KUPI BEUNGOH
Teumeunak, Media Sosial, dan Tong Sampah Kebencian
Mengapa ruang digital kita begitu toksik? Jawabannya tidak sesederhana “kurang sopan santun” atau “efek anonim” di sosial media.
Jeong menulis, “Internet is broken because people are broken.” Kalimat ini sangat relevan untuk Aceh.
Ketika pendidikan gagal membentuk karakter dan pengangguran menciptakan generasi tanpa masa depan, media sosial hanya mempercepat proses pembusukan sosial itu sendiri—dan ini bukan hanya soal anak muda, tapi seluruh lapisan masyarakat.
Kedua buku ini, jika dibaca bersamaan, memberi peringatan keras, membiarkan media sosial menjadi tong sampah digital sama saja dengan membiarkan masyarakat Aceh tumbuh dalam budaya kebencian.
Ini bukan sekadar soal reputasi individu yang hancur karena fitnah, tapi soal masa depan Aceh yang dipertaruhkan.
Generasi yang terbiasa dengan ujaran kebencian akan kehilangan empati, kehilangan kemampuan berdialog, dan akhirnya kehilangan kepercayaan pada sesama.
Lebih parah lagi, kondisi ini menciptakan lingkaran setan.
Ujaran kebencian yang dibiarkan akan memperkuat polarisasi, memperdalam jurang sosial, dan pada akhirnya memicu konflik nyata.
Aceh, yang pernah berdarah-darah karena konflik, kini dihadapkan pada ancaman baru, konflik digital yang tak kalah merusak.
Solusinya? Tidak cukup hanya dengan imbauan moral. Kita butuh revolusi pendidikan yang menanamkan pentingnya literasi digital dan nalar kritis sejak dini, untuk semua usia.
Pemerintah harus serius menciptakan lapangan kerja, agar masyarakat punya harapan dan tidak menjadikan media sosial sebagai pelampiasan frustrasi.
Dan yang paling penting, kita semua—pengguna, pendidik, tokoh agama, hingga pembuat kebijakan—harus berani mengakui bahwa media sosial Aceh sedang sakit parah.
Jika tidak ada perubahan, Aceh akan terus terjebak dalam “internet of garbage”, di mana masyarakat tumbuh dalam kubangan kebencian dan pesimisme.
Ini ancaman nyata bagi masa depan Aceh. Saatnya kita bertanya: mau sampai kapan ruang digital kita jadi tong sampah, sementara masyarakat kita perlahan membusuk di dalamnya? (*)
*) PENULIS adalah Guru Besar Teknologi Pembelajaran Matematika, Universitas Syiah Kuala dan Alumni University of Southampton.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.