Kupi Beungoh

Membuka Pintu Harapan: Pendidikan Inklusi untuk Pengungsi Rohingya di Aceh

Pengungsi Rohingya, yang terus berdatangan ke Aceh sejak tahun 2015, masih menghadapi berbagai tantangan besar di pengungsian.

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Musdawati, Dosen dan Ketua Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN AR-Raniry, saat ini sebagai mahasiswa Doktoral di DPIPS USK 

Keterampilan ini tidak hanya penting untuk bertahan hidup di kamp pengungsian tetapi juga untuk membangun masa depan yang lebih baik. 

Pendidikan juga melindungi mereka dari berbagai risiko, seperti eksploitasi, perdagangan manusia, atau pekerja anak, yang sering kali menjadi ancaman nyata bagi anak-anak tanpa akses ke pendidikan.

Solusi: Modul Pendidikan Inklusi

Sebagai solusi untuk menjawab kebutuhan ini, modul pendidikan inklusi dapat dirancang khusus bagi anak-anak pengungsi Rohingya di Aceh

Modul ini harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan unik mereka. 

Pengajaran bahasa Indonesia dasar dan bahasa Inggris, misalnya, dapat mempermudah komunikasi dan integrasi, sementara pengenalan terhadap bahasa ibu mereka akan membantu proses belajar menjadi lebih efektif.

Kurikulum sederhana yang mencakup keterampilan dasar, pendidikan moral, kesehatan, dan kesadaran hak-hak mereka sebagai pengungsi adalah langkah awal yang strategis. 

Pendekatan pembelajaran harus dirancang interaktif dan ramah anak, menggunakan permainan dan cerita sebagai alat pembelajaran. 

Dengan demikian, anak-anak tidak hanya mendapatkan ilmu tetapi juga merasa nyaman dan percaya diri dalam prosesnya.

Guru relawan berperan penting dalam menyukseskan program ini. Mereka perlu mendapatkan pelatihan khusus yang tidak hanya mencakup teknik pengajaran tetapi juga pemahaman terhadap kondisi psikologis anak-anak pengungsi. 

Guru harus mampu memberikan dukungan emosional yang memadai sehingga anak-anak merasa diterima dan dihargai.

Implementasi di Aceh

Aceh, dengan pengalaman panjangnya dalam menangani pengungsi Rohingya, memiliki peluang besar untuk menjadi model penyelenggaraan pendidikan inklusi. 

Kolaborasi antara pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komunitas lokal dapat menghasilkan dampak signifikan. Pembangunan ruang belajar sederhana di kamp-kamp pengungsian, seperti di Sigli, Lhokseumawe, dan Aceh Timur, adalah langkah pertama yang penting.

 Dukungan sumber daya, baik melalui donor lokal maupun internasional, harus diarahkan untuk menyediakan buku, alat tulis, dan kebutuhan pendidikan lainnya.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved