Kupi Beungoh

4 Pulau di Aceh Singkil  Diserahkan ke Sumut: Aceh Hendak Digiring Kembali ke Jurang Konflik?

Keputusan tersebut berpotensi memantik konflik baru dikalangan masyarakat Aceh dan pemerintah pusat

Editor: Amirullah
dok pribadi
Agung Fatwa Umara adalah Putra Singkil, mahasiswa prodi Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry 

Oleh: Agung Fatwa Umara

Pada 25 April 2025 lalu, terdengar kabar yang menyulut emosi rakyat Aceh. Empat pulau yang selama ini manjadi bagian dari wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang dinyatakan masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara.

Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. 

Ironisnya, pulau-pulau itu bukan diambil alih oleh negara asing, bukan pula hasil perebutan oleh korporasi besar, melainkan ulah pemerintah pusat yang  seperti hendak bermain api.

Keputusan tersebut berpotensi memantik konflik baru dikalangan masyarakat Aceh dan pemerintah pusat, terutama karena Aceh memiliki sejarah panjang dengan dinamika pusat-daerah yang sarat luka dan trauma.

Sejarah yang Tak Boleh Dilupakan

Aceh ialah wilayah yang memiliki rekam jejak historis penuh kontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia. Rakyat Aceh dikenal sebagai salah satu pendukung paling awal kemerdekaan Republik Indonesia. 

Bahkan, masyarakat Aceh turut mengumpulkan dana untuk pembelian pesawat RI 001 dan RI 002 yang digunakan Presiden Soekarno dalam diplomasi internasional pasca-proklamasi. 

Bukan hanya itu dengan setumpuk jasa Aceh terhadap kemerdekaan, provinsi di ujung Sumatra ini samapi sekarang dijuluki sebagai Daerah Modal.

Namun, tidak lama setelah itu, hubungan Aceh dan pusat mulai merenggang. Pada 1950-an, penghapusan status provinsi Aceh dan peleburan wilayahnya ke dalam Keresidenan Sumatera Utara memicu konflik berdarah yang dikenal dengan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Daud Beureueh (1953–1962). 

Konflik ini menjadi luka yang teramat dalam membuka jalan bagi ketidakpercayaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat.

Belum pulih dari konflik DI/TII, Aceh kembali terguncang oleh pergolakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlangsung selama hampir 30 tahun lamanya (1976–2005). Konflik ini kemudian berakhir melalui penandatanganan Nota Kesepahaman Memorandum of Understanding (MoU) Damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 silam.

Lalu, tiba-tiba rakyat Aceh dikagetkan oleh berita pengecilan wilayah Provinsi Aceh dengan menyerahkan empat pulau di Singkil menjadi bagian dari Sumater Utara. Apakah ini povokasi model baru?

Mengapa Ini Bisa Terjadi?

Persoalan batas wilayah bukanlah hal baru. Sejak 2022, telah terjadi verifikasi ulang wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara. Namun, masalah mulai muncul ketika hasil verifikasi tersebut tidak mengakomodasi bukti sejarah dan fakta di lapangan.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved