Kupi Beungoh
Izin Diabaikan, Lingkungan Dikorbankan: Wajah Buram Tambak Intensif di Aceh Besar
Aceh Besar, salah satu wilayah pesisir dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, kini menghadapi ancaman serius akibat maraknya pembangunan
Oleh: Iwan Afriadi
Aceh Besar, salah satu wilayah pesisir dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, kini menghadapi ancaman serius akibat maraknya pembangunan tambak intensif tanpa izin.
Fenomena ini bukan sekadar soal administratif, melainkan cermin dari krisis tata kelola lingkungan yang sedang berlangsung.
Di balik geliat ekonomi yang terlihat menjanjikan, tersimpan potensi kerusakan ekologis yang sangat besar dan dampaknya sudah mulai terasa.
Tambak-tambak udang tumbuh pesat di sepanjang garis pantai, sayangnya, sebagian besar tambak tersebut dibangun tanpa melalui prosedur perizinan yang sah, seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Izin Lokasi, atau Izin Usaha Budidaya.
Pelaku usaha beralasan bahwa proses perizinan terlalu rumit, birokratis, dan mahal.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa alasan tersebut sering kali hanya dijadikan tameng untuk menghindari kewajiban hukum dan tanggung jawab lingkungan.
Pembangunan tambak intensif tanpa izin memiliki dampak yang luas.
Baca juga: Harga Emas Melesat di Tengah Drama Perdagangan AS-China dan Ketegangan Inflasi!
Salah satu dampak paling nyata adalah kerusakan ekosistem pesisir, khususnya hutan mangrove yang ditebang demi membuka lahan tambak.
Padahal, mangrove berfungsi vital sebagai pelindung pantai dari abrasi, tempat pembesaran ikan, serta penyangga sistem ekologis pesisir.
Ketika mangrove hilang, abrasi pantai meningkat, biota laut kehilangan habitat, dan risiko bencana ekologis menjadi lebih tinggi.
Selain itu, limbah dari aktivitas tambak yang tidak dikelola dengan baik mengalir langsung ke sungai dan laut.
Pencemaran air ini berdampak pada menurunnya kualitas perairan, munculnya penyakit pada ikan, serta mengganggu aktivitas nelayan tradisional yang menggantungkan hidup dari hasil laut.
Limbah kaya nitrogen dan fosfat dari pakan serta kotoran udang dari tambak dapat memicu ledakan alga (eutrofikasi) yang mematikan organisme lain karena menurunnya kadar oksigen di perairan.
Kondisi ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dari instansi terkait.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan masih jauh dari ideal.
Tambak-tambak ilegal tetap beroperasi tanpa hambatan berarti, bahkan beberapa pelaku usaha justru memperluas areal tambaknya.
Ketika pelanggaran tidak ditindak tegas, maka muncul anggapan bahwa membangun tanpa izin adalah hal lumrah dan bebas dari konsekuensi.
Situasi ini mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Padahal, pembangunan yang berkelanjutan bukan hanya soal peningkatan ekonomi, tetapi juga menjamin bahwa aktivitas usaha tidak merusak ekosistem yang menopangnya.
Jika pemerintah gagal menegakkan aturan, maka mereka turut berkontribusi dalam menciptakan bencana ekologis di masa depan.
Solusi terhadap masalah ini memerlukan pendekatan terpadu.
Baca juga: Bencana Tanah longsor Landa Aceh Timur, 2 Rumah Ambruk di Desa Seuneubok Saboh
Pertama, pemerintah harus memperkuat sistem perizinan dengan mempercepat dan menyederhanakan prosedur tanpa mengurangi substansi pengawasan.
Sistem OSS (Online Single Submission) perlu dioptimalkan agar lebih ramah bagi pelaku usaha kecil dan menengah.
Kedua, penegakan hukum harus dilakukan secara konsisten.
Tambak-tambak yang terbukti melanggar aturan harus ditindak, termasuk dengan pencabutan izin, penutupan lokasi, dan denda lingkungan.
Pemerintah juga perlu mendorong restorasi kawasan yang rusak, misalnya melalui penanaman kembali mangrove dan rehabilitasi ekosistem pesisir.
Ketiga, edukasi dan pelibatan masyarakat lokal sangat penting.
Masyarakat harus diberi pemahaman bahwa izin usaha bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan dan masa depan generasi berikutnya.
Selain itu, pelibatan masyarakat dalam pengawasan dapat menjadi mekanisme kontrol sosial yang efektif.
Pelaku usaha juga harus mengubah paradigma mereka.
Keuntungan ekonomi jangka pendek tidak sebanding dengan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan.
Sebuah tambak yang legal, ramah lingkungan, dan berizin akan lebih berkelanjutan dan memberikan manfaat yang lebih luas, tidak hanya bagi pemilik usaha, tetapi juga bagi masyarakat sekitar dan lingkungan hidup.
Aceh Besar memiliki potensi besar untuk menjadi contoh sukses pengelolaan tambak yang berkelanjutan.
Namun, hal itu hanya bisa terwujud jika seluruh pihak : pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, bekerja sama dalam kerangka hukum dan etika lingkungan.
Jika tidak, maka tambak-tambak tanpa izin ini akan menjadi warisan kelam bagi generasi mendatang.
Sudah waktunya kita menyadari bahwa lingkungan bukan harga yang bisa ditawar dalam pembangunan.
Tanpa izin yang sah dan tata kelola yang baik, tambak bukanlah simbol kemajuan, melainkan bom waktu ekologis yang bisa meledak kapan saja.
Penulis adalah mahasiswa Magister Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu (MPSPT), Universitas Syiah Kuala (USK)
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.