Kupi Beungoh

Kopiah Meukeutop Aceh, Berasal dari Pidie, Dipopulerkan Teuku Umar, Sekarang Banyak Salah Motif

video itu tak hanya tentang kesalahan motif kupiah meuketop pabrikan saja, tapi juga membuka wawasan tentang sejarah dan filosofi kupiah meukeutop

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM
Kolase foto Tarmizi A Hamid, budayawan dan pendiri Rumoh Manuskrip Aceh dengan latar belakang perajin kupiah meukeutop di Tungkop, Kabupaten Pidie. 

Motif yang sama juga terdapat di lingkaran kepala bagian atas, hanya saja ukurannya lebih kecil. 

Di bagian paling atas, terdapat rajutan benang putih sebagai alas mahkota kuning emas, bertingkat tiga.

Huruf lam yang terbentuk dari kupiah meukeutop karena adanya empat tingkatan warna yang juga memiliki makna dan filosofi tersendiri. 

Tingkatan pertama bermakna hukum agama, tingkatan kedua bermakna adat, tingkatan ketiga bermakna qanun, sedangkan tingkatan keempat bermakna reusam. 

Dengan demikian, melihat kupiah meukeutop sama halnya dengan melihat rambu-rambu kehidupan yang dimiliki oleh masyarakat Aceh yang berlandaskan pada: agama, adat, qanun, dan reusam.

Kupiah meukeutop terbuat dari kain berwarna dasar merah, kuning, hijau, putih, dan hitam. 

Warna yang dipakai memiliki makna tersendiri. 

Merah melambangkan kepahlawanan, kuning melambangkan negara atau kerajaan, hijau melambangkan keagamaan, putih memiliki makna keikhlasan atau kesucian, dan hitam bermakna ketegasan hati. 

Sejarah Kupiah Meukeutop

Pada dasarnya masyarakat masih ada yang belum mengetahui asal-muasal kupiah khas Aceh yang satu ini. 

Secara historis, kupiah meukeutop lebih dikenal dengan topi kebesaran yang dipakai Teuku Umar (1854-1899), pahlawan nasional dari Aceh. 

Tidak ada sumber sejarah pasti yang menjelaskan kapan atau siapa pertama kali yang memakai kupiah ini.

Karena sejumlah tokoh Aceh lainnya juga memakainya, semisal Sultan Muhammad Daud Syah (1864-1939) dan Panglima Polem (meninggal 1940) juga banyak diabadikan memakai kupiah meukeutop.

Para bangsawan yang kupiah meukeutop juga kerap terlihat dalam foto-foto yang diabadikan oleh para fotografer Belanda pada masa kolonialisme.

Berdasarkan penelusuran penulis, kupiah meukeutop dulunya masyhur dengan nama kupiah tungkop--ada juga yang menyebutnya kupiah garot.

Tungkop dan Garot adalah permukiman penduduk di kawasan pedalaman Pidie, yang kini masuk dalam wilayah Kecamatan Indrajaya.

Cerita yang berkembang di kalangan warga Tungkop dan Garot, kopiah jenis ini awalnya dibikin oleh Nek Sapiah, di Gampong Rawa Tungkop, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie.

Hingga saat ini, masyarakat Tungkop dan Garot, terutama Garot Cut dan Lampeuteut, yang bersebelahan dengan Kemukiman Tungkop, masih konsisten mempertahankan tradisi memproduksi kopiah ini.

Maka tidak mengherankan jika beberapa toko souvenir di Banda Aceh yang menjual berbagai jenis oleh-oleh khas Aceh, termasuk kopiah meukeutop ini, merupakan warga asal Tungkop, Garot Cut, atau Lampeuteut. 

Dalam perjalanannya, kupiah tungkop lebih sering disebut dengan nama kupiah meukeutop, dan sangat identik dengan Teuku Umar

Boleh jadi, Teuku Umar lah yang mempopulerkan kopiah meukeutop ini.

Bahkan, di Meulaboh terdapat sebuah tugu berbentuk kupiah meukeutop yang dibangun di lokasi tertembaknya Teuku Umar Johan Pahlawan dalam perang melawan Belanda, Februari 1899.

Mungkin karena itu, banyak pihak beranggapan bahwa kupiah meukeutop ini adalah kerajinan khas Aceh Barat. 

Baca juga: Tugu Kupiah Meukeutop Teuku Umar, Monumen Sejarah yang Memikat di Pesisir Aceh

Harapan Penulis

Namun, penulis tidak mempersoalkan dari mana asal muasal kopiah yang menjadi kebanggaan Aceh ini.

Penulis juga tidak berupaya menjelekkan kupiah meukeutop made in mesin.

Hanya saja, andai kupiah pabrikan itu dibuat oleh produsen di Aceh, tentu perputaran ekonomi tetap terjadi di daerah.

Tapi yang terjadi saat ini, kupiah-kupiah meukeutop pabrikan itu dibuat di luar Aceh, dikirim kepada penjual di Aceh, dan kemudian menjadi oleh-oleh khas Aceh.

Persis seperti barang Bandung atau produk China yang dibeli oleh orang Indonesia sebagai oleh-oleh dari Tanah Suci.

Maka, sudah seharunya pemerintah Aceh mendukung pengrajin, membekali mereka dengan modal kerja dan ilmu maketing.

Kita tak perlu menyalahkan siapa-siapa. 

Kita bisa saja bilang bahwa kupiah mekeutop pabrikan itu adalah produk tiruan atau KW.

Tapi satu fakta yang tak boleh dinafikan, kupiah meukeutop ini terkenal ke seantero Indonesia karena adanya pabrikan di Pulau Jawa yang memproduksi dalam jumlah besar. 

Itu memang sudah sering terjadi di pasar global. 

Bahkan, merek-merek terkenal dunia semisal Adidas, Nike, Bally, Louis Vuitton, juga banyak yang kw, tapi dibiarkan, karena terkadang dengan lahirnya versi kw mereka tidak perlu bekerja keras lagi untuk menaikkan branding. 

Hanya kita perlu mengedukasi pasar bahwa ada yang asli, harganya tinggi tapi sesuai dengan kualitasnya.

Ibarat kata makan masakan ibu jauh lebih nikmat, maka membeli produksi asli juga jauh lebih hangat, soalnya dibuat oleh ibu-ibu dengan tangan yang penuh kasih sayang.

Dan hingga sejauh ini, kupiah meukeutop asli produk ibu-ibu di Tungkop dan Garot, memang belum tertandingi oleh pabrikan manapun.

Satu lagi harapan penulis, semoga tulisan ini semakin menambah literasi bagi generasi, untuk lebih mengenal dan mencintai buah karya warisan indatu.

Kutaraja, 5 Juni 2025

 

*) PENULIS, Tarmizi A Hamid adalah pemerhati sejarah dan budaya Aceh dan Pendiri Rumoh Manuskrip Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved