Kupi Beungoh

Membuka Pintu Harapan: Pendidikan Inklusi untuk Pengungsi Rohingya di Aceh

Pengungsi Rohingya, yang terus berdatangan ke Aceh sejak tahun 2015, masih menghadapi berbagai tantangan besar di pengungsian.

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Musdawati, Dosen dan Ketua Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN AR-Raniry, saat ini sebagai mahasiswa Doktoral di DPIPS USK 

Oleh Musdawati*)

Pengungsi Rohingya, yang terus berdatangan ke Aceh sejak tahun 2015, masih menghadapi berbagai tantangan besar di pengungsian. 

Berdasarkan laporan dari UNHCR, saat ini terdapat sekitar 1.500 pengungsi Rohingya yang tersebar di kamp-kamp Aceh, termasuk  Sigli, Lhokseumawe, dan Aceh Timur. 

Mayoritas pengungsi ini adalah perempuan, anak-anak, dan remaja yang melarikan diri dari situasi kekerasan di Myanmar. 

Mereka mencari perlindungan di negara-negara tetangga, termasuk Indonesia. Namun, hingga saat ini, belum ada solusi permanen yang dapat mengakhiri penderitaan mereka.

Selain masalah fasilitas dasar seperti makanan, air bersih, dan layanan kesehatan yang seringkali tidak mencukupi, pengungsi Rohingya juga menghadapi stereotip negatif dari sebagian masyarakat Aceh

Di media sosial, berbagai narasi yang menyudutkan pengungsi sering muncul, seperti tuduhan bahwa mereka akan menjadi beban ekonomi atau ancaman sosial. 

Baca juga: Kasus Penyelundupan Imigran Rohingya, Tiga Tersangka Diserahkan ke Jaksa

Bahkan, terdapat penolakan dari sebagian masyarakat yang enggan menerima keberadaan mereka. 

Kondisi ini semakin memperparah kesulitan hidup para pengungsi, terutama bagi anak-anak dan remaja yang kehilangan akses pendidikan.

Kehidupan di kamp pengungsian penuh keterbatasan. Fasilitas dasar seperti makanan, air bersih, dan layanan kesehatan seringkali tidak mencukupi. 

Apalagi, pendidikan bagi anak-anak dan remaja di kamp-kamp pengungsian sering diabaikan. Banyak dari mereka tidak memiliki akses ke pendidikan formal maupun non-formal. 

Ketidakhadiran pendidikan ini tidak hanya membatasi perkembangan intelektual anak-anak, tetapi juga memperburuk trauma yang mereka alami akibat konflik. 

Oleh karena itu, menyediakan pendidikan inklusi menjadi penting untuk memastikan anak-anak pengungsi tetap memiliki masa depan yang layak.

Kendala di Kamp Pengungsian Rohingya

Anak-anak di kamp pengungsian Rohingya menghadapi sejumlah tantangan yang menghambat akses mereka terhadap pendidikan

Pertama, ketiadaan sekolah formal maupun modul pendidikan khusus di kamp-kamp seperti Sigli, Lhokseumawe, dan Aceh Timur membuat mereka menghabiskan waktu tanpa kegiatan bermakna. 

Hal ini memperbesar risiko keterasingan sosial dan penurunan keterampilan dasar mereka.

Selain itu, bahasa dan budaya menjadi hambatan utama. Sebagian besar pengungsi tidak memahami bahasa Indonesia atau Aceh, yang menjadi bahasa pengantar di sekitar mereka. 

Hambatan ini tidak hanya menyulitkan proses komunikasi, tetapi juga menambah tantangan dalam menyusun kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Di sisi lain, keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas menjadi kendala signifikan. Kamp-kamp pengungsian sering kali kekurangan guru terlatih yang mampu mengajar anak-anak pengungsi. 

Fasilitas seperti ruang belajar, buku, dan alat tulis sangat minim, membuat pendidikan sulit diselenggarakan meskipun ada niat baik dari masyarakat setempat.

Baca juga: Tangani Rohingya Secara Komprehensif

Terakhir, isu keamanan dan psikologis memperumit situasi. Banyak anak-anak pengungsi mengalami trauma akibat konflik yang mereka alami, sementara risiko eksploitasi dan kekerasan di lingkungan kamp semakin memperparah kondisi mereka. 

Dalam situasi ini, pendidikan menjadi salah satu cara paling efektif untuk memberikan rasa aman, rutinitas, dan harapan bagi anak-anak pengungsi.

Pentingnya Pendidikan bagi Pengungsi Rohingya

Pendidikan bagi pengungsi adalah lebih dari sekadar upaya untuk mentransfer pengetahuan; ia berfungsi sebagai jembatan menuju pemulihan dan perlindungan. 

