Kupi Beungoh

Ketika Asap dan Moral Berkelindan

Ironisnya, narasi seperti ini tak hanya berkembang di ruang-ruang publik, tetapi juga menyusup ke lingkungan akademik—termasuk kampus—yang seharusnya

Editor: Ansari Hasyim
IST
Khairil Miswar, Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry, dan penulis buku “Demokrasi Kurang Ajar” 

Oleh: Khairil Miswar*)

WACANA seputar rokok belakangan ini mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan. 

Dari yang semula berakar pada isu kesehatan publik, kini ia merayap masuk ke ruang perdebatan moral dan etika personal. 

Lebih dari sekadar urusan medis, rokok kini dikaitkan dengan nilai-nilai kebajikan atau keburukan, seolah-olah sebatang rokok dapat menjadi indikator kemerosotan akhlak.

Ironisnya, narasi seperti ini tak hanya berkembang di ruang-ruang publik, tetapi juga menyusup ke lingkungan akademik—termasuk kampus—yang seharusnya menjadi tempat bagi nalar kritis, bukan penghakiman moral yang simplistis.

Pandangan semacam ini, menurut saya, tidak hanya keliru tetapi juga berbahaya. 

Ia menciptakan generalisasi bahwa kebiasaan merokok adalah representasi kegagalan etik seseorang. 

Sebuah penyamaan yang gegabah antara pilihan gaya hidup dengan kualitas moral pribadi, yang pada akhirnya mengaburkan batas keduanya.

Tentu saja, tidak ada yang menampik bahwa rokok membawa risiko kesehatan yang serius. 

Fakta medis tentang bahaya konsumsi tembakau telah banyak dikaji dan dipublikasikan. 

Namun menjadi janggal ketika kebiasaan merokok—yang sejatinya merupakan ekspresi preferensi atau kebiasaan hidup individu—ditarik-tarik masuk ke ranah moralitas dan etika sosial. 

Sebab, moral bukanlah perkara apa yang kita isap, makan, atau minum; melainkan bagaimana kita memperlakukan orang lain, berempati, dan mengambil peran dalam kehidupan bersama.

Dalam pengertian yang lebih mendasar, moralitas tumbuh dari nilai-nilai universal: kejujuran, tanggung jawab, solidaritas, dan keberpihakan pada sesama. 

Maka, menilai moral seseorang semata-mata dari kebiasaan merokok—tanpa mempertimbangkan perilaku sosial dan kontribusinya dalam masyarakat—adalah bentuk penyederhanaan yang dapat menjurus pada diskriminasi. 

Kita berisiko menggantikan etika dengan estetika, meminggirkan substansi demi simbol, dan melupakan bahwa kemanusiaan tidak pernah bisa diukur dari sebatang rokok.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved