KUPI BEUNGOH
Dua Dekade MoU Helsinki: Refleksi Seorang Putra Aceh
MoU Helsinki bukan hanya gencatan senjata. Ia adalah komitmen bersama membangun Aceh yang damai, adil, dan bermartabat
Oleh: Mayjen TNI (Purn.) Teuku Hafil Fuddin*)
Lima belas Agustus 2005 adalah hari yang tidak bisa kita lupakan sebagai bangsa, terlebih bagi rakyat Aceh.
Di Helsinki, sebuah dokumen penting ditandatangani oleh perwakilan Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung puluhan tahun dan membuka lembaran baru perdamaian.
MoU Helsinki bukan hanya gencatan senjata. Ia adalah komitmen bersama membangun Aceh yang damai, adil, dan bermartabat.
Hari ini, dua dekade telah berlalu. Banyak capaian yang patut disyukuri, tetapi kita juga tidak bisa menutup mata terhadap berbagai tantangan yang masih tersisa.
Sebagai putra Aceh, sebagai purnawirawan TNI yang pernah bertugas di daerah ini, dan sebagai bagian dari masyarakat yang mencintai Aceh sepenuh hati, saya merasa perlu mengajak kita semua melakukan evaluasi yang jujur dan bertanggung jawab.
Perdamaian Telah Dirasakan, Tapi Reintegrasi Masih Perlu Disempurnakan
Tidak dapat dipungkiri, Aceh kini jauh lebih stabil dan aman dibanding masa lalu. Suara senjata telah digantikan oleh suara demokrasi.
Rakyat Aceh kini bisa menikmati ruang hidup yang lebih bebas, dan partai-partai lokal menjadi bagian dari dinamika politik yang sehat.
Namun, pembangunan perdamaian bukan hanya soal senjata yang diam, tetapi juga menyangkut proses reintegrasi sosial dan ekonomi eks kombatan serta masyarakat terdampak konflik.
Di sinilah peran Badan Reintegrasi Aceh (BRA) menjadi sangat penting.
Selama dua dekade terakhir, BRA telah menjalankan tugas berat—memastikan eks kombatan, tahanan politik, dan masyarakat sipil yang terdampak konflik bisa kembali ke kehidupan sosial secara layak.
Baca juga: Bedah Buku “Jalan Reintegrasi Gerilyawan GAM”, Ketua BRA Tekankan Pentingnya Pendidikan
Mulai dari bantuan ekonomi produktif, rumah bantuan, hingga program pelatihan, semuanya adalah bagian dari upaya reintegrasi yang patut diapresiasi.
Namun tentu kita harus akui bahwa belum semua program berjalan sempurna.
Ada banyak eks kombatan dan korban konflik yang merasa belum mendapatkan haknya secara adil.
Ada pula persoalan transparansi dan efektivitas program yang menjadi catatan masyarakat.
Maka, yang kita butuhkan hari ini bukanlah pembubaran BRA, tapi penguatan kelembagaannya, dari sisi regulasi, anggaran, hingga akuntabilitas publiknya.
Otonomi Khusus: Antara Harapan dan Kenyataan
Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki partai lokal, qanun syariat Islam, serta struktur pemerintahan yang khas, berkat MoU dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Ini adalah bentuk kepercayaan negara kepada Aceh, sekaligus peluang untuk membuktikan bahwa kita mampu membangun diri sendiri.
Sayangnya, berbagai potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Dana otsus yang begitu besar belum sepenuhnya mengubah wajah desa-desa di pedalaman.
Beberapa ketentuan penting seperti pengelolaan migas dan simbol daerah masih menjadi polemik tanpa penyelesaian.
Sementara itu, sebagian dari kita terlalu sibuk memperjuangkan simbol, tapi lupa memperjuangkan substansi.
Rakyat butuh listrik, lapangan kerja, dan pendidikan yang bermutu, bukan sekadar bendera.
Bangun Generasi Damai dan Produktif
Dua dekade MoU berarti sudah lahir generasi baru yang tidak mengalami konflik langsung. Ini adalah anugerah.
Tetapi jika tidak dibarengi dengan pendidikan karakter dan pemahaman sejarah, generasi ini bisa kehilangan arah dan identitas.
Pemerintah Aceh dan para tokoh masyarakat perlu mendorong kurikulum pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai damai, toleransi, dan budaya Aceh.
Para eks kombatan dan tokoh gerakan pun perlu menjadi mentor rekonsiliasi, bukan hanya tokoh simbolik.
Solusi: Perkuat Kolaborasi, Bukan Ego
Sudah saatnya Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat duduk bersama dengan kepala dingin, mengevaluasi implementasi MoU dan UUPA secara menyeluruh.
Jangan saling menyalahkan. Jangan mempolitisasi perdamaian.
BRA harus diperkuat sebagai instrumen reintegrasi yang kredibel dan berkelanjutan. Anggarannya perlu dialokasikan secara tepat sasaran.
Baca juga: Berharap Pusat Realisasikan Seluruh Butir MoU Helsinki
Kelembagaannya harus transparan dan profesional. Aceh tidak membutuhkan lembaga simbolik, Aceh butuh lembaga yang bekerja nyata di tengah rakyat.
Selain itu, kita perlu menghidupkan kembali semangat gotong royong antara tokoh adat, tokoh agama, mantan pejuang, TNI/Polri, dan masyarakat sipil.
Perdamaian adalah warisan bersama. Dan menjaga warisan itu bukan hanya tugas pemerintah, tapi tugas kita semua.
Penutup
Dua puluh tahun lalu, kita memilih perdamaian. Hari ini, kita harus memilih untuk menyempurnakan hasil perdamaian itu.
Bukan dengan saling menyalahkan, tapi dengan saling menguatkan.
Sebagai putra Aceh dan purnawirawan TNI, saya percaya: jika kita jujur, ikhlas, dan bersatu, Aceh akan mampu menjadi teladan nasional, bukan hanya sebagai daerah bekas konflik, tapi sebagai provinsi yang tumbuh karena mampu berdamai dan berbenah.
*) PENULIS Putra Aceh, Tokoh Masyarakat dan Purnawirawan TNI
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.