Kupi Beungoh
Prabowo-Mualem: Mengubah “Rahmat” Menjadi “Nikmat” – Bagian I
Kalau kedekatan Mualem dan Presiden Prabowo saat ini bisa disebut sebagai rahmat, maka tugas mereka berdua mengubahnya menjadi nikmat.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
DALAM bahasa agama, kata rahmat dan nikmat memiliki makna yang berdekatan namun berbeda nuansanya.
Rahmat adalah bentuk kasih sayang dan kedekatan--sesuatu yang datang sebagai anugerah dan berkat.
Sementara nikmat adalah keberkahan konkret, hasil nyata yang bisa dirasakan dan dinikmati dalam bentuk kesejahteraan, pembangunan, dan perubahan nyata.
Kalau kedekatan Mualem dan Presiden Prabowo saat ini bisa disebut sebagai rahmat, maka tugas mereka berdua--terutama Mualem sebagai katalisator--adalah mengubahnya menjadi nikmat.
Sebuah rekayasa politik, pemerintahan, dan pembangunan yang akan menghadirkan dampak langsung kesejahteraan untuk rakyat Aceh.
Sejarah Aceh memperlihatkan bahwa hubungan hangat antara pemimpin daerah dan pusat sudah berulang kali melahirkan perubahan berarti.
Ali Hasyimi, misalnya, adalah contoh nyata gubernur Aceh yang berhasil membangun di luar kelaziman.
Kedekatannya dengan Presiden Sukarno bukan hanya soal kepatuhan pemerintahan, politis dan birokratis, tetapi persahabatan personal.
Sukarno senang berdiskusi panjang dengan Hasyimi, terutama soal Islam dan keacehan dalam bingkai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hubungan personal Sukarno dan Hasyimi adalah salah satu faktor yang turut menyumbang berakhirnya konflik DI/TII di Aceh dan terciptanya perdamaian awal Aceh moderen.
Berkat kedekatannya jugalah, Hasymi mampu mengkristalkan nilai-nilai keislaman dań keacehan dalam membangun Aceh, yang membuat pemerintah pusat nyaman tanpa sedikitpun ragu akan kembalinya pemberontakan Aceh.
Lain lagi kisah Muzakkir Walad dan Ibrahim Hasan di masa Presiden Suharto.
Muzakkir dikenal sebagai pembelajar tangguh, sesuatu yang membuat Suharto merasa seperti bercermin.
Kenapa? Karena Suharto adalah satu dari sedikit militer Indonesia yang berwatak “pembelajar tangguh” dalam segala hal -pemerintahan, ekonomi dan pembangunan, bahkan politik luar negeri.
Ada berberapa “catatan emas” tentang Aceh yang tak diketahui publik sampai hari ini tentang keputusan Presiden Suharto yang sangat monumental.
Keputusan-keputusan itu lebih merupakan hasil diskusi mereka berdua, tanpa melibatkan pembantu presiden, yang tidak pernah menjadi narasi publik.
Sementara Ibrahim Hasan disenangi Suharto bukan hanya karena kecerdasannya, tetapi juga kepatuhannya dan kesopanannya dalam menjaga “kepatutan” birokratis maupun pribadi.
Di tangannya, Suharto memberikan anggaran pembangunan “cok u be ek kame” -ambil seberapa kamu mau- kepada gubernur Ibrahim Hasan.
Akibatnya Aceh menjadi provinsi penerima dana pembangunan terbesar di luar Jawa selama hampir lima tahun.
Bahkan, sampai hari inipun, kemanapun kita pergi di Aceh, nyaris tak ada tempat yang tidak tersentuh dengan pembangunan Ibrahim Hasan.
Dalam beberapa hal bahkan dengan dampak bekelanjutan akibat dari gelontoran anggaran pada masa itu.
Hubungan kedua gubernur itu dengan Pak Harto begitu erat dan harmonis, hingga Aceh mampu melaju pesat dalam berbagai proyek pembangunan selama periode tersebut.
BACA JUGA: Napoleon, Kohler, Muzakir Walad, dan Warisan Gampong Pande (II)
Baca juga: Tak Terawat, Begini Kondisi Masjid Peninggalan Eks Gubernur Aceh Prof Ibrahim Hasan, Dibangun 2005
Bukan Hanya Kosmetik
Mungkin perlu serial tersendiri untuk menggali lebih dalam bagaimana kedekatan personal ketiga gubernur tersebut melahirkan perubahan konkret di Aceh.
Tetapi, garis besarnya jelas, kedekatan politik mereka bukan hanya kosmetik.
Ketika hubungan itu dikelola sebagai rahmat, kedekatan itu menjadi instrumen untuk melahirkan nikmat dalam bentuk perubahan nyata untuk rakyat Aceh.
Inilah juga peluang besar yang kini diemban Mualem.
Sebagai mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan tokoh politik berpengaruh, ia tahu bahwa Aceh bukan sekadar angka dan tabel birokrasi di Jakarta.
Ia memahami tanah ini punya sejarah luka dan harapan, dan bahwa politik haruslah bergulir di atas kepekaan budaya dan aspirasi lokal.
Maka wajar bila kedekatannya dengan Prabowo dilihat sebagai aset luar biasa, sejenis “jalan tol politik” untuk membawa aspirasi Aceh langsung ke telinga Presiden.
Kedekatan ini bahkan berkali-kali ditegaskan sendiri oleh Prabowo dalam forum-forum penting.
Dalam pidato-pidatonya baik sebelum maupun sesudah menjabat sebagai Presiden, ia secara terbuka menyebut hubungan istimewanya dengan Mualem dan Aceh.
Dalam salah satu rapat kabinet awal pemerintahannya, di hadapan para menteri dan tokoh-tokoh nasional, Prabowo bercerita hangat dan sungguh-sungguh bahwa ia memiliki sahabat dan mitra strategis di Aceh.
Bagi Prabowo suara-suara dari bumi Serambi Mekkah akan selalu mendapat perhatiannya.
Yang terbaru, hanya beberapa hari lalu, dałam salah satu acara, bersama Presiden Putin di Moskow dan beberapa tokoh global lainnya, Prabowo kembali menyinggung soal kedekatannya dengan Aceh dan Mualem.
Ia bahkan memberi contoh bahwa Aceh adalah prioritas dalam agendanya, bukan semata demi kepentingan politik, melainkan bentuk tanggung jawab sejarah dan moral.
Ia mengatakan di depan Putin dan tokoh-tokoh lain, bahwa Aceh harus menjadi contoh bagaimana kedekatan personal seorang pemimpin pusat dan daerah- walaupun pernah bermusuhan dan bahkan berperang, bisa melahirkan perubahan konkrit dan kesejahteraan untuk rakyatnya.
Pernyataan demi pernyataan semacam itu memperlihatkan bahwa kedekatan Mualem dan Prabowo bukanlah klaim kosong.
Ini adalah modal sosial dan politik yang nyata dan diakui secara publik bahkan di forum-forum internasional.
Modal ini harus segera dikapitalisasi menjadi kebijakan dan program, sebagai nikmat untuk Aceh.
Mualem dalam hal ini harus memposisikan dirinya sebagai konektor, katalisator, dan dinamisator, penghubung aspirasi rakyat dan pintu Presiden, agar setiap kebutuhan Aceh benar-benar diutamakan dan ditunaikan.
Baca juga: Di Forum Dunia, Prabowo Singgung Sosok Mualem Saat Konflik Aceh: Kini Dia Gubernur Saya Presiden
Terlalu Mahal Untuk Dilewatkan
Sekali lagi, momentum ini terlalu mahal untuk dilewatkan.
Di tangan Prabowo, negara tengah membangun ulang arsitektur pembangunan nasional dengan logika percepatan dan ketegasan.
Di tangan Mualem, Aceh memiliki kekuatan moral dan dukungan sosial untuk menyuarakan apa yang selama ini tertinggal di pinggir republik.
Persoalan-persoalan mendesak—dari ketidakpastian dana otonomi khusus hingga minimnya industrialisasi sektor energi dan logistik—harus dijawab dengan kebijakan yang tidak biasa.
Inilah saatnya Mualem meyakinkan Prabowo bahwa Aceh tidak hanya membutuhkan kepastian kelanjutan dana Otonomi khusus pasca-2027, tetapi juga memerlukan afirmasi baru ke dalam revisi UU no 11-2007 terhadap beberapa hal.
Bagi hasil migas off shore antara pemerintah pusat dan Aceh 70 persen -30 %, yang selama ini masih dalam bentuk PP 23-2015, sudah saatnya menjadi bagian dari legislasi Otsus Aceh.
Selanjutnya, juga perlu dipastikan penegasan pengaturan pengelolaan pertambangan nonmigas dalam qanun, berikut dengan penyesuaian beberapa pasal dengan putusan Mahkamah Konstitusi, dan legalisasi praktek yang tidak sesuai dengan UUPA.
Untuk menopang mandat itu, dibutuhkan bukan hanya kelanjutan dana otsus dalam kerangka formal, tetapi juga skema dana percepatan pembangunan yang terpisah dan lebih fleksibel--yang secara fungsional dapat menjadi “otsus plus ” versi baru.
Skema ini harus diarahkan pada pembangunan infrastruktur konektivitas, pelayanan dasar di daerah tertinggal, dan penciptaan lapangan kerja, sehingga Aceh dapat bergerak dari ketergantungan menuju kemandirian, dari narasi penerima menjadi pelaku aktif pembangunan nasional.
Selanjutnya, salah satu peluang strategis yang ada di depan mata adalah akan beroperasinya Mubadala Energy, perusahaan energi milik Uni Emirat Arab, di kawasan Blok Andaman.
Cadangan gas laut dalam di perairan ujung barat utara Aceh ini diperkirakan menjadi salah satu temuan terbesar di Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir.
Produksi dari blok ini tidak hanya menjanjikan penerimaan negara, tetapi juga membuka potensi rantai industri turunan—dari LNG, petrokimia, hingga logistik maritim.
Tapi tanpa kerangka kebijakan industri yang terintegrasi dan wilayah yang siap secara infrastruktur, potensi ini akan kembali menjadi “kutukan sumber daya” seperti yang pernah terjadi pada era Arun.
Inilah yang harus dijembatani oleh Mualem kepada Prabowo.
Investasi besar ini tidak boleh berhenti di sumur gas, tetapi harus bergerak hingga ke hilir.
Kawasan industri Aceh Utara atau kawasan lain di Bireun, Pidie, atau Aceh Besar harus disiapkan dengan kepastian lahan, pelabuhan, dan insentif.
Peluang ini harus dikunci dari sekarang--dengan kepemimpinan yang berpikir jangka panjang dan berani mengambil keputusan besar.
Mualem bisa menjembatani itu semua--tentu saja dengan gaya yang tidak konfrontatif, tapi tegas dan penuh martabat.
Ia tidak datang sebagai peminta, tapi sebagai mitra sejarah.
Dan Prabowo, yang telah menunjukkan sikap hormat kepada sejarah Aceh, memiliki kesempatan besar untuk menulis ulang relasi pusat dan daerah.
Bila semua itu bisa terpenuhi, maka Aceh akan melihat hasilnya bukan dalam bentuk seremonial di layar televisi, melainkan dalam jalan-jalan baru di pedalaman, sekolah-sekolah dengan guru berkualitas, klinik-klinik kesehatan di kampung terpencil, dan anak-anak muda Aceh yang mendapatkan peluang untuk tumbuh dan berkembang.
Dan bila itu terjadi, kita bisa berkata bahwa sejarah politik Aceh sekali lagi ditulis bukan hanya di ruang-ruang pertemuan elite, melainkan di setiap perubahan nyata di seluruh pelosok Aceh.
Pada akhirnya, sejarah dan realitas saat ini memberi peluang emas.
Rahmat kedekatan personal sudah ada di genggaman.
Jika diikuti kepemimpinan arif dan strategi politik yang matang, maka Aceh benar-benar bisa merasakan nikmatnya pembangunan yang berpihak dan berkelanjutan--bukan sekadar mimpi, melainkan kenyataan baru.
Disinilah peran Mualem dan Prabowo diuji.
Apakah Mualem mampu mengubah rahmat menjadi nikmat, mengubah peluang menjadi berkat konkret untuk Aceh dan generasi masa depan. (Bersambung)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel Kupi Beungoh lainnya di SINI
prabowo mualem
hubungan mualem dan prabowo
Prabowo Subianto
Muzakir Manaf
Mualem
kupi beungoh
opini serambi
Humam Hamid
Genosida Gaza dan Dosa Besar Amerika |
![]() |
---|
Menjadikan Baitul Mal Aceh Sebagai Katalisator Kesejahteraan Rakyat |
![]() |
---|
Refleksi 20 Tahun Damai Aceh: Menanti Peran Anak Syuhada Menjaga Damai Aceh Lewat Ketahanan Pangan |
![]() |
---|
Utang: Membangun Negeri atau Menyandera Masa Depan? |
![]() |
---|
Melihat Peluang dan Tantangan Potensi Migas Lepas Pantai Aceh |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.