Kajian Islam

Hukum Suami Istri Bersentuhan Setelah Wudhu, Batal atau Tidak? Simak Penjelasan UAS dan Buya Yahya

Ustad Abdul Somad mengatakan, terkait hukum bersentuhan kulit antara suami dan istri dalam keadaan berwudhu, ada perbedaan pendapat atau khilafiyah

|
Penulis: Yeni Hardika | Editor: Muhammad Hadi
KLOASE SERAMBINEWS.COM
Ustaz Abdul Somad (UAS) dan Buya Yahya - Berikut penjelasan UAS dan Buya Yahya soal hukum suami istri yang sudah sah dalam ikatan pernikahan bersentuhan dalam kondisi wudhu. 

"Berarti apa? ada empat martabatnya. Yang pertama 'lamasa'. Dalam hadist artinya bersentuhan tangan," jelas Buya Yahya yang dikutip dari salah satu video YouTube Al-Bahjah TV.

Sementara itu, lanjutnya, Mazhab lainnya memberi makna bersenggama juga punya sebab dan dalil yang kuat.

Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, terang Buya Yahya, dikatakan bahwa Rasulullah melipat kaki Aisyah yang melintang, saat sedang tidur di hadapan Rasulullah yang sedang shalat secara berulang.

Hadis itulah yang menjadi dasar Mazhab Malik memegang hukum tak batal wudhu jika bersentuhan antara suami istri.

Baca juga: Sampai Kapan Puasa Enam Hari Syawal Bisa Dikerjakan? Simak Waktu Pengerjaannya Menurut Buya Yahya

Hadis itu juga menjadi rujukan Imam Hanafi, sehingga mamaknai kata menyentuh yang disebut dalam Alquran surah An-Nisa' ayat 43 bukanlah bersenggama.

Disamping itu, hadis tersebut juga diakui kesahihannya oleh Imam Syafi'i.

Akan tetapi, oleh Imam Syafi'i tidak dijadikan sebagai rujukan karena ada berbagai kemungkinan.

"Imam Syafi'i punya kaidah, bukan main-main. Kalau dalil ini masih mungkin begitu mungkin begini, ga dipakai dalilnya," tandas Buya Yahya.

Status mahramnya suami istri

Seorang wanita memang sudah menjadi mahram bagi pria atau suaminya setelah menikah.

Namun, mahram yang dimaksud itu berbeda dengan status mahram dalam hubungan keluarga (nasab).

Begitupun dengan mahram yang dimaksud dalam sebuah ajaran fikih tentang hukum bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang dapat membatalkan wudhu.

Ini seperti dikatakan UAS dalam tayangan video yang sama yang pernah diunggah kanal YouTube Wasilah Net di penjelasan sebelumnya.

"Istri, itu mahram karena nikah. Tapi dia tidak mahram karena nasab. Yang dimaksud disini mahram nasab," ujarnya seperti dikutip dari tayangan video yang pernah diunggah YouTube Wasilah Net tersebut dengan judul 'Suami Istri Bersentuhan Bisa Membatalkan Wudhu? Ini Jawaban UAS'.

Antara mahram nasab dan mahram nikah jelas berbeda.

"Mahram nasab, tak ada syahwat. tak ada nafsu. Antara orang dengan anaknya," jelas UAS.

Jadi, lanjutnya, mahram yang dimaksud dalam sebuah ajaran tentang hukum batal wudhu karena bersentuhan adalah mahram nikah, bukan mahram nasab.

"Jadi nanti kalau ada orang mengatakan, dia itu kan istrimu, istrimu itu kan mahrammu, maka tak batal wudhumu. Yang dimaksud mahram di sini bukan mahram nikah tapi mahram nasab,"

"yang tak batal itu dengan anak, dengan emak, dengan perempuan yang mahram karena nasab tadi, bukan mahram karena nikah" tegas UAS.

Lalu, batal atau tidak wudhu jika suami istri bersentuhan kulit?

Masih dalam video yang sama, Ustad Abdul Somad secara pribadi menyebutkan, bahwa dirinya memilih mengikuti pendapat Imam Syafi'i.

Yaitu batal wudhu apabila suami dan istri bersentuhan kulit baik itu disertai dengan nafsu atau tidak.

"Abdul Somad pilih pendapat Imam Syafi'i," ujar UAS.

Selain karena sejak kecil sudah mempelajari kaidah-kaidah fikih dari mazhab tersebut, UAS menyebut alasannya memakai pendapat Imam Syafi'i dalam hal ini karena lebih selamat.

Menurut UAS, mazhab Syafi'i memiliki tingkat kehati-hatian yang lebih tinggi, salah satunya dalam persoalan wudhu.

Sehingga tidak ada rasa was-was ketika mengerjakan shalat, apakah wudhu masih ada atau sudah batal.

"Kenapa pendapat itu yang ustad pilih? Karena dari kecil saya belajar mazhab Imam Syafi'i. Di sekolah saya pakai mazhab ini, di Mesir saya pakai Mazhab ini, dan menurut saya pakai mazhab ini lebih selamat," pungkasnya.

4 hal yang membatalkan wudhu

Wudhu merupakan kegiatan menyucikan diri dari hadats kecil agar bisa melaksanakan ibadah dengan sah, seperti shalat, tawaf, dan ibadah sejenis.

Dilansir dari laman Kemenag, Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami, seorang ulama mazhab Syafi‘iyah dalam kitabnya yang berjudul Safinatun Naja (Indonesia, Daru Ihya'il Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun) Halaman 25-27 menjelaskan, ada 4 hal yang dapat membatalkan wudhu sehingga seseorang berada dalam keadaan hadats.

Berikut sebab-sebab yang membatalkan wudhu.

1. Keluar sesuatu dari qubul dan dubur

Selain sperma, apa pun yang keluar dari lubang qubul (kelamin) dan dubur (anus) baik berupa air kencing, angin atau kotoran, barang suci atau najis, kering atau basah, dan sebagainya, itu semua bisa membatalkan wudhu.

Sedangkan bila yang keluar adalah sperma maka tidak membatalkan wudhu, namun yang bersangkutan wajib melakukan mandi junub.

Baca juga: Hukum Puasa Syawal Bersamaan dengan Qadha Ramadhan, Begini Penjelasan Buya Yahya

Allah Swt berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 6:

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ

“.... salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air,”.

2. Hilang akal

Orang yang hilang akal atau kesadarannya entah itu karena tidur, gila, mabuk, atau pingsan maka wudhunya menjadi batal. Rasulullah Saw bersabda:

فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa yang tidur maka berwudhulah.” (HR. Abu Dawud)

Namun demikian, ada tidur yang tidak membatalkan wudhu, yaitu posisi tidurnya duduk dengan menetapkan pantat pada tempat duduknya sehingga tidak memungkinkan keluarnya kentut.

3. Bersentuhan Kulit

​​​​​​​Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang keduanya telah baligh, bukan mahram, dan tanpa penghalang bisa membatalkan wudhu. Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 6:

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

“... atau kalian menyentuh perempuan.”

Adapun sentuhan kulit yang tidak membatalkan wudhu adalah antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, dan laki-laki dengan perempuan yang menjadi mahramnya.

Selain itu, wudhu juga tidak menjadi batal ketika terjadi sentuhan yang terhalang oleh sesuatu, misalnya kain.

Demikian pula tidak batal wudhunya bila seorang laki-laki yang sudah baligh bersentuhan kulit dengan seorang perempuan yang belum baligh atau sebaliknya.

Lalu bagaimana dengan wudhu sepasang suami istri yang bersentuhan kulit?

Wudhu tersebut menjadi batal karena pasangan suami istri bukanlah mahram.

Seorang perempuan disebut mahram jika perempuan tersebut haram untuk dinikahi oleh seorang laki-laki.

Sebaliknya, seorang perempuan disebut bukan mahram bila boleh dinikahi oleh seorang laki-laki.

Sepasang suami istri adalah dua orang berbeda jenis kelamin yang boleh menikah.

Karena keduanya diperbolehkan menikah alias bukan mahram, maka saat bersentuhan kulit tentu wudhunya menjadi batal.

4. Menyentuh Kemaluan

Menyentuh kemaluan atau lubang dubur manusia dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan bisa membatalkan wudhu. Rasulullah bersabda:

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa yang memegang kelaminnya maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)

Wudhu seseorang bisa menjadi batal dengan menyentuh kemaluan atau lubang dubur manusia, baik dari orang yang masih hidup atau sudah mati, milik sendiri atau orang lain, anak kecil atau dewasa, sengaja atau tidak sengaja, atau kemaluan yang disentuh itu telah terputus dari badan.

Adapun wudhu orang yang disentuh kemaluannya tidak menjadi batal kecuali jika keduanya sudah baligh sebagaimana pada poin ketiga.

Selain itu, wudhu juga tidak menjadi batal jika menyentuh kemaluan dengan menggunakan selain bagian dalam telapak tangan atau menggunakan perantara benda, seperti pakaian, kain, kayu, dan sebagainya. 

(Serambinews.com/Yeni Hardika)

BACA BERITA LAINNYA DI SINI

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved