Kupi Beungoh
Ketika Asap dan Moral Berkelindan
Ironisnya, narasi seperti ini tak hanya berkembang di ruang-ruang publik, tetapi juga menyusup ke lingkungan akademik—termasuk kampus—yang seharusnya
Ancaman Stigma dan Standar Ganda Moralitas
Dalam artikel berjudul _Rokok di Kalangan Kampus: Tantangan Moral dan Etika_ yang dimuat di rubrik Kupi Beungoh, Serambi Indonesia (6 Juli 2025), Ibrahim Laweung dan Prof. Rajuddin menyatakan dengan tegas bahwa rokok telah menjadi tantangan moral di lingkungan kampus.
Sebuah simpulan yang, alih-alih membentangkan ruang dialog, justru cenderung mempersempitnya.
Menggeser rokok dari isu kesehatan publik ke ranah moralitas bukan hanya sebuah lompatan logika yang terburu-buru, tetapi juga mengandung risiko: kampus sebagai ruang nalar bisa terjebak menjadi arena penghakiman, tempat stigma berkembang lebih cepat daripada argumentasi.
Mari kita jujur dalam melihat kenyataan sehari-hari. Mi instan, minuman bersoda, hingga gorengan—semuanya menyimpan risiko kesehatan yang tak kalah serius jika dikonsumsi berlebihan.
Namun sejauh ini, belum pernah ada yang melabeli penyuka mi instan sebagai individu “tidak bermoral”.
Bahkan konsumsi minuman berpemanis yang menggagalkan diet kerap dinikmati dengan senyum lebar, lalu diunggah ke media sosial sebagai bagian dari gaya hidup urban yang sah-sah saja.
Lalu, mengapa hanya perokok yang begitu mudah diseret ke dalam ruang penghakiman moral? Seolah-olah mereka adalah satu-satunya kelompok yang perlu ditakar kadar etikanya hanya karena preferensi gaya hidup.
Bisa jadi, tanpa sadar, kita tengah menikmati posisi sebagai hakim atas pilihan hidup orang lain—menetapkan standar etika berdasarkan kebiasaan konsumsi, dan melupakan bahwa hidup manusia jauh lebih kompleks dari sekadar apa yang masuk ke mulut atau diembuskan ke udara.
Stigma terhadap perokok tak hanya menyingkirkan mereka dari ruang sosial yang adil, tetapi juga membuka tabir tentang cara kita memahami etika dengan cara yang kerap bias.
Pertanyaannya sederhana: apakah seseorang yang rajin makan makanan sehat di rumah, namun membiarkan tetangganya hidup dalam kelaparan, dapat dianggap lebih bermoral ketimbang seorang perokok yang terlibat aktif dalam kegiatan kemanusiaan?
Atau, apakah mereka yang duduk berlama-lama di kafe mewah, mengunggah foto sate kambing dengan caption estetik, secara otomatis lebih mulia daripada buruh terminal yang menyalakan rokok demi meredakan stres setelah bekerja seharian?
Di sinilah letak ironi yang kerap luput dari sorotan: moralitas perlahan direduksi menjadi aksesori gaya hidup. Ia lebih banyak dinilai dari apa yang terlihat—apa yang dikonsumsi, dikenakan, dan dipamerkan—ketimbang dari pilihan-pilihan nyata yang mencerminkan keberpihakan, empati, dan tanggung jawab sosial.
Menariknya, mereka yang hidup dalam segala kenyamanan—berlibur ke luar negeri, menikmati fasilitas kelas menengah atas, dan menjalani hidup “bersih” dari kebiasaan yang dianggap buruk—seringkali luput dari kritik moral. Padahal, jika kita jujur menengok ulang, moralitas sejati tak pernah diukur dari bersihnya paru-paru, tetapi dari sejauh mana seseorang bersedia hadir dan terlibat bagi sesama.
Saya mengenal lebih dari satu perokok berat yang terlibat aktif dalam aksi sosial, rajin menyumbang untuk penggalangan dana kemanusiaan, bahkan tak ragu turun langsung saat bencana melanda.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.