Jurnalisme Warga
Cinta Pertama Anak Gadis Adalah Ayahnya
Besok atau lusa, Darussalam akan kembali riuh oleh lalu-lalang mahasiswa dan mahasiswi. Seperti arus pasang yang datang tanpa perlu diundang
Ia perlu percakapan, pelukan, perhatian, dan rasa bahwa anak perempuan kita punya rumah untuk pulang sebelum dunia sempat menjeratnya.
Saya percaya, banyak anak gadis terjerumus bukan karena bodoh, tapi karena kosong.
Kosong dari telinga yang mau mendengar.
Kosong dari sosok laki-laki pertama yang bisa diteladani.
Kosong dari cinta yang sehat dari ayahnya sendiri.
Karena ketika rumah gagal memperkenalkan cinta sejati, maka jalanan akan menawarkan versi palsunya.
Cinta pertama anak gadis harus datang dari ayahnya.
Bukan dari pacar pertamanya, bukan dari ponsel pintar, dan bukan dari puisi basi di status WhatsApp. Dari ayah. Laki-laki pertama yang menggendongnya. Yang memanggilnya “putri” meski rumah tak punya balkon.
Saya punya teman, tukang becak di Lampineung.
Setiap sore ia menjemput anak gadisnya dari sekolah.
Si gadis duduk di jok depan, bukan di belakang.
“Biar dekat sama Abiya,” katanya.
Saya percaya, anak itu tidak mudah ditipu lelaki manis-manis.
Karena ia sudah kenyang dengan kasih sayang yang manis dari rumah.
Dari situ saya tahu. Benteng pertama dari pergaulan bebas, pelecehan seksual, dan narkoba bukanlah polisi, bukan pula kamera pengintai. Tapi ayah di rumah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.