Jurnalisme Warga
Darurat Parricide, Perilaku Membunuh Orang Tua dalam Keluarga
kasus ini biasanya hanya pada rentang 1,7-4?ri seluruh kasus pembunuhan di dunia. Perilaku pembunuhan ini disebut dengan “parricide”.
SYARIFA AZKA AULIA RAHMA, Siswi SMA Negeri 4 Banda Aceh, melaporkan dari Kota Banda Aceh
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus kejahatan kriminal yang dilakukan oleh anak di bawah umur telah mencapai 141 kasus semenjak awal tahun 2024. Dari 141 kasus kriminal, sebagiannya adalah kasus pembunuhan orang tua kandung oleh anak yang terjadi dalam rumah tangga.
Kasus anak bunuh orang tua merupakan kasus yang jarang terjadi dalam kasus pembunuhan pada umumnya. Sejumlah riset menunjukkan, kasus ini biasanya hanya pada rentang 1,7-4 persen dari seluruh kasus pembunuhan di dunia. Perilaku pembunuhan ini disebut dengan “parricide”.
Dilansir dari Science Direct, parricide diartikan sebagai tindakan seorang anak yang membunuh orang tua kandung. Munculnya perilaku parricide ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual yang dialami anak, serta gangguan mental. Mengutip dari kisah nyata ‘The Menendez Brothers’ yang menggemparkan Amerika Serikat pada 20 Agustus 1989 dan serial Netflix, Monsters: The Menendez Brothers Story Behind yang baru-baru ini menggemparkan media dengan istilah “parricide” kembali menjadi buah bibir masyarakat. Istilah ini dikaitkan dengan Lyle Menendez (21) dengan adiknya, Erik Menendez (18), yang membunuh kedua orang tua kandungnya dengan cara yang sadis menggunakan senjata api. Menurut hasil penyelidikan, kedua pelaku melakukan pembunuhan tersebut atas pembelaan diri setelah bertahun-tahun mengalami kekerasan fisik, emosional, dan seksual di tangan ayah kandungnya, tanpa perlindungan dari sang ibu.
Namun, kini Indonesia sedang menghadapi fase darurat pelaku kriminalitas oleh anak di bawah umur atau anak berhadapan dengan hukum (ABH). Tercatat terdapat delapan kasus penghilangan nyawa oleh anak dalam waktu satu tahun di 2024. Salah satunya yang paling menggemparkan adalah berita dengan headline “Remaja 14 Tahun Membunuh Ayah dan Nenek di Perumahan Taman Bona Indah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan” (Kompas TV, 7 Desember 2024). Hasil penyelidikan menyatakan, pelaku merupakan anak yang baik, dan jauh dari tekanan emosional. Pihak sekolah juga menyatakan bahwa pelaku merupakan anak yang cenderung pendiam, tetapi pintar. Anak tersebut masuk SMA melalui program kelas akselerasi.
Selama hasil penyelidikan, tim penyidik menghadirkan seorang psikolog anak, Novita Tandry. Menurut Novita, fenomena parricide ini bukanlah menjadi hal yang pertama, tetapi sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Tidak hanya fenomena parricide, fenomena pembunuhan lainnya seperti seorang bayi yang dianggap tidak memenuhi standar tentara Sparta pada saat itu, akan dibunuh secara langsung.
Maka dari itu, Novita mengungkapkan bahwa fenomena parricide ini bukanlah hal yang pertama. Namun, terdapat beberapa hal yang dapat memengaruhi sifat parricide ini muncul di dalam diri seseorang.
Berdasarkan pernyataan Novita, munculnya perilaku parricide dapat muncul ketika seseorang mengalami gangguan mental. Gangguan mental yang dikategorikan dapat menimbulkan perasaan ‘membunuh’ adalah perasaan neurosis dan psikosis.
Menurut pernyataan ABH, pelaku mendengar bisikan-bisikan meresahkan yang membuatnya melakukan pembunuhan tersebut. Dengan demikian, gangguan mental psikosis inilah yang mendasari perasaan delusi, halusinasi, dan perasaan ingin melakukan pembunuhan yang dialami ABH.
Hingga kini, penyelidikan pembunuhan ayah dan nenek oleh seorang remaja di Lebak Bulus, Jakarta, masih dalam status penyelidikan, dan menunggu pernyataan dari pelaku dan saksi utama, sang ibu, yang merupakan satu-satunya korban yang selamat.
Maraknya kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak di bawah umur di Indonesia kini sangat ramai diperbincangkan di media sosial, bahkan menjadi buah bibir di kalangan masyarakat.
Karena fenomena yang terus bermunculan, masyarakat beranggapan bahwa anak-anak masa kini tidak memiliki etika moral dan rasa sayang layaknya anak-anak zaman dahulu.
Tidak jarang juga, orang-orang mengaitkan perilaku ini diakibatkan oleh lingkungan sosial yang toxic, atau tidak sehat bagi seseorang. Pernyataan lainnya juga disebutkan oleh Novita, bahwa maraknya fenomena parricide ini ‘booming’ di kalangan anak-anak muda karena usia anak muda yang dikategorikan sebagai usia labil.
Menurut World Health Organization (WHO), seseorang yang dikategorikan remaja ialah pada rentang usia 10—24 tahun (yang belum menikah), dan usia labil anak remaja dikategorikan pada rentang usia 12—18 tahun (Santrock, 2013).
Pada masa ini, emosi remaja tidak stabil, dan perilaku dipengaruhi oleh emosi. Selain itu, ini adalah masa-masa rentan remaja karena masa pencarian jati diri sebenarnya, dan dipengaruhi oleh teman sebaya ‘peers friend’, yang memicu seorang remaja untuk mengikuti dan harus menyesuaikan oleh lingkungan sekitarnya. Hal-hal inilah yang menjadi faktor utama perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak remaja.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.