Jurnalisme Warga
Cinta Pertama Anak Gadis Adalah Ayahnya
Besok atau lusa, Darussalam akan kembali riuh oleh lalu-lalang mahasiswa dan mahasiswi. Seperti arus pasang yang datang tanpa perlu diundang
Oleh: Rustami ST*)
Catatan dari Seorang Perantau Tua di Kopelma Darussalam
SAYA tinggal di Kopelma Darussalam sudah lama. Terlalu lama malah.
Sampai-sampai anak-anak muda yang dulu saya kenal waktu jadi mahasiswa, kini sudah punya anak yang mondok di dayah dekat terminal.
Bagi kami para perantau tua, Darussalam bukan sekadar tempat belajar, melainkan tempat belajar tentang hidup. Tentang cita-cita, dan sesekali, tentang kehilangan.
Libur panjang semester ini terasa hening. Tapi sebentar lagi suasana akan berubah.
Besok atau lusa, Darussalam akan kembali riuh oleh lalu-lalang mahasiswa dan mahasiswi. Seperti arus pasang yang datang tanpa perlu diundang.
Mereka berdatangan dengan koper besar, semangat baru, dan kadang cinta yang belum sembuh dari semester lalu.
Dari beranda kamar kontrakan, saya menyaksikan pemandangan kalau boleh jujur yang membuat prihatin dan kasihan.
Anak-anak perempuan berjalan malam-malam dengan dandanan yang lebih cocok untuk konser daripada untuk kuliah.
Mereka tertawa keras, boncengan motor, menghilang ke lorong-lorong remang. Hati tua ini bertanya, “Di mana ayah mereka?”
Lalu saya mengingatkan diri sendiri, mungkin ayah mereka ada. Tapi tidak hadir.
Kita terlalu sering mengira bahwa tugas utama orang tua adalah menyekolahkan anak.
Bahwa kalau sudah kuliah di kota, sudah dapat kos yang aman, dan sudah dikirimi uang setiap bulan, maka tanggung jawab selesai.
Sayangnya, cinta tidak bekerja seperti transfer bank. Ia tidak bisa disalurkan lewat ATM. Cinta butuh kehadiran.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.