KPK Sebut Haryanto Staf Ahli Menaker Terima Rp 18 Miliar Dalam Kasus Pemerasan Izin TKA

KPK menyebut bahwa Staf Ahli Menaker Bidang Hubungan Internasional Haryanto (HYT) menerima uang Rp 18 miliar dalam kasus pemerasan TKA

Editor: Faisal Zamzami
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
GEDUNG KPK - Ilustrasi gedung KPK. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bahwa Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Bidang Hubungan Internasional Haryanto (HYT) menerima uang Rp 18 miliar dalam kasus dugaan pemerasan terhadap tenaga kerja asing. 

Baca juga: Eks Dirjen dan Pegawai Kemenaker Tersangka Pemerasan, Terima Rp 53,7 Miliar buat Urus Izin TKA

"Dalam proses permohonan RPTKA secara online oleh pemohon, PCW, ALF, dan JMS hanya memberitahukan kekurangan berkas melalui WhatsApp kepada pihak pemohon yang sudah pernah menyerahkan sejumlah uang pada pengajuan sebelumnya, atau pemohon yang menjanjikan akan menyerahkan uang setelah RPTKA selesai," kata Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis.

 "Sedangkan bagi pemohon yang tidak memberikan uang, tidak diberitahu kekurangan berkasnya, tidak diproses, atau diulur-ulur waktu penyelesaiannya," sambung dia.

Budi mengatakan, pemohon yang tidak diproses akan mendatangi kantor Kemenaker dan bertemu dengan petugas.

Pada pertemuan tersebut, ketiga staf Kemenaker menawarkan bantuan untuk mempercepat proses pengesahan RPTKA dan meminta sejumlah uang.

"Setelah diperoleh kesepakatan, pihak Kemenaker menyerahkan nomor rekening tertentu untuk menampung uang dari pemohon," ujar dia.

Budi mengatakan, dalam proses pengajuan RPTKA juga terdapat tahapan wawancara terkait identitas dan pekerjaan TKA yang akan dipekerjakan melalui Skype, dengan jadwal yang ditentukan secara manual.

Dia mengatakan, Putri, Alfa dan Jamal tidak memberikan jadwal Skype pada pemohon yang tidak memberikan uang dalam pengurusan RPTKA tersebut.

Padahal, RPTKA dibutuhkan oleh TKA untuk memenuhi persyaratan-persyaratan lain terkait izin kerja dan izin tinggal.

Apabila RPTKA tidak diterbitkan, lanjut Budi, penerbitan izin kerja dan izin tinggal TKA akan terhambat.

Hal ini, kata dia, menyebabkan TKA dikenai denda Rp 1.000.000 per hari.

"Sehingga para pemohon RPTKA terpaksa memberikan sejumlah uang kepada Direktur PPTKA dan Dirjen Binapenta melalui PCW, ALF, dan JMS selaku verifikator, supaya tidak terkena denda," tutur dia.


Budi mengatakan, selain memberikan perintah meminta uang, Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, dan Devi Angraeni juga aktif menerima uang dari ketiga staf dan Gatot Widiartono selaku Kepala Sub di Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja yang bersumber dari pengajuan RPTKA.

"Uang dari pemohon tersebut dibagikan setiap dua minggu dan membayar makan malam pegawai di Direktorat PPTKA," kata dia.

KPK mengatakan, para tersangka telah menerima uang hasil pemerasan sebesar Rp 53,7 miliar dari para pemohon izin RPTKA selama periode 2019-2024.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved