KUPI BEUNGOH

Utang: Membangun Negeri atau Menyandera Masa Depan?

Ekonom senior Kwik Kian Gie pernah mengingatkan, “Kita tidak sedang membangun. Kita sedang menumpuk risiko bagi generasi mendatang

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Dr. Muhammad Nasir, Dosen Magister Keuangan Islam Terapan Politeknik Negeri Lhokseumawe, Pembina Yayasan Generasi Cahaya Peradaban, dan Penulis Buku Manajemen ZISWAF 

Ini bukan semata kritik terhadap kebijakan, melainkan ajakan untuk menimbang ulang arah pembangunan: apakah kita sedang membangun dengan kaki sendiri, atau terus mengandalkan tongkat utang yang rapuh?

Perspektif Syariah: Utang Bukan Solusi Permanen

Dalam Islam, utang (dayn) adalah solusi darurat, bukan strategi permanen. Ulama kontemporer seperti Dr. Erwandi Tarmizi menegaskan bahwa:

“Utang tidak boleh mendatangkan manfaat bagi pemberi utang, karena jika demikian maka jatuh dalam riba. Sebab utang bukan akad bisnis, melainkan akad tolong-menolong.”
(Harta Haram Muamalat Kontemporer, 2020, hlm. 94).

Baca juga: Viral Hitung-hitungan 1 Penduduk RI Tanggung Rp 28 Juta Agar Utang Negara Lunas, ini Kata Kemenkeu

Al-Qur’an secara eksplisit melarang praktik riba (QS. Al-Baqarah: 275–279) karena bukan hanya merusak ekonomi, tetapi juga menghancurkan etika sosial. Rasulullah SAW bahkan pernah menolak menyalatkan jenazah orang yang wafat dalam kondisi memiliki utang yang belum dilunasi (HR. Muslim).

Lebih lanjut, Syaikh Yusuf al-Qaradawi dalam magnum opus-nya Fiqh al-Zakah menulis:

“Kebiasaan berutang adalah tanda lemahnya manajemen dan rendahnya tanggung jawab. Negara yang hidup dalam bayang-bayang utang berarti telah menjual masa depannya demi kepentingan sesaat.”  (Jilid 2, hlm. 105).

Dari Angka Menuju Arah

Utang seharusnya dialokasikan untuk belanja produktif yang dapat meningkatkan kapasitas fiskal jangka panjang bukan untuk subsidi konsumtif atau pembiayaan proyek mercusuar yang penuh kepentingan politik jangka pendek. 

Sebab jika tidak, utang hanya menjadi topeng yang menutupi kegagalan struktural.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah memperingatkan:

“Ketika pajak menjadi alat penindasan dan utang dijadikan fondasi kekuasaan, maka kehancuran negara hanya tinggal menunggu waktu.”

Krisis fiskal yang didiamkan tanpa reformasi adalah kemunduran yang disamarkan dengan pembangunan semu.

Menuju Etika Fiskal Baru

Sudah saatnya Indonesia bergerak dari paradigma teknokratis menuju etika fiskal berbasis keberkahan, kemandirian, dan keadilan antargenerasi. 

Sejumlah instrumen dan pendekatan alternatif telah tersedia, tinggal menanti keberanian politik dan kejujuran moral untuk menggunakannya.

1. Optimalisasi Sukuk Negara (SBSN)

Sejak 2013, lebih dari 4.000 proyek strategis telah dibiayai melalui Sukuk Berbasis Aset: dari pembangunan madrasah, jembatan, hingga rumah sakit (DJPPR, 2024). 

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved