Kupi Beungoh

Dilema Zakat sebagai PAD atau Non PAD : Peluang dan Tantangan di Aceh

Jika zakat dikelola oleh pemerintah daerah, ada risiko bahwa dana tersebut tidak akan digunakan sesuai dengan prinsip syariah

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Dinda Afrakasturi Kasvi, Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Oleh Dinda Afrakasturi Kasvi*)

Zakat, sebagai pilar penting dalam Islam, memiliki peran krusial dalam meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesenjangan sosial. Potensi zakat di Indonesia sangat
besar, mengingat populasi Muslim yang signifikan. 

Namun, muncul perdebatan mengenai status zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang memicu berbagai perspektif perlu dipertimbangkan secara mendalam. 

Aceh, sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang mendeklarasikan diri berdasarkan Syariat Islam (sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh), memiliki keistimewaan dalam pengelolaan zakat. 

Keleluasaan ini seharusnya menjadi peluang untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui pengelolaan zakat yang efektif. 

Namun, realisasinya belum memenuhi harapan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan landasan hukum yang kuat bagi pengelolaan zakat di Aceh

Pasal 180 ayat (1) huruf (d) menetapkan zakat sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf (a), menegaskan peran zakat dalam mendukung keuangan daerah. 

Baca juga: Belajar Dari Pengelolaan Zakat di Lembaga Zakat Dunia

Selanjutnya, Pasal 191 ayat (1) menunjuk Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota sebagai lembaga pengelola zakat, harta wakaf, dan harta agama, dengan ayat (2) memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaannya melalui Qanun (peraturan daerah). 

Selain itu, Pasal 192 memberikan insentif bagi masyarakat untuk menunaikan zakat dengan menjadikannya faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terutang dari wajib pajak.

Implementasi dari amanah Undang-Undang ini diwujudkan melalui Qanun Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal, yang menggantikan Qanun Nomor 10 Tahun 2007, menunjukkan komitmen Pemerintah Aceh untuk mengatur zakat, harta wakaf, dan harta agama melalui peraturan daerah. 

Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah Aceh untuk mengatur pengelolaan zakat melalui Qanun, mencakup penetapan zakat sebagai PAD, penunjukan Baitul Mal sebagai pengelola utama, dan pemberian insentif pajak bagi pembayar zakat, yang menjadi dasar penting bagi pengembangan sistem pengelolaan zakat yang efektif dan efisien di Aceh.

Penetapan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Aceh berawal sejak disahkannya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 

Ketentuan ini merupakan kekhususan yang tidak diberikan kepada daerah lain di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum. 

Langkah selanjutnya adalah pengesahan Qanun Provinsi NAD Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat dan Keputusan Gubernur Provinsi NAD Nomor 18 Tahun 2003 tentang Pembentukan Badan Baitul Mal Provinsi NAD. 

Badan Baitul Mal ini bertugas melaksanakan pengelolaan zakat, pembinaan muzakki (pemberi zakat) dan mustahiq (penerima zakat), serta pemberdayaan harta agama sesuai dengan ketentuan syariat Islam. 

Baitul Mal Aceh merupakan salah satu lembaga keistimewaan Aceh yang diharapkan independen dalam
mengelola zakat, harta wakaf, harta agama, serta harta perwalian.

Baca juga: Zakat sebagai Pengurang Pajak Akan Diatur Melalui Peraturan Pemerintah

Meskipun zakat telah ditetapkan sebagai PAD dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, upaya untuk memperjelas statusnya sebagai PAD Khusus
menghadapi berbagai kendala. 

Awalnya, penyelesaian pembukuan zakat dalam perhitungan APBA tahunan diupayakan melalui mekanisme pos transito. 

Namun, rancangan Qanun tentang Baitul Mal yang mengusulkan zakat sebagai PAD Khusus ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) karena Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 hanya menyebutkan PAD secara umum. 

Konsisten dengan hal ini, Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2008 juga tidak mencantumkan zakat sebagai PAD Khusus, sejalan dengan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007.

