Jurnalime Warga
Paradoks Ekonomi Aceh, Dana Besar, Kemiskinan Tinggi
Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata nasional yang berada di kisaran 9,5%. Meskipun sudah mendapat dana otsus hampir dua dekade, Aceh masih berad
Dr. Ir. AZWAR ABUBAKAR, M.M., Ketua Lembaga Pemerhati dan Advokasi Syariat Islam (Lepadsi), melaporkan dari Banda Aceh
Aceh merupakan provinsi yang terletak di ujung utara Pulau Sumatra. Sebagai wilayah yang berada di depan gerbang jalur perdagangan maritim internasional, Aceh pernah menjadi pusat kekuatan maritim yang disegani pada masa lalu.
Namun, akibat konflik bersenjata yang berkepanjangan, Aceh mengalami kemunduran multidimensi, termasuk di fase awal pascakonflik. Untuk membantu pemulihan ekonomi dan sosial daerah ini, pemerintah pusat memberikan dana otonomi khusus (otsus) sebesar 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional kepada Aceh setiap tahunnya. Dana ini berlaku untuk jangka waktu 20 tahun, dengan rincian:
- Tahun pertama sampai ke-15: 2?ri plafon DAU nasional
- Tahun ke-16 sampai ke-20: 1?ri plafon DAU nasional.
Dana otsus ini digunakan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan di Aceh.
Sayangnya, meski angka kemiskinan nasional makin menurun, Aceh justru menghadapi paradoks ekonomi: dana besar mengalir setiap tahun, tetapi tingkat kemiskinan tetap tinggi.
Kemiskinan tak turun signifikan
Berdasarkan data BPS Aceh, jumlah penduduk miskin di Aceh pada Maret 2023 mencapai 715.800 orang atau sekitar 15,41?ri total populasi. Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata nasional yang berada di kisaran 9,5 % . Meskipun sudah mendapat dana otsus hampir dua dekade, Aceh masih berada di posisi 5 besar dalam daftar provinsi termiskin di Indonesia.
Sejak tahun 2008, Aceh memperoleh dana otsus 2?ri DAU nasional. Dengan asumsi PNBP migas nasional sekitar Rp100 triliun per tahun, maka Aceh mendapatkan aliran dana sekitar Rp2 triliun setiap tahun. Namun, lima tahun terakhir, alokasi tersebut berkurang menjadi hanya 1 % , atau sekitar Rp1 triliun per tahun, dan akan berakhir pada 2027. Ironisnya, meski dana besar telah mengalir, dampaknya tidak signifikan pada penurunan kemiskinan.
Kenapa tak berdampak optimal?
Salah satu penyebab utama adalah lemahnya tata kelola keuangan daerah. Dana otsus sering kali digunakan untuk belanja rutin seperti operasional birokrasi dan pembayaran utang masa lalu, bukan untuk investasi produktif.
Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI, banyak temuan pengelolaan dana otsus yang tidak sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Kedua, Aceh belum memiliki infrastruktur produksi yang kuat. Sektor pertanian, perikanan, dan UMKM yang merupakan tulang punggung ekonomi lokal masih tertinggal. Akses pasar, teknologi, serta dukungan modal bagi pelaku usaha masih sangat terbatas. Padahal, potensi sumber daya alam Aceh cukup besar, mulai dari minyak bumi, gas alam, hingga hasil laut dan pertanian.
Ketiga, korupsi juga menjadi faktor penting dalam ketidakefektifan penggunaan dana otsus. Beberapa kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat Aceh telah mencoreng citra pengelolaan dana ini. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat sering diselewengkan ke kepentingan politik atau keuntungan pribadi.
Kempat, masih banyak program yang tidak didasarkan pada perencanaan berbasis kinerja yang terukur.
Kelima, pemerintahan kolaborasi (collaborative government) belum memadai, yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, pengusaha, LSM, dan sebagainya, sehingga menjadi jelas siapa berbuat apa dan menghasilkan apa.
Kelima, rendahnya kapasitas SDM dan kurangnya profesionalisme, terutama di sektor birokrasi.
Keenam, banyak program pembangunan yang tidak terserap karena minimnya kemampuan teknis aparatur dalam merancang dan mengelola proyek. Hal ini menyebabkan alokasi dana tidak tepat sasaran dan kurang efektif.
Solusi komprehensif
Untuk mengatasi paradoks ekonomi ini, diperlukan solusi yang komprehensif dan terintegrasi. Solusi tersebut harus mencakup reformasi struktural, peningkatan kapasitas SDM, serta optimalisasi pengelolaan sumber daya secara transparan dan partisipatif.