Bagi anak-anak pengungsi Rohingya di Aceh, pendidikan inklusi merupakan kebutuhan mendesak yang tidak hanya memenuhi hak dasar mereka, tetapi juga memberikan harapan dan peluang untuk masa depan.

Sebagai hak dasar, pendidikan adalah bagian dari Konvensi Hak Anak yang menjamin setiap anak—termasuk mereka yang berada di pengungsian—akses terhadap pembelajaran yang layak. 

Memberikan pendidikan kepada anak-anak Rohingya adalah wujud nyata penghormatan terhadap hak asasi manusia dan upaya untuk memperbaiki kondisi mereka di tengah keterbatasan yang ada. Pendidikan juga memiliki peran krusial dalam proses pemulihan trauma. 

Aktivitas belajar menawarkan rutinitas yang memberikan rasa aman dan stabilitas di tengah situasi sulit, sementara pendekatan psikososial dapat membantu anak-anak mengatasi pengalaman buruk yang mereka alami.

Selain itu, pendidikan mempersiapkan anak-anak pengungsi dengan keterampilan dasar seperti membaca, menulis, berhitung, dan komunikasi. 

Baca juga: Pendidikan Generasi Muda Aceh: Harapan di Era Kepemimpinan Baru

Keterampilan ini tidak hanya penting untuk bertahan hidup di kamp pengungsian tetapi juga untuk membangun masa depan yang lebih baik. 

Pendidikan juga melindungi mereka dari berbagai risiko, seperti eksploitasi, perdagangan manusia, atau pekerja anak, yang sering kali menjadi ancaman nyata bagi anak-anak tanpa akses ke pendidikan.

Solusi: Modul Pendidikan Inklusi

Sebagai solusi untuk menjawab kebutuhan ini, modul pendidikan inklusi dapat dirancang khusus bagi anak-anak pengungsi Rohingya di Aceh

Modul ini harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan unik mereka. 

Pengajaran bahasa Indonesia dasar dan bahasa Inggris, misalnya, dapat mempermudah komunikasi dan integrasi, sementara pengenalan terhadap bahasa ibu mereka akan membantu proses belajar menjadi lebih efektif.

Kurikulum sederhana yang mencakup keterampilan dasar, pendidikan moral, kesehatan, dan kesadaran hak-hak mereka sebagai pengungsi adalah langkah awal yang strategis. 

Pendekatan pembelajaran harus dirancang interaktif dan ramah anak, menggunakan permainan dan cerita sebagai alat pembelajaran. 

Dengan demikian, anak-anak tidak hanya mendapatkan ilmu tetapi juga merasa nyaman dan percaya diri dalam prosesnya.

Guru relawan berperan penting dalam menyukseskan program ini. Mereka perlu mendapatkan pelatihan khusus yang tidak hanya mencakup teknik pengajaran tetapi juga pemahaman terhadap kondisi psikologis anak-anak pengungsi. 

Guru harus mampu memberikan dukungan emosional yang memadai sehingga anak-anak merasa diterima dan dihargai.

Implementasi di Aceh

Aceh, dengan pengalaman panjangnya dalam menangani pengungsi Rohingya, memiliki peluang besar untuk menjadi model penyelenggaraan pendidikan inklusi. 

Kolaborasi antara pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komunitas lokal dapat menghasilkan dampak signifikan. Pembangunan ruang belajar sederhana di kamp-kamp pengungsian, seperti di Sigli, Lhokseumawe, dan Aceh Timur, adalah langkah pertama yang penting.

 Dukungan sumber daya, baik melalui donor lokal maupun internasional, harus diarahkan untuk menyediakan buku, alat tulis, dan kebutuhan pendidikan lainnya.

Penyusunan modul pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pengungsi membutuhkan keterlibatan ahli pendidikan dan dukungan semua pihak. 

Baca juga: 116 Rohingya Kembali Mendarat di Aceh Timur

Monitoring dan evaluasi berkala juga harus dilakukan untuk memastikan bahwa program ini berjalan efektif dan memberikan manfaat nyata.

Pendidikan inklusi bagi pengungsi luar negeri di Aceh bukan hanya bentuk pemenuhan hak dasar tetapi juga upaya nyata untuk mengembalikan harapan bagi mereka yang kehilangan banyak dalam hidupnya.

 Dengan akses pendidikan, anak-anak pengungsi tidak hanya memiliki peluang untuk pulih dari trauma tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik. 

Kolaborasi erat antara pemerintah Aceh, masyarakat internasional, dan komunitas lokal sangat diperlukan untuk mewujudkan langkah kecil ini menjadi perubahan besar yang berarti.

*) PENULIS adalah Dosen dan Ketua Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN AR-Raniry, saat ini sebagai mahasiswa Doktoral di DPIPS USK

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved