Kupi Beungoh

Empat Pulau Aceh: Antara Lupa Sejarah dan Keliru Kebijakan

publik Aceh digemparkan oleh penetapan empat pulau yang terletak di kawasan Singkil sebagai bagian dari wilayah administratif Sumatera Utara

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Tarmizi A Hamid atau Cek Midi, warga Aceh yang peduli pada sejarah dan martabat daerahnya 

Oleh: Tarmizi A Hamid atau Cek Midi*)

Beberapa waktu terakhir publik Aceh digemparkan oleh penetapan empat pulau yang terletak di kawasan Singkil sebagai bagian dari wilayah administratif Sumatera Utara

Keputusan ini ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan sontak menimbulkan polemik di tengah masyarakat Aceh, baik dari kalangan tokoh, akademisi, maupun warga biasa.

Namun sayangnya, perdebatan yang muncul justru sering kali menjauh dari pokok persoalan yang sesungguhnya. 

Banyak yang terbawa arus opini tanpa memahami secara mendalam konteks historis, kultural, dan geopolitik dari keberadaan empat pulau tersebut. 

Yang lebih ironis, muncul pula suara-suara dari sebagian tokoh Aceh yang justru melegitimasi langkah tersebut dengan dalih "kerja sama" atau "kolaborasi". 

Ini bukan sekadar kekeliruan, tetapi bisa disebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap sejarah panjang perjuangan Aceh.

Membaca Sejarah sebagai Cermin

Aceh bukanlah daerah tanpa sejarah. Ia adalah salah satu kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara yang pernah mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda. 

Di bawah kepemimpinannya, Aceh bukan hanya mampu mempertahankan wilayahnya dari kekuatan kolonial seperti Inggris, Spanyol, Prancis, Belanda, hingga Jepang, tetapi juga mampu melakukan ekspansi hingga ke kawasan yang kini dikenal sebagai Sumatera Utara.

Pada tahun 1612, Kerajaan Aceh dengan bantuan militer dari Turki Utsmani berhasil menaklukkan Kerajaan Aru dan Deli, dua kerajaan penting di pesisir timur Sumatera. 

Baca juga: Apresiasi Prabowo Ambil Alih Soal 4 Pulau Aceh, Ngoh Wan: Bobby dan Masinton Jangan Bermanuver Lagi

Deli kemudian menjadi protektorat Aceh, wilayah yang berada dalam pengaruh langsung Kesultanan Aceh Darussalam. 

Penaklukan ini bukan semata ekspansi, melainkan bagian dari strategi geopolitik Aceh untuk mengontrol jalur perdagangan Selat Malaka dan membentengi wilayahnya dari ancaman asing.

Penguasaan terhadap wilayah-wilayah ini adalah bagian dari rekam jejak sejarah yang tak bisa dinafikan. 

Maka, ketika hari ini sebagian dari kawasan yang dulunya berada dalam orbit kekuasaan Aceh justru dipindahkan secara administratif tanpa perlawanan, tentu ini menjadi tamparan keras bagi marwah Aceh.

Aceh Pasca Damai dan Bahaya Lupa Diri

Pasca penandatanganan nota damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2005, Aceh telah menunjukkan komitmennya untuk kembali ke pangkuan NKRI. 

Namun itu bukan berarti Aceh kehilangan hak untuk mempertahankan jati diri, integritas wilayah, dan warisan sejarahnya.

 Justru perdamaian seharusnya menjadi ruang yang sehat untuk memperjuangkan hak-hak tersebut dalam kerangka hukum dan demokrasi.

Baca juga: Jakarta Jangan Pancing Amarah Rakyat Aceh

Yang mengherankan, alih-alih melakukan langkah hukum untuk menolak pengalihan wilayah, justru muncul wacana agar Pemerintah Aceh yang menggugat ke pengadilan.

 Ini adalah logika yang sangat janggal: bagaimana mungkin pemilik sah sebuah aset diminta untuk menggugat perampasannya, sementara negara yang seharusnya menjadi pelindung justru bersikap ambigu?

Memelihara Harga Diri, Menjaga Warisan Leluhur

Sebagai bangsa yang besar, kita diajarkan untuk menghargai sejarah.

 Tetapi bagaimana mungkin sebuah bangsa bisa disebut besar bila ia membiarkan sebagian wilayahnya beralih tanpa alasan yang logis dan transparan?

Empat pulau di Singkil bukan hanya sepetak tanah; ia adalah simbol dari kehormatan, sejarah, dan warisan perjuangan panjang.

 Jika hari ini aset itu bisa hilang begitu saja tanpa perang, tanpa perlawanan, maka kita harus bertanya: "apa yang tersisa dari harga diri kita sebagai bangsa?"

Baca juga: VIDEO 4 Pulau Singkil Beralih ke Sumut - HRD: Kita Harus Kompak Perjuangkan Kepentingan Aceh

Pengalihan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara bukanlah sekadar urusan administratif. Ia adalah luka di tubuh sejarah. 

Dan jika luka ini dibiarkan terbuka tanpa pengobatan, maka yang akan tumbuh bukan hanya rasa kecewa, tetapi juga ketidakpercayaan terhadap semangat kebangsaan itu sendiri.

Maka mari kita jujur pada diri sendiri, bahwa mempertahankan warisan bukanlah bentuk perlawanan terhadap negara, melainkan bagian dari cinta kepada negeri yang lebih besar: Indonesia.

Kutaraja, 17 Juni 2025

*) PENULIS adalah warga Aceh yang peduli pada sejarah dan martabat daerahnya.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved