Kupi Beungoh
4 Pulau di Aceh Singkil Diserahkan ke Sumut: Aceh Hendak Digiring Kembali ke Jurang Konflik?
Keputusan tersebut berpotensi memantik konflik baru dikalangan masyarakat Aceh dan pemerintah pusat
Sinyal Bahaya bagi Otonomi Khusus
Sebagai daerah yang memiliki status otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Aceh seharusnya mendapat ruang yang lebih besar dalam pengelolaan wilayahnya sendiri.
Dalam UUPA disebutkan bahwa Aceh berwenang menetapkan dan mengelola batas wilayah administratifnya sesuai dengan norma hukum yang berlaku.
Namun, keputusan Mendagri ini justru mencederai semangat otonomi tersebut. Ini adalah preseden buruk, bukan hanya bagi Aceh, tapi juga bagi daerah lain yang memiliki kekhususan.
Jika Aceh saja bisa diperlakukan seperti ini, bagaimana dengan Papua, Yogyakarta, atau daerah-daerah adat lainnya?
Administratif vs Historis
Jika ditarik ke akar persoalan, konflik ini memperlihatkan benturan antara pendekatan administratif dengan pendekatan historis dan kultural. Dalam pandangan pusat, batas wilayah adalah urusan teknis yang bisa diatur lewat keputusan birokrasi.
Namun bagi masyarakat Aceh, wilayah bukan sekadar garis di peta ia adalah ruang hidup, warisan leluhur, dan simbol identitas masyarakat.
berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2 - 2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau tanggal 25 April 2025 lalu. Yang menyatakan bahwa setiap pulau memiliki kode wilayah administratif, yaitu sebebagai berikut. Rinciannya, Pulau Lipan kode 12.01.4001, Pulau Panjang kode 12.51.40014, Pulau Mangkir Gadang kode 12.01.40015 dan Pulau Mangkir Ketek kode 12.01.40016.
Mengabaikan dimensi historis dan sosial dari suatu wilayah sama saja dengan mencabut akarnya, dan pada akhirnya, akan menghancurkan pohon itu sendiri. Dalam hal ini, pemerintah pusat telah gagal memahami sensitivitas wilayah yang memiliki sejarah konflik dan kekhususan seperti Aceh.
Menyikapi persoalan 4 pulau yang disengketakan di atas, melalui artikel ini penulis menawarkan agar pemerintah pusat mengembalikan keempat pulau tersebut kedalam teretori Provinsi Aceh. Terdapat tiga alasan bahwa keempat pulau itu harus dikembalikan menjadi milik provinsi Aceh.
Pertama, ini sesuai dengan batas wilayah dan penetapan peta yang dibuat oleh TNI AD 1978. Kedua, selama bertahun-tahun yang merawat keempat pulau tersebut adalah pemerintah Aceh Singkil. Ketiga, penduduk Singkil Utara adalah yang menjadikan pulau tersebut sebagai tempat transit mereka mencari nafkah.
Akhirnya, saya sebagai orang Aceh Singkil dan masyarakat Aceh secara umumnya mengharapakan agar potensi konflik dalam sengketa empat pulau dapat segera diselesaikan oleh pemerintah pusat melalui Medagri agar tidak muncil serial konflik baru di Aceh sebagaimana konflik-konflik pada masa lampau. Semoga!
Banda Aceh, 2 Juni 2025
Penulis Agung Fatwa Umara adalah Putra Singkil, mahasiswa prodi Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry, fatwaagung14@gmail.com
KUPI BEUNGOH adalah opini pembaca Serambinews.com. Isi dari setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.