Jurnalisme Warga
Peran Generasi Z Membawa Bahasa Aceh ke Dunia Digital
Aceh kembali dihebohkan oleh hasil survei UNESCO yang menyatakan bahsa Aceh jadi salah satu bahasa yang akan punah dalam 20 tahun mendatang.
CUT SANTIKA, M.Pd., Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Aceh Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) Bireuen, melaporkan dari Bireuen
Aceh kembali dihebohkan oleh hasil survei UNESCO yang menyatakan bahsa Aceh jadi salah satu bahasa yang akan punah dalam 20 tahun mendatang.
Krisis bahasa daerah, seperti yang terjadi pada Bahasa Aceh, bukan hanya masalah linguistik, tetapi juga menjadi isu terkait identitas budaya dan warisan leluhur. Salah satu kelompok yang memiliki potensi besar untuk membawa perubahan dalam pelestarian bahasa Aceh adalah Generasi Z, generasi muda yang tumbuh dengan kemajuan teknologi dan akses informasi tanpa batas. Generasi Z, yang kini berada pada rentang usia 10 hingga 25 tahun, adalah generasi yang sangat terhubung dengan dunia digital. Media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform berbagi konten menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Tantangan bahasa Aceh
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang peran Generasi Z, penting untuk memahami tantangan yang dihadapi bahasa Aceh saat ini. Bahasa Aceh merupakan salah satu bahasa yang kaya akan budaya dan tradisi. Sebagai bahasa yang digunakan oleh masyarakat Aceh, bahasa Aceh mencerminkan nilai-nilai sosial, adat, dan sejarah yang telah berlangsung selama berabad-abad. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, bahasa Aceh semakin jarang digunakan, terutama di kalangan generasi muda.
Salah satu penyebab utamanya adalah dominasi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang digunakan di semua aspek kehidupan. Banyak orang tua memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia di rumah agar anak-anak mereka dapat berkomunikasi dengan lebih luas, terutama di lingkungan sekolah dan masyarakat. Akibatnya, intensitas penggunaan bahasa Aceh dalam percakapan sehari-hari semakin berkurang.
Selain itu, pengaruh budaya asing, terutama melalui media sosial dan internet, juga memengaruhi kebiasaan berbahasa, di mana bahasa Aceh sering kali dianggap sebagai bahasa "kuno" atau tidak praktis. Krisis ini tidak hanya mengancam kelangsungan hidup bahasa Aceh, tetapi juga identitas budaya masyarakat Aceh.
Isu terbaru UNESCO yang diterbitkan dalam Atlas of the World's Languages in Danger (2023), bahasa Aceh termasuk dalam kategori "vulnerable" atau rentan terhadap kepunahan. UNESCO menyebutkan bahwa lebih dari 40 persen bahasa di dunia terancam punah dalam waktu dekat, dan bahasa Aceh berada di antara bahasa-bahasa yang menghadapi ancaman serupa.
Peran Generasi Z
Generasi Z memiliki kekuatan besar dalam dunia digital. Mereka adalah pengguna aktif media sosial dan teknologi yang sangat terhubung dengan platform global seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan lainnya. Dengan pemanfaatan teknologi yang tepat, bahasa daerah seperti bahasa Aceh bisa lebih mudah dikenalkan dan diperkenalkan kembali kepada generasi muda, bahkan kepada orang-orang di luar Aceh.
Generasi Z memiliki potensi besar untuk menghasilkan konten-konten kreatif yang bisa menyebarkan penggunaan bahasa Aceh. Dalam dunia media sosial, kreativitas adalah kunci untuk menarik perhatian audiens. Anak muda bisa membuat video pendek, meme, lagu, atau bahkan tantangan viral yang menggunakan bahasa Aceh. Dengan demikian, bahasa Aceh tidak lagi dipandang sebagai bahasa yang "kuno", tetapi juga bisa menjadi bagian dari tren dan budaya populer.
Misalnya, mereka bisa membuat akun Instagram, TikTok, atau YouTube yang mengajarkan bahasa Aceh dengan cara yang menyenangkan dan interaktif. Konten-konten seperti tutorial bahasa Aceh, sketsa komedi, atau bahkan parodi dalam bahasa Aceh dapat membantu audiens muda tertarik untuk mempelajari dan menggunakan bahasa ini. Dengan cara ini, bahasa Aceh bisa menjadi lebih relevan di kalangan anak muda yang lebih suka berkomunikasi lewat visual dan video.
Penggunaan aplikasi
Generasi Z juga sangat terbiasa dengan penggunaan aplikasi untuk belajar berbagai hal. Dalam konteks bahasa Aceh, berbagai aplikasi pembelajaran bahasa bisa dikembangkan atau dipromosikan untuk membantu orang-orang muda mempelajari bahasa tersebut dengan cara yang lebih mudah dan menyenangkan. Aplikasi seperti Duolingo atau HelloTalk yang memfokuskan diri pada pembelajaran bahasa asing bisa menjadi model untuk mengembangkan aplikasi pembelajaran bahasa Aceh.
Menghidupkan bahasa Aceh dalam komunitas digital itu termasuk salah satu cara jitu dan strategis.
Komunitas digital memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan sosial yang besar. Generasi Z dapat membentuk komunitas daring yang mengusung pelestarian bahasa Aceh. Forum-forum seperti grup Facebook, atau bahkan komunitas di WhatsApp, dan Telegram bisa menjadi ruang untuk berdiskusi, berbagi informasi, dan memperkenalkan bahasa Aceh kepada orang-orang yang lebih muda.
Komunitas ini juga bisa mengadakan tantangan atau kampanye untuk memopulerkan bahasa Aceh, seperti "30 Hari Berbahasa Aceh" di media sosial, di mana peserta diminta untuk menggunakan bahasa Aceh dalam postingan mereka selama sebulan penuh. Dengan cara ini, bahasa Aceh akan lebih sering muncul di ruang publik dan lebih mudah diakses oleh generasi muda.
Kolaborasi dengan influencer dan konten kreator juga bisa dijadikan salah satu solusi terhadap kekhawatiran ini.
Soalnya, Generasi Z juga sangat dipengaruhi oleh influencer dan konten kreator yang mereka ikuti. Untuk menjangkau audiens yang lebih luas, para influencer ini dapat diajak untuk ikut mempromosikan bahasa Aceh. Dengan menggunakan platform seperti Instagram atau TikTok, mereka bisa berbicara tentang pentingnya melestarikan bahasa daerah, serta memberikan contoh penggunaan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya Uniki
Salah satu langkah penting dalam upaya pelestarian bahasa Aceh adalah melalui pendidikan, dan Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) telah memainkan peran kunci dalam hal ini. Melalui Prodi Bahasa dan Sastra Aceh, Uniki telah memulai langkah penyelamatan bahasa Aceh yang melibatkan para mahasiswa dari Generasi Z.
Prodi ini tidak hanya bertujuan untuk melahirkan ahli bahasa, tetapi juga untuk mencetak generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap budaya Aceh.
Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Aceh di Uniki terdiri atas sebagian besar generasi muda, yang menjadi agen perubahan dalam menyebarkan dan mempromosikan penggunaan bahasa Aceh. Mereka dapat memanfaatkan ilmu yang mereka pelajari di kampus untuk membuat berbagai inovasi dalam mendigitalisasi bahasa Aceh, seperti pembuatan aplikasi pembelajaran bahasa, konten-konten sosial media, dan pengorganisasian komunitas daring yang aktif dalam mengampanyekan bahasa Aceh.
Generasi Z memiliki potensi besar untuk membawa Bahasa Aceh ke dunia digital dan memastikan kelestariannya di masa depan. Melalui penggunaan teknologi, kreativitas, dan platform media sosial yang mereka kuasai, mereka bisa memperkenalkan bahasa Aceh kepada khalayak yang lebih luas dan menarik perhatian anak muda lainnya untuk melestarikan bahasa ini.
Penting untuk diingat bahwa upaya ini harus dilakukan dengan segera, mengingat laporan UNESCO yang menunjukkan bahwa bahasa Aceh berada di ambang kepunahan.
Jika kita tidak bertindak cepat, kita bisa kehilangan salah satu aset budaya yang paling berharga dari Indonesia, yakni bahasa Aceh, 'bahsa endatu geutanyoe'.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.