Opini

Syariat dan Maksiat di Aceh

Fenomena ini juga telah menjadi perbincangan masyarakat di media sosial, podcast, dan memicu kekhawatiran ulama, aktivis, dan pemerintah daerah, sebag

Editor: mufti
IST
Dr Yuni Roslailil MA, Dosen Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Hukum dan Syariah  UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Dr Yuni Roslailil MA, Dosen Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Hukum dan Syariah  UIN Ar-Raniry Banda Aceh

AKHIR-akhir ini, masyarakat terenyak mendengar berita  maraknya kasus pelanggaran syariat di Aceh, baik yang dilakukan oleh para pejabat seperti berlomba-lomba dalam korupsi, sehingga Aceh mendapatkan predikat provinsi termiskin di Sumatera, maupun perilaku maksiat yang dilakukan oleh masyarakat. Seperti mesum, zina, judi online, narkoba, kekerasan seksual, dan mewabahnya penyakit kelamin sebagai akibat meningkatnya kemunculan kelompok lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) di Aceh.

Fenomena ini juga telah menjadi perbincangan masyarakat di media sosial, podcast, dan memicu kekhawatiran ulama, aktivis, dan pemerintah daerah, sebagai ancaman serius terhadap nilai-nilai syariat Islam yang selama ini menjadi dasar kehidupan masyarakat Aceh.

Walau agak tidak percaya dengan berita ini, mengingat laporan indeks pembangunan syariat Islam di Aceh  pada tahun 2023 mencapai 98.60 persen, namun realitasnya fenomena maksiat di Aceh  telah vulgar dan menjadi bahan diskusi di sejumlah media sosial. Mereka mempertanyakan korelasi antara pelaksanaan syariat Islam di Aceh dengan keshalehan masyarakatnya. Atau lebih tepatnya, mereka bertanya mengapa tidak ada korelasi positif antara pelaksanaan syariat Islam di Aceh terhadap perilaku masyarakat? Atas dasar keheranan masyarakat tersebut, goresan opini ini ditulis sekadar mencoba menjelaskan secara singkat bagaimana kedudukan syariat Islam di Aceh dari sisi legal standing, formasinya, serta bagaimana efektivitas syariat Islam di Aceh.

Formalisasi dan formasi

Formalisasi syariat Islam di Aceh  telah sah menurut hukum di Indonesia. Setidaknya tiga undang-undang telah disahkan. Yaitu UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan  Aceh, UU No. 18/ 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa  Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (kemudian dimerger dalam UUPA), dan Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Tiga undang-undang ini memberikan hak istimewa dan kekhususan kepada Aceh dalam bidang  agama, pendidikan,  adat istiadat dan peran ulama dalam kebijakan pemerintahan di Aceh.

Sebagai tindak lanjutnya, kemudian disinergikanlah antara qanun dengan pengadilan di Aceh.
Maka dibentuk suatu sistem peradilan syar’iyah tanpa menegasikan keberadaan Pengadilan Negeri yang tetap merupakan bagian dari sistem peradilan di Aceh dalam kasus-kasus tertentu yang tidak terdapat dalam qanun dan bagi nonmuslim di Aceh. Pembentukan pengadilan syar’iyah di Provinsi Aceh merupakan salah satu upaya untuk membuat  keistimewaan dan kekhususan bagi Aceh menjadi lebih konkret. Sampai di sini, dapat kita pahami keberadaan syariat Islam di Aceh sudah final.

Artinya tidak ada ruang untuk mendebatnya lagi terutama dari sisi kedudukan hukum (legal standing). Keistimewaan dan kekhususan  yang  diberikan  kepada  Aceh  adalah  bagian dari upaya menjalankan  amanat  konstitusi  khususnya  Pasal  18B  yang  menyatakan  bahwa  negara  mengakui  dan  menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Adapun yang layak didiskusikan adalah bagaimana sebenarnya formasi hukum Islam di Aceh? Apakah sama bentuknya dengan hukum di dalam Alquran? Ataukah sama dengan praktik Rasulullah saw? Ataukah Aceh punya formasi hukum sendiri?  Mengingat selama ini masyarakat kerap keliru menanggap bahwa praktik syariat Islam di Aceh ekuivalen secara sempurna dengan hukum Islam.

Sehingga di saat praktik pelaksanaan syariat Islam di Aceh tidak mampu menjauhkan masyarakat dari perbuatan maksiat, mereka secara gegabah menuduh syariat Islam tidak mampu menyejahterakan masyarakat.

Hemat penulis, hukum Islam yang diterapkan di Aceh tidak sepenuhnya mengambil format hukum dari Al-Quran atau praktik hukum Rasulullah saw, tidak juga kitab-kitab fikih klasik.

Hal ini setidaknya dapat dilihat dari sisi aspek hukum pidana. Jika dalam fikih Islam tindak pidana terbagi kepada tiga; hudud, qisas dan ta’zier. Namun di Aceh, hukum pidana Islam hanya ada dua  macam, yaitu hudud dan ta’zier, tanpa qisas dalam  pidana pelukaan dan pembunuhan yang masih diselesaikan oleh Pengadilan Negeri.

Selain itu, pembagian hudud di Aceh juga hanya tiga macam, yaitu zina, qadzf dan minum khamar. Padahal dalam hukum pidana Islam ada tujuh macam, sebagaimana pendapat Abu Zahrah dalam kitab Al-Jarimah wa Al-‘Uqubahnfi Fiqh Al-Islamy, dan Abdul Qadir Audah dalam kitab Al-Tasyri’  Al-Jinai Al-Islamy Muqarranan Bi- Al-Qanun Al-Wadh’i.

Perbedaan lain terlihat dari aspek hukuman bagi pelaku pidana. Hukuman di Aceh  bersifat opsional, yaitu memilih dari tiga bentuk hukuman; cambuk atau penjara atau bayar denda. Dan bentuk hukumannya juga terpola, kecuali untuk hukuman hudud. Hal ini berbeda dengan format hukuman dalam hukum pidana Islam. Misalnya, berdasarkan Qanun Jinayah pelaku pemerkosaan di Aceh dihukum dengan pola hukuman 125-175 kali cambukan atau 1250-1750 gram emas murni atau  125-175 bulan penjara.

Hal ini berbeda dengan pidana  hukum Islam, di mana pemerkosaan bisa mendapat hukuman rajam tanpa hukuman opsional.

Terkait perbedaan ini, Feener juga berpendapat bahwa penerapan syariah di Aceh menggabungkan nilai-nilai tradisional Islam dengan prinsip-prinsip modern, seperti hak asasi manusia, pluralisme, dan perkembangan ekonomi, yang memungkinkan hukum Islam tetap relevan dan kontekstual di tengah tantangan globalisasi (Feener, 2013).

Bahkan dari sisi historis menurut Michelle Ann Miller (2008), kelahiran penerapan syariat Islam di Aceh terjadi melalui proses reformasi politik secara damai bukan karena dorongan ideologi Islam (Miller, 2008). Oleh karena itu wajar jika pelaksanaan syariat Islam di Aceh berbeda.

Peran penguasa

Selain formasi hukum Islam di Aceh yang khas itu, efektivitas syariat Islam di Aceh  sangat dipengaruhi oleh political will dari pemimpin. Menurut Donald Black, harus adanya keterlibatan manusia dalam penegakan hukum yang dinamakan dengan mobilisasi hukum. Dan yang paling berkuasa memobilisasi manusia di suatu wilayah hukum adalah penguasa.

Jika tidak, maka hukum hanya berjanji di atas kertas semata. Artinya sebanyak apa pun undang- undang yang disahkan, apabila tidak ada political will dari penguasa setempat adalah nihil belaka. Atau sebagaimana ungkapan Donald Black, bahwa penguasalah yang paling berkuasa memobilisasi manusia di suatu wilayah hukum.

Kesuksesan pelaksanaan syariat di masa Rasulullah saw, itu karena Rasulullah saw sendiri menjadi pemimpin negara di samping sebagai penyampai risalah. Sebagai pemimpin negara, Nabi Muhammad saw tidak hanya menetapkan aturan, tetapi juga memberikan teladan dalam penerapannya. Beliau memimpin dengan penuh integritas, keadilan, dan kasih sayang, sehingga mampu membangun kepercayaan dan loyalitas masyarakat.

Terakhir, kita berharap pelaksanaan syariat Islam di Aceh menjadi semakin membaik di bawah pemimpin yang beriman, shaleh dan komitmen untuk meninggikan derajat Aceh yang islami serta berkomitmen memusuhi maksiat di negeri syariat. Mengingat telah banyaknya regulasi yang disahkan, yang ditunggu oleh masyarakat Aceh saat ini adalah kepahaman  tentang syariat dan keseriusan pemimpin Aceh untuk menerapkannya.  

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved