Kupi Beungoh

Perang Global dan Ketahanan Lokal Aceh

Eskalasi perang antara Iran melawan Amerika Serikat dan Israel adalah bara yang bisa menjalar ke mana saja. Ketika satu wilayah dunia bergolak, seluru

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Miswar Ibrahim Njong, Ketua Umum Pengurus Besar Rabithah Thaliban Aceh (PB RTA) 

Oleh: Miswar Ibrahim Njong*)

PERANG antara Iran, Israel, dan Amerika tak sedang terjadi di negeri antah-berantah. Ia bukan sekadar tajuk berita luar negeri. Ia adalah pusaran yang perlahan, tapi pasti, menghisap seluruh dunia ke dalam labirin ketidakpastian. 

Serangan Israel dan AS secara langsung ke wilayah kedaulatan Iran memang dikecam oleh banyak negara karena dianggap melanggar hukum internasional dan pasal 2 dan 51 piagam PBB. Namun seperti biasa kecaman itu tidak bermakna apa-apa dan membuat banyak negara tidak dapat mengambil sikap apa pun, sama seperti saat Gaza diluluhlantakkan tapi para penguasa dunia hanya menatap dengan kalkulasi dingin. Dimana ini memberi kita satu pelajaran penting bahwa dunia ini tidak adil, sebab yang kuat bisa melakukan apa pun, sementara yang lemah hanya bisa menggigil.

Eskalasi perang antara Iran melawan Amerika Serikat dan Israel adalah bara yang bisa menjalar ke mana saja. Ketika satu wilayah dunia bergolak, seluruh sistem global pun terguncang. Dan ketika sistem itu terguncang, maka tempat sekecil kampung pun bisa ikut terhempas.

Aceh mungkin jauh dari medan perang itu, tapi ia tidak berada di luar lingkaran dampaknya. Kita berdiri di bibir Selat Malaka, suatu jalur pelayaran tersibuk kedua di dunia setelah Selat Hormuz. Selat Malaka menjadi jalur perdagangan utama antara Samudera Hindia dan Pasifik, sekaligus menjadi urat nadi bagi jalur energi, pangan, dan barang manufaktur yang menopang peradaban Asia. 

Setiap kapal yang melewati selat ini membawa konsekuensi geopolitik. Dan Aceh, yang menghadap langsung ke selat ini, tidak bisa terus menerus bersikap seperti wilayah pinggiran. Sebab dalam realitas strategis dan geografis, Aceh adalah gerbang: gerbang yang membuka dan menutup, yang menghubungkan dan memutus, yang menentukan siapa yang bisa lewat dan siapa yang perlu diwaspadai.

Namun hari ini, kesadaran geopolitik itu belum sepenuhnya hidup dalam diri manusia Aceh. Aceh masih sering melihat dirinya sebagai provinsi penerima bantuan, bukan sebagai pusat strategis yang memiliki bobot. Kita amat sibuk dengan urusan birokrasi lokal, dengan konflik elite dan  anggaran, namun tanpa sadar bahwa dunia sedang berubah sangat cepat dan posisi Aceh bisa menjadi taruhan: dimana negara-negara adidaya sedang merancang ulang peta pengaruh. Armada laut berpindah. Pangkalan militer diperluas. Teknologi pengawasan maritim diperketat. Perdagangan energi dan makanan terganggu oleh konflik global. Dan jika Aceh tidak bersiap, maka kita hanya akan menjadi wilayah yang terkena dampak tanpa punya daya untuk menolak.

Posisi geografis dan kesadaran akan peuneuduek secara global ini adalah kekuatan Aceh. Kekuatan itulah yang mengalir lewat laut: minyak, gas, gandum, baja, data, ideologi, bahkan konflik.

Di sinilah pentingnya kita kembali memikirkan soal ketahanan lokal. Ini bukan konsep abstrak. Ini juga bukan jargon seminar. Ini adalah pertanyaan paling konkret: apakah masyarakat Aceh bisa hidup mandiri ketika sistem global goyah? Apakah kita bisa menanam dan memakan dari tanah sendiri? Apakah kita punya energi, pangan, dan solidaritas sosial yang cukup untuk bertahan saat pemerintah pusat tak lagi berdaya memberi subsidi?

Bayangkan jika perang di Timur Tengah membuat harga bahan pokok melonjak tajam. Apa yang akan terjadi jika subsidi BBM dipotong karena gejolak global, sementara transportasi, para petani dan nelayan kita tak punya alternatif energi murah. Bayangkan jika pasokan logistik lewat laut terganggu, sementara kita tidak punya cadangan bahan pokok yang cukup. Maka ketahanan bukan lagi pilihan. Ia adalah pertarungan hidup dan mati.

Dan di tengah semua ini, Aceh memiliki modal yang besar. Tanahnya subur, lautnya kaya, dan ingatan kolektif masyarakatnya tentang perjuangan dan kemandirian masih hangat. Tapi semua itu bisa lenyap kalau Aceh terlalu lama terpaku pada janji-janji megaproyek pusat, dan lupa membangun dari pondasi paling dasar: keluarga, komunitas, dan gampong.

Pemerintah Aceh, partai politik, kampus, dayah dan masyarakat sipil harus mulai berpikir ulang: alih-alih bergantung pada program pusat yang kadang lambat dan tidak kontekstual, kenapa tidak memperkuat ekosistem lokal? Dorong pemerintah untuk membangun pabrik kecil yang bisa menyerap hasil petani dan revitalisasi pelabuhan perikanan.

Lebih dari itu, kita harus mulai menanam kembali dengan paradigma penanaman yang lebih kompleks dan berkelanjutan. Kita harus memulihkan relasi antara rakyat dan tanah. Sawah bukan hanya tempat produksi, tapi juga tempat lahirnya kemandirian. Kita harus kembali pada semangat bertani dan beternak bukan karena terpaksa, tapi karena sadar bahwa dari tanah kita hidup, dan dengan tanah kita bisa bertahan. Kita juga harus membangun energi terbarukan skala mikro, dari air sungai di pegunungan, dari limbah pertanian, dari sinar matahari yang tak pernah padam.

Nilai tambah dari produk lokal harus kita kelola sendiri. Jangan semua dikirim mentah ke luar daerah lalu kita beli kembali dengan harga mahal. Kita butuh industri rumah tangga, koperasi gampong, pasar lokal, dan jaringan distribusi yang adil. Kita butuh wirausaha sosial yang tumbuh bukan dari semangat mencari untung semata, tapi dari kesadaran untuk memperkuat masyarakat. Inilah soal utama yang harus segera dilakukan Pemerintah Aceh di tengah situasi global hari ini. 

Namun, dalam rangka memperkuat dari dalam, Aceh juga perlu membangun relasi yang sehat dengan pemerintah pusat. Kita memang bagian dari Indonesia, tapi kita juga punya kekhususan. Aceh tidak boleh ditarik ke dalam arus seragam yang membuat semua wilayah jadi sama. Pemerintah pusat harus melihat Aceh sebagai mitra strategis, sebagai titik simpul penting dalam menjaga stabilitas dan kedaulatan di kawasan barat nusantara.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved