Pojok Humam Hamid
Serial MSAKA21: Membaca Sejarah Aceh dengan Kacamata Abad ke-21 – Bagian 1
Tulisan yang berpenampilan serial ini saya beri judul “Membaca Sejarah Aceh dengan Kacamata Abad ke-21”, selanjutnya disingkat MSAKA21.
Tapi siapa yang berani menulis ulang narasi setelah itu?
Siapa yang berani bertanya mengapa pendidikan tetap mandek, mengapa anak muda pergi ke Malaysia, dan mengapa saudagar kaya sangat sedikit?
Sejarah Aceh bukan berhenti di marwah dan keadilan yang sering disebut, tapi justru baru mulai ketika kita bertanya, marwah dań keadilan untuk siapa?
Membaca sejarah Aceh dengan kacamata abad ke-21 berarti berani mencurigai semuanya.
Siapa yang menulis sejarah Aceh?
Untuk siapa ia ditulis?
Mengapa sebagian nama diabadikan menjadi jalan, dan sebagian lainnya dikubur dalam hikayat yang dilupakan?
Jangan pernah percaya pada buku sejarah yang tak mengajarkan keraguan. Jangan hormati tokoh sejarah yang dijadikan “manusia suci” -tak pernah salah.
Sejarah yang sehat seharusnya adalah sejarah yang membuat para gen Z tak nyaman.
Karena hanya ketidaknyamanan yang melahirkan pikiran baru.
Tak Perlu Dibesarkan dengan Kebohongan
Serial yang akan tampil bukan proyek nostalgia. Saya tidak sedang mencari kejayaan masa lalu untuk dijadikan pelarian.
Aceh tidak perlu dibesarkan dengan kebohongan.
Tapi ia juga tak layak dikecilkan oleh amnesia.
Sejarah Aceh harus ditulis ulang--bukan untuk membalas dendam pada masa lalu, tapi untuk membuka ruang pada masa depan.
Dan menulis ulang bukan berarti menghapus, tapi memilih dengan sadar.
Mana yang layak dikenang, mana yang harus diingat justru agar tak terulang.
Saya percaya masa depan Aceh tak akan ditentukan oleh elite, tetapi oleh mereka yang hari ini duduk di warkop sambil scroll TikTok dan bertanya dalam hati.
“Apa sebenarnya makna tanah ini?”
Jika tulisan ini bisa membuat satu orang muda masing-masing di Sigli, Kutacane dan Meulaboh, bangkit dan berkata, “Saya ingin menulis sejarah versi saya sendiri,” maka serial ini tak sia-sia.
Kita butuh sejarah yang bisa dibaca dengan air mata, tapi juga dengan marah.
Dan itu seringkali harus ditulis ulang.
Kita butuh sejarah yang tidak selesai di ruang seminar, tapi hidup di lagu Rafli Kande, syair Seudati, “dawa lam keude kupi”, ceramah dakwah yang kocak, dan di kampus progresif, tempat ide-ide belum mati.
Sejarah populer bukanlah milik ruang seminar tempat para “manusia langit” berkacamata tebal merumuskan teori sambil menyeruput kopi dingin karena terlupa.
Ia adalah cerita yang akan menyeberang dari kertas ke lidah, dan dari layar ke ladang dan pantai.
Kadang ia berlari cepat, kadang tenggelam sebentar ketika ekonomi gampong mati, lalu muncul kembali ketika panen padi telah selesai
Sejarah populer sejainya akan menjadi percakapan hangat di kedai kopi sore hari di Teupin Raya Pidie, terselip dalam tawa ceria perempuan pembelah pinang di Geuredong Pase Aceh Utara, dalam gumam para penangkap kepiting di Gosong Talaga menunggu pasang surut di hening Singkil.
Dan, ia akan hidup dalam sabetan parang dan nyanyian burung di kebun tebu Silih Nara, Gayo.
Saya tidak menulis karena saya tahu segalanya.
Saya menulis karena saya mulai bosan dengan kebisuan.
Karena sejarah yang dibiarkan diam terlalu lama akan jadi senjata bagi mereka yang ingin menghapus kita dari peta.
Maka, mari mulai.
Bukan dari awal.
Tapi dari titik di mana kita berhenti percaya bahwa masa lalu sudah selesai.
Sejarah Aceh, dalam serial ini, akan dituturkan bukan hanya dengan tinta yang tidak sangat ilmiah, tapi juga dengan gaya para pendongeng di meunasah, suara para perantau Pidie dulu yang mengarang hikayat dalam kerinduan, dan dramatisme yang kadang lebih dekat ke Bollywood daripada bibliografi.
Kita akan melompat dari hikayat klasik yang bisa ditulis ulang oleh Pramoedya, ke alur silat epik yang terasa seperti lempengan Kho Ping Hoo yang diterjemahkan ke dalam rencong dan rempah.
Karena sejarah, bila terlalu serius, akan kehilangan jiwanya.
Tulisan ini bukan akhir.
Ia adalah pintu.
Setiap pekan, kita buka satu jendela kecil ke rumah besar yang kita sebut sejarah Aceh--dan semoga dari sana, kita bisa melihat dunia, dan diri kita sendiri, dengan cara yang lebih jernih dan berani.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
Bagaimana Sejarah Akan Menulis 18 Tahun Otsus Aceh |
![]() |
---|
Palestina: Flagelasi Barat dan Narasi Yang” Dipaksa” Berobah |
![]() |
---|
MSAKA21: Loyang Mandale dan Manusia Pertama Aceh – Bagian III |
![]() |
---|
Mampukah Mualem Melanjutkan Momentum Penurunan Kemiskinan Aceh? |
![]() |
---|
Zohran Mamdani dan Anies Baswedan: Apa Beda Queens dan Kampung Bayam? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.