Perlu ada reformasi mendasar dalam tata kelola dana otsus. Dana ini harus dialihkan dari belanja rutin ke belanja pembangunan dan investasi produktif. Perlu dibentuk sistem monitoring dan evaluasi yang independen, serta penguatan peran masyarakat sipil dalam pengawasan penggunaan dana.
Pemerintah Aceh juga harus lebih selektif dalam menggunakan dana untuk program yang benar-benar bisa menggerakkan roda ekonomi, seperti pengembangan sektor pertanian berbasis teknologi, industri pengolahan hasil laut, dan pariwisata syariah.
Aceh memiliki potensi besar di bidang pertanian, perikanan, dan pariwisata. Potensi ini harus dimaksimalkan melalui investasi infrastruktur pendukung, akses permodalan, dan pelatihan teknis bagi petani, nelayan, dan pelaku UMKM. Sektor perikanan di Aceh memiliki potensi tangkap yang sangat besar, tetapi belum didukung oleh fasilitas pengolahan ikan modern. Dengan adanya pabrik pengolahan ikan dan 'cold storage' di pelabuhan-pelabuhan utama seperti Pelabuhan Malahayati, nilai tambah hasil laut Aceh bisa meningkat secara signifikan.
Infrastruktur menjadi salah satu kunci untuk menumbuhkan ekonomi Aceh. Jalan tol Trans-Sumatera, Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, dan pelabuhan laut dalam di Sabang adalah contoh infrastruktur strategis yang dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi. Aceh juga membutuhkan infrastruktur digital, terutama untuk meningkatkan akses layanan keuangan, pendidikan, dan informasi bagi masyarakat pedesaan.
Investasi dalam pendidikan dan pelatihan vokasional harus menjadi prioritas. Program beasiswa untuk pendidikan tinggi, pelatihan teknis bagi tenaga kerja muda, serta peningkatan mutu guru dan dosen akan menjadi fondasi bagi pembangunan manusia Aceh. Perlindungan hak-hak pekerja migran Aceh yang tersebar di Malaysia dan Timur Tengah juga harus ditingkatkan. Transfer uang dari TKI Aceh ke kampung halaman bisa menjadi sumber pendapatan keluarga yang signifikan jika dikelola dengan baik.
Partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pengelolaan pembangunan harus diperkuat.
Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) harus pula benar-benar melibatkan aspirasi warga desa dan kota, bukan sekadar formalitas birokrasi. Komunitas lokal harus dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya alam mereka, misalnya melalui model koperasi atau badan usaha milik desa. Ini akan mendorong 'sense of belonging' dan meningkatkan efektivitas program pembangunan.
Aceh memiliki potensi besar dalam energi baru dan terbarukan (EBT), terutama panas bumi (geotermal).
Selain Seulawah Agam di Aceh Besar, wilayah Gayo Lues dan sekitarnya memiliki cadangan geotermal yang sangat besar. Pemanfaatannya tidak hanya akan memberikan energi listrik murah bagi masyarakat, tetapi juga membuka lapangan kerja baru dan menarik investasi. Pemerintah Aceh perlu menjalin kemitraan dengan investor swasta maupun lembaga donor internasional untuk pengembangan sektor EBT yang lebih optimal.
Reformasi birokrasi di Aceh harus menjadi agenda prioritas. ASN harus dipastikan memiliki kompetensi, integritas, dan motivasi untuk melayani publik. Sistem rekrutmen, promosi, dan evaluasi kinerja harus transparan dan meritokratis. Lembaga pengawasan seperti Inspektorat Daerah dan BPK harus diberi kewenangan penuh untuk melakukan audit secara berkala dan menindaklanjuti temuan-temuan penyimpangan
Di tangan kita bersama
Aceh memiliki potensi besar untuk bangkit dan menjadi salah satu provinsi maju di Indonesia. Namun, potensi tersebut tidak akan berarti tanpa pengelolaan yang baik, kepemimpinan yang visioner, dan partisipasi aktif masyarakat.
Paradoks ekonomi Aceh, yaitu dana besar, kemiskinan tinggi adalah cermin dari kompleksitas tantangan yang dihadapi sebuah wilayah pascakonflik. Untuk mengubah situasi ini, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, akademisi, organisasi masyarakat, dan tentunya masyarakat Aceh sendiri.
Dengan 'political will' yang kuat, tata kelola yang transparan, dan fokus pada pembangunan berkelanjutan, Aceh bisa keluar dari lingkaran kemiskinan dan menjadi contoh keberhasilan pembangunan di kawasan Asia Tenggara.
Aceh punya waktu hingga 2027 untuk mempersiapkan diri mandiri tanpa dana otsus. Jika momentum ini tidak dimanfaatkan dengan baik, maka paradoks ekonomi ini akan terus berlangsung.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.