Pojok Humam Hamid

Indonesia dan BRICS: Posisi Bebas Aktif dan Ketidaksenangan AS

Di tengah semua itu, bendera Merah Putih Indonesia berkibar. Bukan di pinggir lapangan, tapi di tengah gelanggang BRICS.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Prabowo bisa saja diam, tapi diam di dunia sekarang dibaca sebagai tanda takut.

Indonesia memilih jalan yang, bagi diplomat kawakan, terdengar seperti musik klasik Mozart.

Indonesia menegaskan bahwa BRICS bukan blok anti-AS, melainkan forum kerja sama yang terbuka. 

Retorik, aman, tapi penuh kalkulasi.

Bebas aktif versi abad ke-21.

Di balik kalimat itu ada realitas keras yang tak terbantahkan. 

AS adalah pasar ekspor utama Indonesia, USD 25 miliar pada 2024, dengan surplus di pihak kita. 

Tarif 10 % akan memukul tekstil, alas kaki, furnitur--sektor yang memberi makan jutaan keluarga Indonesia. 

Tapi Prabowo juga tahu, BRICS adalah pasar yang sama potensialnya, bahkan dalam jangka panjang bisa menjadi lebih besar. 

Nikel ke Cina, batu bara ke India, kopi ke Rusia, karet ke Brasil.

Dan ada kartu lain yakni yang amat sangat penting dan strategis, pangan. 

BRICS adalah lumbung pangan dunia--Brasil dengan kedelai dan gula, Rusia dengan gandum, India dengan beras, Cina dengan jagung, Afrika Selatan dengan buah. 

Dalam krisis pangan global, Indonesia akan memiliki akses prioritas ke pasokan, dan ini adalah senjata strategis. 

Indonesia, yang masih bergantung pada impor gandum, gula, kedelai, tak boleh lalai, apalagi mengabaikan manfaat ini.

Jaringan perdagangan adalah benteng menghadapi badai. 

Gelanggang Penuh Persaingan

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved