Jurnalime Warga
Paradoks Ekonomi Aceh, Dana Besar, Kemiskinan Tinggi
Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata nasional yang berada di kisaran 9,5%. Meskipun sudah mendapat dana otsus hampir dua dekade, Aceh masih berad
Solusi komprehensif
Untuk mengatasi paradoks ekonomi ini, diperlukan solusi yang komprehensif dan terintegrasi. Solusi tersebut harus mencakup reformasi struktural, peningkatan kapasitas SDM, serta optimalisasi pengelolaan sumber daya secara transparan dan partisipatif.
Perlu ada reformasi mendasar dalam tata kelola dana otsus. Dana ini harus dialihkan dari belanja rutin ke belanja pembangunan dan investasi produktif. Perlu dibentuk sistem monitoring dan evaluasi yang independen, serta penguatan peran masyarakat sipil dalam pengawasan penggunaan dana.
Pemerintah Aceh juga harus lebih selektif dalam menggunakan dana untuk program yang benar-benar bisa menggerakkan roda ekonomi, seperti pengembangan sektor pertanian berbasis teknologi, industri pengolahan hasil laut, dan pariwisata syariah.
Aceh memiliki potensi besar di bidang pertanian, perikanan, dan pariwisata. Potensi ini harus dimaksimalkan melalui investasi infrastruktur pendukung, akses permodalan, dan pelatihan teknis bagi petani, nelayan, dan pelaku UMKM. Sektor perikanan di Aceh memiliki potensi tangkap yang sangat besar, tetapi belum didukung oleh fasilitas pengolahan ikan modern. Dengan adanya pabrik pengolahan ikan dan 'cold storage' di pelabuhan-pelabuhan utama seperti Pelabuhan Malahayati, nilai tambah hasil laut Aceh bisa meningkat secara signifikan.
Infrastruktur menjadi salah satu kunci untuk menumbuhkan ekonomi Aceh. Jalan tol Trans-Sumatera, Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, dan pelabuhan laut dalam di Sabang adalah contoh infrastruktur strategis yang dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi. Aceh juga membutuhkan infrastruktur digital, terutama untuk meningkatkan akses layanan keuangan, pendidikan, dan informasi bagi masyarakat pedesaan.
Investasi dalam pendidikan dan pelatihan vokasional harus menjadi prioritas. Program beasiswa untuk pendidikan tinggi, pelatihan teknis bagi tenaga kerja muda, serta peningkatan mutu guru dan dosen akan menjadi fondasi bagi pembangunan manusia Aceh. Perlindungan hak-hak pekerja migran Aceh yang tersebar di Malaysia dan Timur Tengah juga harus ditingkatkan. Transfer uang dari TKI Aceh ke kampung halaman bisa menjadi sumber pendapatan keluarga yang signifikan jika dikelola dengan baik.
Partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pengelolaan pembangunan harus diperkuat.
Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) harus pula benar-benar melibatkan aspirasi warga desa dan kota, bukan sekadar formalitas birokrasi. Komunitas lokal harus dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya alam mereka, misalnya melalui model koperasi atau badan usaha milik desa. Ini akan mendorong 'sense of belonging' dan meningkatkan efektivitas program pembangunan.
Aceh memiliki potensi besar dalam energi baru dan terbarukan (EBT), terutama panas bumi (geotermal).
Selain Seulawah Agam di Aceh Besar, wilayah Gayo Lues dan sekitarnya memiliki cadangan geotermal yang sangat besar. Pemanfaatannya tidak hanya akan memberikan energi listrik murah bagi masyarakat, tetapi juga membuka lapangan kerja baru dan menarik investasi. Pemerintah Aceh perlu menjalin kemitraan dengan investor swasta maupun lembaga donor internasional untuk pengembangan sektor EBT yang lebih optimal.
Reformasi birokrasi di Aceh harus menjadi agenda prioritas. ASN harus dipastikan memiliki kompetensi, integritas, dan motivasi untuk melayani publik. Sistem rekrutmen, promosi, dan evaluasi kinerja harus transparan dan meritokratis. Lembaga pengawasan seperti Inspektorat Daerah dan BPK harus diberi kewenangan penuh untuk melakukan audit secara berkala dan menindaklanjuti temuan-temuan penyimpangan
Di tangan kita bersama
Aceh memiliki potensi besar untuk bangkit dan menjadi salah satu provinsi maju di Indonesia. Namun, potensi tersebut tidak akan berarti tanpa pengelolaan yang baik, kepemimpinan yang visioner, dan partisipasi aktif masyarakat.
Paradoks ekonomi Aceh, yaitu dana besar, kemiskinan tinggi adalah cermin dari kompleksitas tantangan yang dihadapi sebuah wilayah pascakonflik. Untuk mengubah situasi ini, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, akademisi, organisasi masyarakat, dan tentunya masyarakat Aceh sendiri.
Dengan 'political will' yang kuat, tata kelola yang transparan, dan fokus pada pembangunan berkelanjutan, Aceh bisa keluar dari lingkaran kemiskinan dan menjadi contoh keberhasilan pembangunan di kawasan Asia Tenggara.
Aceh punya waktu hingga 2027 untuk mempersiapkan diri mandiri tanpa dana otsus. Jika momentum ini tidak dimanfaatkan dengan baik, maka paradoks ekonomi ini akan terus berlangsung.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.