Opini
Menyoal 4 Pulau, Menanti Lobi Mualem ke Prabowo
Nah, momentum ini harus digunakan oleh Mualem untuk melobi 4 pulau di Aceh Singkil ini agar kembali menjadi milik Aceh.
Munawar AR S Sos MSi, Ketua Fraksi PKB DPRA/Sekretaris PKB Aceh
DI tengah minimnya kepercayaan Aceh terhadap pemerintah pusat akibat tidak terealisasinya 100 persen butir-butir kesepakatan damai MoU Helsinki oleh pemerintah pusat terhadap Aceh, kini Aceh kembali diguncang oleh isu lama yang belum tuntas: batas wilayah. Kali ini, sorotan tertuju pada empat pulau kecil; Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang, yang ratusan tahun lalu merupakan bagian dari Aceh, kini secara administratif tercantum dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, melalui SK Kemendagri No. 100.2.1.3-3722 Tahun 2023.
Sikap resistensi pun muncul dari Aceh. Sejumlah tokoh Aceh bersuara lantang, menolak Keputusan Mendagri, juga menolak usulan “pengelolaan bersama” yang dilontarkan oleh Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution.
Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, dalam beberapa artikelnya di rubrik Kupi Beungoh Serambinews.com, sampai mengutarakan kekhawatirannya terhadap persoalan “pembegalan” empat pulau milik Aceh ini.
Menurutnya, Keputusan Mendagri yang memasukkan empat pulau milik Aceh ini ke dalam wilayah Sumatera Utara, menyentuh sesuatu yang lebih dalam: rasa memiliki atas wilayah, kehormatan simbolik, dan luka sejarah yang belum benar-benar sembuh.
“Seperti dalam epigenetik, tekanan lingkungan ini membangkitkan kembali “gen resistensi” yang selama ini tertidur dalam tubuh sosial Aceh pascadamai,” tulis Prof.
Humam dalam artikel berjudul “Epigenetika Aceh Singkil: Pelajaran dari Catalonia, Mindanao, dan Skotlandia,” yang tayang di Serambinews.com, Rabu (11/6/2025).
Ya, Prof. Humam mengingatkan kemungkinan lahirnya konflik baru di Aceh. Seperti yang terjadi di Catalonia (Spanyol), Skotlandia, dan Mindanao Selatan (Filipina). Di Catalonia, tulis Prof Humam, keputusan-keputusan pusat yang dianggap menekan otonomi budaya dan politik justru memperkuat sentimen separatisme, bahkan terus berlanjut dengan kekerasan, sampai hari ini.
Sementara di Skotlandia, isu kemerdekaan tidak hanya soal ekonomi, tapi lebih kepada perasaan identitas dan keadilan yang tidak terpenuhi. Sedangkan di Mindanao Selatan, rasa kecewa terhadap pusat yang dianggap tidak adil dalam distribusi wilayah dan sumber daya menjadi salah satu penyebab konflik yang berkepanjangan.
“Aceh belum tentu akan menempuh jalan yang sama, tetapi gejalanya sudah mulai terlihat.
Maraknya pernyataan dari tokoh masyarakat, aktivasi wacana identitas lokal, dan bangkitnya generasi muda yang membawa ulang narasi resistensi telah mulai bergulir perlahan,” ujarnya.
“Ini bukan soal keinginan lepas dari Indonesia, tetapi soal keinginan untuk didengar dan dihormati secara setara. Bila hal ini terus diabaikan, negara bisa kehilangan kepercayaan yang telah dibangun susah payah sejak damai ditandatangani,” imbuh Prof Humam.
Bukan hanya Prof. Humam Hamid, suara-suara kontra terhadap keputusan Mendagri ini juga datang dari banyak tokoh Aceh, termasuk dari kalangan eks kombatan dan para anggota DPD serta DPR RI. Sebagai sekretaris parpol di level Provinsi, saya juga melihat mulai munculnya dan kegelisahan tumbuh di masyarakat Aceh yang selama ini hidup berbatasan langsung dengan Sumatera Utara. Bagi masyarakat Aceh ini bukan sekadar garis di atas peta, ini harga diri. Kepada pemerintah pusat kita ingin jangan lagi membuat Aceh menangis setelah damai yang kami jaga dengan sepenuh hati.
Sejarah dan jati diri
Keempat pulau itu bukanlah daratan asing. Sejak 1965, dokumen pemerintahan menyebutnya sebagai bagian dari Aceh. Bahkan, tugu batas yang berdiri kokoh di Pulau Panjang sejak 2012 menjadi simbol kehadiran dan kedaulatan Aceh. Namun kini, batas itu seperti dihapus oleh tinta birokrasi pusat yang mengeluarkan Keputusan melalui Kementerian Dalam Negeri.
Aceh bukan provinsi yang lahir kemarin. Ini tanah yang menyimpan sejarah panjang, dari generasi ke generasi. Bukan hanya sebaris dalam peta, tapi napas kehidupan dan darah perjuangan. Berbagai literasi sejarah telah mencatat dokumen terkait kepemilikan 4 pulau tersebut adalah milik Aceh. Maka wajar penulis berkeyakinan apa yang dilakukan oleh Forum Bersama DPR RI dan DPD RI asal Aceh dengan melakukan aksi di pulau Aceh Singkil sudah tepat dan pesan aksi tersebut telah sampai ke Pemerintah Pusat. Aksi damai dari berbagai elemen sipil menyerukan penolakan atas SK Mendagri, meminta Forkopimda tidak bungkam.
Di Aceh Singkil, tempat pulau-pulau itu berada, para nelayan dan warga merasa kehilangan lebih dari sekadar wilayah. Mereka merasa tak dianggap, seakan eksistensi mereka terhapus begitu saja, hanya dengan selembar kertas dari Mendagri. Tanpa melalui proses uji pengadilan dan pemeriksaan seluruh dokumen terkait kepemilikan pulau-pulau itu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.