Arti Abolisi yang diberikan Prabowo Kepada Tom Lembong, Ini Bedanya dengan Amnesti Untuk Hasto

Dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, presiden berhak memberikan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).  

Penulis: Yeni Hardika | Editor: Nur Nihayati
KOLASE SERAMBINEWS.COM/Kompas.com
KASUS KORUPSI - Presiden Prabowo Subianto menggunakan hak prerogatifnya untuk memberikan ‘ampunan’ berupa abolisi untuk Thomas Lembong atau Tom Lembong dan amnesti terhadap Hasto Kristiyanto. Ini arti abolisi dan perbedaannya dengan amnesti. 

Hal senada disampaikan pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.

Dia menyebutkan, Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto harus dibebaskan usai mendapat abolisi dan amnesti. “Harus dibebaskan,” kata Abdul Fickar secara terpisah, Kamis (31/7/2025).

Menurut Fickar, Tom Lembong harus dibebaskan karena abolisi berarti menghentikan proses hukum yang sedang berjalan.

Kemudian, Fickar menyebutkan, abolisi boleh diberikan meski status hukumnya belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap.

“Boleh (diberikan sebelum inkracht), itu kewenangan kepala negara, mutlak dan konstitusional. Artinya, Presiden melihat kasusnya berlatar belakang politis,” ujarnya.

Namun, Fickar mengatakan bahwa pemberian abolisi itu juga memiliki dampak kepada aparat penegak hukum.

Dalam kasus Tom Lembong adalah Kejaksaan Agung (Kejagung). 

“Konsekuensinya, Presiden juga harus mengevaluasi kerja pimpinan Kejaksaan Agung,” kata Abdul Fickar.

Baca juga: Divonis 4,5 Tahun Penjara, Ini 4 Pertimbangan Hakim yang Memberatkan Tom Lembong

Kilas balik kasus Tom Lembong

Kasus yang menjerat Tom Lembong berawal dari penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung pada 29 Oktober 2024.

Ia dituduh memberikan izin impor 105.000 ton gula kristal mentah meskipun Indonesia sudah mengalami surplus gula.

Kebijakan ini dinilai menyebabkan kerugian negara sebesar Rp194,7 miliar.

Pada 18 Juli 2025, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Namun, vonis ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Guru Besar Hukum Tata Negara Mahfud MD.

Mahfud menilai vonis tersebut lemah karena tidak didukung bukti adanya niat jahat (mens rea) dan perhitungan kerugian negara yang dibuat oleh hakim tidak merujuk pada hasil audit resmi BPKP.

(Serambinews.com/Yeni Hardika)

BACA BERITA LAINNYA DI SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved