Opini
Meminjam Tangan Pemberontak Suriah untuk Menjamin Keamanan Israel
Langkah tak terduga HTS, yang selama ini beroperasi di Idlib -- tetangga Aleppo -- berlangsung di tengah masih berkecamuknya perang antara Israel me
Oleh: T. Taufiqulhadi)*
SEBUAH kelompok milisi Islamis radikal di Suriah yang dikenal dengan nama Hayat Tahrir al-Syam (HTS), membuat gempar karena sukses mencuri momentum dengan menyerbu dan merebut Aleppo, sebuah kota besar dan strategis di Suriah bagian utara.
Langkah tak terduga HTS, yang selama ini beroperasi di Idlib -- tetangga Aleppo -- berlangsung di tengah masih berkecamuknya perang antara Israel menghadapi Hizbullah dan Hamas, dua anggota Poros Perlawan di Timur Tengah yang dipimpin Iran. Menghantam Suriah, yang juga salah satu anggota poros, dari belakang seperti ini, pasti dengan pertimbangan matang bahwa poros tersebut tengah rapuh.
Sementara menjatuhkan rezim Bashar al-Assad saat ini memiliki makna khusus berhubung Suriah di bawah Assad merupakan penyintas satu-satunya dari program "ganti rezim" ala Washington.
Dua negara negara lain, Irak di bawah Saddam Husein dan Libya di bawah Moammar Khadafi sudah tuntas diganti rezim alias dimusnahkan karena Washington menilai kedua pemimpin tersebut sengaja membangkang dengan secara terang-terangan menjauhkan sistem keuangan nasional mereka dari jaringan Wall Street, serta berusaha menolak menggunakan dolar sebagai alat tukar dalam perdagangan minyak mereka.
Suriah merupakan anggota Poros Perlawanan di Timur Tengah yang dipimpin Iran. Poros ini, selain Iran dan Suriah, juga beranggotakan sejumlah aktor non-negara seperti Hizbullah di Lebanon Selatan, Hamas di Gaza serta milisi Houthi di Yaman.
Poros ini yang muncul menyusul pergantian rezim di Irak dan Libya, bentuk respon atas makin menguatnya dominasi Aliansi Pro-Washington, di Timur Tengah. Aliansi pro-Washington beranggotakan terutama negara-negara monarki absolut di jazirah Arab, dan Israel. Kuwait dan Oman, meski monarki, tidak masuk dalam aliansi ini. Kedua negara tersebut lebih banyak bertindak sebagai jembatan saluran diplomatik bagi aktor-aktor regional yang saling bermusuhan itu.

Lantas bagaimana posisi Hayat Tahrir al-Syam dalam konteks poros dan aliansi ini? Hayat Tahrir al-Syam atau Organisasi Pembebasan Suriah Raya ini adalah nama yang relatif baru tapi berisi para tokoh lama dalam konflik di Suriah yang dimulai pada Maret 2011 dan berakhir sekitar Oktober 2018. Berhenti Perang Suriah itu terjadi sepenuhnya karena kesuksesan menghancurkan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), musuh bersama semua aktor internasional dan regional.
ISIS berhasil dilumpuhkan setelah terjadi serangan gabungan atau terpisah antara pasukan pemerintah Suriah, Rusia, dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), sebuah organisasi bersenjata gabungan beberapa kelompok milisi radikal tapi anggota utamanya adalah kelompok militan Kurdi di Suriah yang dikenal dengan nama Unit Pertahanan Rakyat (YPG).
Satu tahun sebelum perang berakhir, Jabhat al-Nusra, sebuah kelompok milisi paling besar dan paling kuat yang merupakan sayap militer Al-Qaeda di Suriah, mengalami kemunduran dan disintegrasi. Kelompok perlawanan paling disegani ini berada diambang kehancuran karena selain makin banyak mengalami kekalahan di berbagai front menghadapi pasukan pemerintah, juga menderita kerugian besar karena serangan brutal ISIS dari belakang.
Jabhat al-Nusra adalah kelompok Jihadis yang hendak mendirikan sebuah negara berdasarkan syariat Islam, sementara ISIS adalah kelompok jihadis-Salafisme radikal yang hendak mendirikan sistem khilafah. Kedua kelompok teroris ini semula bersekutu tapi kemudian pecah kongsi dan saling serang. Tapi ISIS yang tumbuh sangat pesat tidak mampu dibendung lagi oleh al-Nusra.

Maka semua teritorial yang semula di bawah kontrol organisasi Islam Sunni asli Suriah ini berpindah tangan kepada ISIS. Bersamaan dengan perampasan teritorial itu, ribuan pejuang al-Nusra tewas di tangan kelompok milisi internasional paling mematikan itu sebelum benar-benar pejuang al-Nusra menghadapi tentara pemerintah Suriah.
Serpihan al-Nusra yang telah lemah dan compang-camping ini kemudian mengajak sejumlah kelompok milisi pemberontak Islam Sunni asli Suriah lainnya untuk bersatu mendirikan sebuah kelompok milisi pemberontak baru, yang dikenal dengan nama Hayat Tahrir al-Syam. Saat didirikan, HTS memiliki anggota sekitar 31.000 hingga 35.000 milisi.
Jadi berdiri HTS ini hasil merger sejumlah organisasi yang terlibat dalam perang di Suriah itu yaitu Jaysh al-Ahrar (sebuah faksi dalam Ahrar al-Syam), Front Ansar al-Din, Jabhat Fateh al-Syam, Jaysh as-Sunnah, Liwa al-Haq, dan Gerakan Nuruddin al-Zenki.
Kesemua kelompok ini , selain asli Suriah juga semua mereka bermazhab Syafi'i. Merger yang sukses ini diinisiasi Abu Jaber Syekh, seorang pentolan Ahrar al-Syam, dan kemudian ia ditunjuk untuk memimpin organisasi baru ini. Mereka bermarkas di Idlib, ibukota Provinsi Idlib yang bertapal batas dengan Turki.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.