Lebih lanjut, DPR-Aceh menghapus keberadaan Dewan Pertimbangan Syariah dari bagian Qanun, mengalihkan fungsi tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh

Selain itu, pembentukan Sekretariat sebagai bagian dari SKPD pemerintah Aceh dalam struktur Baitul Mal
menciptakan tiga unsur pelaksana, yang menyebabkan struktur kelembagaan menjadi kurang responsif. 

Dengan demikian, upaya untuk memperjelas status zakat sebagai PAD Khusus di Aceh menghadapi tantangan signifikan, termasuk penolakan dari DPRA dan kompleksitas struktur kelembagaan Baitul Mal.

Pencantuman zakat sebagai salah satu penerimaan PAD, dalam berbagai ketentuan perundangundangan dengan segala akibat hukum yang melekat, khususnya peraturan pengelolaan keuangan daerah, dianggap bertentangan dengan esensi zakat yang sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an, disamping Al-Hadits dan penjabaran dalam fiqh zakat sesuai dengan masanya.

Baca juga: Wagub Aceh Naik Ojek ke Kementerian, Perjuangkan Dana Otsus Hingga Zakat Sebagai Pengurang Pajak

Untuk mempertemukan kedua prinsip dasar yang saling bertentangan tersebut, diperlukan solusi yang arif dan bijaksana melalui penetapan Zakat sebagai PAD-Khusus.

Di satu sisi, menganggap zakat sebagai PAD dapat memberikan keuntungan bagi daerah. Dengan pengelolaan yang baik, zakat dapat menjadi sumber pendanaan yang signifikan untuk programprogram sosial dan pembangunan infrastruktur. 

Misalnya, dana zakat dapat digunakan untuk mendukung pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. 

Hal ini sejalan dengan prinsip zakat yang bertujuan untuk membantu mereka yang kurang mampu dan
menciptakan kesejahteraan bersama. 

Namun, Memasukkan zakat ke dalam kategori Pendapatan Asli Daerah (PAD) menimbulkan tantangan signifikan, terutama terkait dengan kepatuhan terhadap prinsip syariah dan kepercayaan masyarakat.

Pertama, zakat memiliki aturan dan ketentuan syariah yang ketat mengenai pengelolaan dan
penyalurannya, di mana zakat harus disalurkan kepada delapan asnaf (kelompok penerima) yang
telah ditentukan dalam syariah, dan penggunaan dana zakat di luar delapan asnaf tidak
diperbolehkan. 

Jika zakat dikelola oleh pemerintah daerah, ada risiko bahwa dana tersebut tidak akan digunakan sesuai dengan prinsip syariah, yang pada akhirnya dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat. 

Oleh karena itu, perlu ada mekanisme yang kuat untuk memastikan pengelolaan zakat tetap sesuai dengan syariah jika dimasukkan ke dalam kategori PAD.

Kedua, Pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpotensi menimbulkan konflik dan kebingungan di kalangan masyarakat, terutama terkait dengan kewajiban pajak.

Masyarakat dapat merasa terbebani jika harus membayar pajak dan juga menyetor zakat yang dikelola oleh pemerintah, yang dapat memicu ketidakpuasan dan mengurangi partisipasi dalam menunaikan zakat. 

Baca juga: Perkuat Peran Baitul Mal Gampong, Gubernur Aceh Usulkan Anggaran Belanja Zakat & Infak Masuk SPID 

Zakat memiliki karakteristik yang berbeda dengan pajak, sebagai kewajiban spiritual yang seharusnya tidak diperlakukan sebagai pajak yang bersifat wajib dan terikat oleh regulasi pemerintah. 

Pengelolaan zakat sebagai PAD juga dapat menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, mengurangi motivasi mereka untuk menunaikan kewajiban zakat karena merasa terbebani membayar zakat dan pajak secara bersamaan. 

Selain itu, kebijakan zakat sebagai PAD masih menimbulkan banyak interpretasi yang berbeda, sehingga menyulitkan implementasinya di lapangan.

Ketiga, regulasi yang ada saat ini belum cukup jelas dan komprehensif untuk mengatur zakat sebagai PAD

Hal ini menyebabkan ketidakpastian dalam pengelolaan dan distribusi zakat, yang seharusnya diarahkan untuk membantu mustahik sesuai dengan ketentuan syariah. 

Jika zakat dijadikan sebagai PAD, ada risiko bahwa penggunaannya akan terpengaruh oleh kepentingan
politik dan administrasi, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah yang mengatur zakat.

Keempat, keterlibatan negara dalam pengelolaan zakat harus dilakukan dengan hati-hati. 

Meskipun negara memiliki peran dalam mengatur dan memfasilitasi pengumpulan zakat, pengelolaan zakat seharusnya tetap berada di tangan lembaga yang memiliki pemahaman mendalam tentang syariat Islam, seperti Baitul Mal. 

Dengan demikian, zakat seharusnya tetap diperlakukan sebagai instrumen sosial yang terpisah dari sistem pajak dan pendapatan daerah.

Zakat seharusnya dipandang bukan hanya sebagai kewajiban agama, tetapi juga sebagai instrumen
penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di Aceh, mengingat potensi zakat yang besar
untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam. 

Oleh karena itu, pengelolaan zakat harus menjadi prioritas bagi pemerintah dan lembaga terkait. Salah satu isu utama saat ini adalah adanya kebingungan di masyarakat mengenai kewajiban membayar zakat dan pajak, yang menunjukkan perlunya edukasi yang lebih baik tentang perbedaan dan hubungan antara keduanya.

Masyarakat perlu diyakinkan bahwa zakat tidak hanya merupakan kewajiban spiritual, tetapi juga dapat
berkontribusi pada pembangunan daerah.

Baca juga: Begini Strategi Sukses Meraih Beasiswa Double Degree BIB-LPDP Kemenag: Panduan dan Pengalaman

Menindaklanjuti hal diatas, walaupun Aceh telah memiliki regulasi yang mengatur zakat sebagai
Pendapatan Asli Daerah (PAD), implementasinya masih menghadapi banyak tantangan, termasuk
regulasi yang kurang jelas dan sulit dipahami oleh masyarakat. 

Kebijakan yang ada perlu direvisi, dan penetapan zakat sebagai PAD khusus dapat membantu menghindari kebingungan serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan zakat. 

Baitul Mal Aceh, yang memiliki peran sentral dalam pengelolaan zakat, memerlukan otoritas yang lebih besar dan dukungan yang memadai dari pemerintah agar dapat menjalankan fungsinya secara efektif. 

Selain itu, transparansi dalam pengelolaan dana zakat sangat penting untuk membangun kepercayaan
masyarakat, dan sosialisasi yang intensif serta berkelanjutan tentang zakat dan manfaatnya harus
dilakukan untuk mengajak masyarakat berpartisipasi aktif.

Oleh karena itu, penting untuk menemukan jalan tengah, dan salah satu solusi yang mungkin
adalah membentuk lembaga pengelola zakat yang independen, yang bekerja sama dengan
pemerintah daerah. 

Lembaga ini dapat bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat sesuai dengan ketentuan syariah, sambil tetap berkoordinasi dengan program-program pembangunan daerah. 

Dengan cara ini, zakat dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa mengorbankan prinsip-prinsip yang mendasarinya. 

Baca juga: Pemerintah Batal Beri Diskon Listrik 50 Persen, Ini Rincian Tarif Listrik Terbaru per 9 Juni 2025

Secara keseluruhan, zakat memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada PAD dan kesejahteraan masyarakat Aceh, tetapi untuk mencapai potensi tersebut, diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, Baitul Mal, dan masyarakat, serta perbaikan dalam regulasi dan sosialisasi. 

Menganggap zakat sebagai PAD mungkin bukan solusi terbaik, tetapi kolaborasi antara lembaga zakat dan pemerintah daerah dapat menciptakan sinergi yang bermanfaat bagi masyarakat. 

Sebaiknya, zakat dikelola secara terpisah dengan prinsip-prinsip syariah yang jelas, agar dapat memberikan manfaat maksimal bagi mereka yang berhak menerimanya.

*) PENULIS adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved