rasa tidak ada daya.
HTS akan membiar agenda luar berlaku di Suriah dan akan membiarkan klaim Israel atas tanah Suriah yang direbut pada 1967, dan wilayah Suriah baru yang dicaplok Israel beberapa hari lalu.
Memang sungguh dramatis juga, istilah kedaulatan dan demokrasi, yang seharus memiliki nilai agung, berubah menjadi konsep peyoratif dalam konteks Suriah sekarang.
Jika nanti terbukti HTS menempatkan kedua konsep ini menjadi bagian dari dilema politiknya, terbukti bahwa HTS ini bukan pewaris peradaban Suriah yang agung dan besar.
Mereka tidak lebih dari bagian kelompok jihadis brutal dan tidak berkeadaban yang datang dari belahan dunia lain untuk mengklaim Suriah.
*) Penulis wartawan yang pernah meliput semua konflik di Timur Tengah di dekade 2000-an, dan lulusan S3 Unpad dengan disertasi tentang Perang Suriah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.