Opini

Tukin Dosen PNS Kemendikti Saintek: Mungkinkah Terealisasi?

Sebagai sektor yang berperan besar dalam membentuk masa depan bangsa, dosen seharusnya mendapat pengakuan yang layak. Batalnya pencairan Tukin menjadi

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Muhammad Zulfajri, SPd MSc PhD adalah dosen PNS Dpk Universitas Serambi Mekkah dan Bendum Ikatan Sarjana dan Alumni Dayah (ISAD) Aceh. 

Kekecewaan ini semakin mendalam mengingat dosen PTN Satker dan Dpk selama ini hanya mengandalkan gaji pokok dan tunjangan profesi, yang sering kali dianggap tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. 

Ketidakpastian mengenai pencairan Tukin membuat mereka semakin tertinggal, baik dibandingkan dengan dosen PNS di PTN-BH dan PTN BLU, maupun dengan kelompok PNS lainnya di pemerintahan, termasuk dosen PNS yang bekerja di kementerian lain. 

Batalnya pencairan Tukin ini dirasakan sebagai pengingkaran terhadap upaya keras dan dedikasi mereka dalam menjalankan tugas akademik yang semakin kompleks, yang seharusnya dihargai dengan lebih baik.

Alasan yang Dipertanyakan

Kemendikti Saintek menyebut perubahan nomenklatur kementerian sebagai alasan utama gagalnya penganggaran Tukin. Namun, alasan ini menuai pertanyaan dari berbagai pihak. Apakah restrukturisasi kementerian benar-benar menjadi kendala yang tidak dapat diatasi? 

Mengingat Tukin telah diputuskan sejak 2024 oleh Menteri Nadiem Makarim dan telah tertunda sejak 2020, mengapa hal ini tidak dapat mengantisipasi perubahan yang terjadi? Isu terkait transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pun semakin mendapat sorotan dimana tahun 2025 Kemendikti Saintek memperoleh anggaran 57 T dan kebutuhan tukin hanya secuil dari anggaran tersebut yaitu 2,8 T, yang mengarah pada kebutuhan untuk meningkatkan kejelasan dan keterbukaan dalam setiap langkah pengelolaan anggaran pemerintah, demi menjaga kepercayaan dan memenuhi harapan masyarakat, terutama para dosen. 

Selain itu, pembatalan pencairan Tukin ini menimbulkan kekhawatiran bahwa sektor pendidikan tinggi kurang mendapatkan perhatian yang cukup dibandingkan dengan sektor lainnya. 

Pemerintah tampaknya belum sepenuhnya menyadari bahwa kesejahteraan dosen adalah elemen penting dalam menciptakan pendidikan yang berkualitas. Ketidakpastian ini berpotensi merusak citra pemerintah di mata akademisi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hubungan dan kolaborasi antara pemerintah dan dunia pendidikan tinggi. 

Dampak pada Kesejahteraan dan Kinerja Dosen

Batalnya pencairan Tukin bukan sekadar persoalan finansial, tetapi juga berimplikasi luas pada kualitas pendidikan tinggi. Dosen yang merasa kurang dihargai secara finansial cenderung kehilangan motivasi untuk berinovasi dan meningkatkan kinerja. Kondisi ini dapat memengaruhi semangat mereka dalam menjalankan tridharma perguruan tinggi, yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 

Lebih jauh, ketidakpastian ini juga memengaruhi persepsi generasi muda terhadap profesi dosen. Banyak yang mulai ragu untuk memilih karier di bidang akademik karena melihat profesi ini tidak memberikan penghargaan yang memadai. 

Jika situasi ini terus berlanjut, Indonesia berisiko kehilangan talenta-talenta potensial yang seharusnya dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa melalui pendidikan tinggi.
Sebagai perbandingan, dosen di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia menerima remunerasi dan tunjangan yang jauh lebih kompetitif. 

Selain gaji pokok yang signifikan, mereka menikmati fasilitas seperti dana penelitian, asuransi kesehatan, dan pensiun yang memadai. Di Amerika Serikat, gaji minimal dosen universitas mencapai USD 4.000 per bulan (sekitar Rp 60 juta). Di Inggris, minimal GBP 2.500 per bulan (sekitar Rp 48 juta), dan di Australia AUD 4.500 per bulan (sekitar Rp 45 juta). 

Di Asia, situasi remunerasi dosen juga relatif lebih baik dibandingkan Indonesia. Di Jepang, dosen universitas memperoleh minimal JPY 300.000 per bulan (sekitar Rp 34 juta). Di Taiwan TWD 60.000 per bulan (sekitar Rp 30 juta), dan di Brunei Darussalam BND 3.000 per bulan (sekitar Rp 34 juta). Perbedaan ini mencerminkan penghargaan yang lebih besar, baik secara finansial maupun profesional, terhadap dosen di negara-negara tersebut. 

Selain memberikan stabilitas finansial, remunerasi atau Tukin yang memadai juga meningkatkan motivasi dosen untuk berinovasi dan berkontribusi maksimal dalam pendidikan tinggi. Perbedaan mencolok ini semakin memperkuat kekecewaan dosen di Indonesia atas batalnya pencairan Tukin pada tahun 2025.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved