Kupi Beungoh
Renungan Buya Hamka untuk Dunia Kedokteran
Kalimat bijak Buya Hamka ini bukan sekadar kata-kata, melainkan cermin yang menggambarkan sebuah realitas yang kerap tersembunyi ...
Oleh: Prof.Dr.dr. Rajuddin, SpOG(K).,Subsp.FER
Guru Besar Universitas Syiah Kuala; Ketua IKA UNDIP Aceh dan Sekretaris ICMI Orwil Aceh
--Buya Hamka-- “Orang yang selalu berbohong, lama kelamaan dirinya sendiri tak dapat lagi membedakan antara kebohongan dan kebenaran yang diucapkannya.”
Kalimat bijak Buya Hamka ini bukan sekadar kata-kata, melainkan cermin yang menggambarkan sebuah realitas yang kerap tersembunyi di balik kesunyian ruang operasi.
Di dunia kedokteran, kebohongan bukan hanya soal kata-kata, tapi juga bisa muncul dalam bentuk tindakan medis yang menyimpang dari indikasi sebenarnya.
Tindakan yang dilakukan tanpa penjelasan jujur kepada pasien, terkadang disamarkan dengan alasan profesionalisme semu.
Bayangkan bila sebuah kasus medis yang terjadi di ruang operasi, seorang pasien didiagnosis misalnya penyakit A yang membutuhkan penanganan tepat dan cepat, sebenarnya terapi sudah cukup dengan prosedur standar yang efektif dan minim risiko.
Namun sayangnya, jika di ruang operasi tindakan dilakukan melebihi prosedur standar dan jauh lebih invasif.
Tindakan yang menyimpang dapat menimbulkan komplikasi serius seperti perdarahan dan kerusakan jaringan, dan melanggar protokol medis berbasis bukti (evidence-based medicine).
Apabila tindakan tersebut dilakukan tanpa penjelasan yang jujur dan transparan kepada pasien dan keluarganya, berarti hak pasien untuk menentukan sendiri pengobatan (informed consent) telah dilanggar.
Baca juga: Rekomendasi Drama Korea Tentang Dunia Kedokteran: Yoo Yeon-seok, Dr. Romantic dan Lainnya
Etika dalam Tindakan Medis Menyimpang
Dalam ranah bioetika, setiap tindakan medis harus berpegang pada empat prinsip utama yang menjadi pijakan etika profesi kedokteran.
Ketika tindakan medis menyimpang dari indikasi yang benar, maka sekaligus mengabaikan prinsip-prinsip ini, yang berdampak serius baik pada pasien maupun integritas profesi.
1. Non-Maleficence (Tidak Membahayakan).
Prinsip moral ini mengharuskan tenaga medis untuk menghindari tindakan yang dapat menimbulkan bahaya yang tidak perlu bagi pasien.
Dalam konteks kasus biasa tetapi dikerjakan tindakan besar yang lebih invasif dan agresif dari yang diperlukan, justru meningkatkan risiko komplikasi serius seperti perdarahan hebat dan kerusakan organ.
Tindakan semacam ini bukan hanya menimbulkan bahaya fisik, tetapi juga memperbesar kemungkinan kebutuhan perawatan lanjutan dan komplikasi jangka panjang, yang sebenarnya bisa dihindari dengan prosedur standar.
Oleh karena itu, tindakan berlebihan ini melanggar prinsip non-maleficence karena tidak menjaga keselamatan pasien dan malah menimbulkan risiko yang tidak proporsional.
2. Beneficence (Mengutamakan Manfaat)
Prinsip beneficence mengharuskan dokter untuk selalu mengutamakan manfaat terbesar bagi pasien dan memastikan bahwa tindakan yang diambil memberikan hasil yang positif lebih besar dibandingkan risikonya.
Dalam contoh tindakan kasus penyakit A, manfaat yang diharapkan tidak seimbang dengan risiko yang ditimbulkan.
Tindakan berlebihan yang tidak sesuai indikasi bukanlah tindakan yang menguntungkan pasien, melainkan bisa menyebabkan penderitaan dan kerugian tambahan.
Hal ini menunjukkan kegagalan dalam mengutamakan beneficence, karena keputusan medis tersebut tidak berdasar pada keseimbangan manfaat dan risiko yang seharusnya menjadi landasan utama.
3. Autonomy (Hak Pasien untuk Memutuskan)
Prinsip autonomia menjunjung tinggi hak pasien untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang lengkap, akurat, dan jujur mengenai kondisi dan pilihan tindakan medisnya.
Dalam kasus yang disorot, pasien dan keluarganya tidak diberikan penjelasan yang memadai atau jujur tentang prosedur yang akan dijalani.
Tanpa adanya informed consent yang benar-benar berdasarkan pemahaman, hak pasien untuk memilih secara bebas dan bertanggung jawab atas kesehatannya direnggut.
Tindakan yang menyembunyikan informasi atau menyesatkan pasien bertentangan langsung dengan prinsip autonomy, karena menghilangkan kewenangan pasien dalam pengambilan keputusan yang paling penting bagi dirinya.
4. Justice (Keadilan dan Integritas Profesi)
Prinsip keadilan menuntut agar pasien diperlakukan secara adil dan tidak menjadi korban eksploitasi dalam bentuk apa pun, termasuk tidak dijadikan objek eksperimen atau ajang pembuktian keterampilan dokter tanpa persetujuan.
Melakukan tindakan yang melampaui indikasi medis dengan alasan pelatihan atau pembuktian teknik kedokteran tanpa persetujuan yang sah merupakan pelanggaran keadilan.
Lebih jauh lagi, tindakan seperti itu merusak integritas profesi kedokteran dan kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis.
Oleh karena itu, praktik yang bertentangan dengan prinsip justice, karena mempermainkan hak dan martabat pasien demi kepentingan lain menandakan integritas profesi runtuh.
Dengan demikian, tindakan medis menyimpang yang tidak berlandaskan prinsip-prinsip bioetika tidak hanya membahayakan pasien secara fisik, tetapi juga merusak hak-hak fundamental pasien dan mencoreng martabat profesi kedokteran.
Penguatan pemahaman dan pengamalan prinsip-prinsip ini wajib menjadi landasan dalam setiap pengambilan keputusan klinis untuk memastikan praktik kedokteran yang bermartabat dan beretika.
Prinsip-prinsip ini tidak hanya tertulis dalam etika kedokteran, tapi juga diatur dalam berbagai regulasi seperti Undang-Undang Praktik Kedokteran dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
Keselamatan pasien dan kejujuran profesional adalah kewajiban utama setiap tenaga medis.
Baca juga: Cerita Buya Hamka Saat di Penjara, Rampungkan Tafsir Al Azhar di Film Hamka dan Siti Raham
Pesan Buya Hamka dalam Dunia Medis
Mengenang pesan Buya Hamka menjadi sangat relevan, karena ketidakjujuran dalam tindakan medis sering terjadi secara diam-diam.
Awalnya mungkin ada pembenaran terhadap tindakan yang menyimpang dengan alasan untuk prestise, ekonomi, atau kebiasaan lama hingga akhirnya nurani menjadi tumpul dan sulit membedakan mana kebenaran dan kebohongan dalam praktik sehari-hari.
Ketika “kompas moral” itu hilang, profesionalisme dan kepercayaan publik menjadi taruhannya.
Medical error dan ketidakjujuran bukan hanya merugikan pasien secara fisik, tapi juga merusak martabat profesi kedokteran.
Untuk mencegah budaya penyimpangan tersebut, perlu mengembalikan kejujuran sebagai ruh profesi.
Dokter harus jujur dalam diagnosis, rencana tindakan, dan saat menghadapi komplikasi.
Lebih dari itu, tindakan medis harus selalu berlandaskan protokol yang sudah terbukti efektif dan aman.
Setiap langkah yang keluar dari standar harus dicatat dan dapat dipertanggungjawabkan jelas.
Audit etik dan disiplin klinis di Rumah Sakit harus diperkuat, baik melalui Komite Medik, Unit Audit Etik, maupun sistem pelaporan insiden yang transparan dan ramah pelapor.
Peran regulator dan BPJS sangat penting untuk mengawasi dan memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran.
Selain risiko kesehatan dan hukum, tindakan yang tidak sesuai indikasi penyakit berimbas pada keuangan negara dan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Misalnya, klaim BPJS untuk prosedur operasi yang complicated bisa dua hingga tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan tindakan operasi standar.
Praktik ini bukan hanya membebani anggaran negara, tetapi jika dilakukan tanpa indikasi yang tepat, juga termasuk fraud yang bisa berujung pada sanksi hukum serius.
Penutup
Betapa pentingnya menjaga integritas dan nurani dalam menjalankan profesi.
Integritas adalah cahaya yang menuntun langkah setiap insan profesi, dan nurani adalah kompas yang memastikan arah itu tetap benar.
Tanpa keduanya, akan mudah tersesat dalam kabut kepentingan dan godaan duniawi.
Seperti pesan bijak Buya Hamka, kebohongan yang terus diulang lambat laun akan kita anggap sebagai kebenaran.
Dan ketika itu terjadi, kita kehilangan arah, kehilangan kompas moral yang menjadi penuntun hidup.
Dalam dunia kedokteran, kehilangan kompas moral berarti mengkhianati amanah yang paling suci, amanah untuk menjaga, merawat, dan menyelamatkan nyawa.
Ilmu pengetahuan yang tinggi tidak akan berarti tanpa etika yang kokoh, dan etika yang kuat akan lumpuh tanpa nurani yang baik.
Keputusan medis berangkat dari niat tulus untuk menyembuhkan, menguatkan, dan menyelamatkan.
Sebab di balik setiap tindakan medis, ada harapan yang bertumpu, ada doa yang dipanjatkan dan ada kehidupan yang menunggu untuk diselamatkan. (email: rajuddin@usk.ac.id)
Urgensi Pendidikan Politik untuk Merawat Perdamaian Aceh Pasca Dua Puluh Tahun |
![]() |
---|
Aceh Damai, Perspektif Jurnalistik |
![]() |
---|
Kurikulum Pendidikan Islam Itu "Berbasis Cinta", Solusi Masalah Lokal & Jawaban Tantangan Global |
![]() |
---|
20 Tahun Damai Aceh, Mengenang Dokter Muhammad Jailani, Penebar Senyum Menyembuhkan |
![]() |
---|
Aceh, Mesin Tanpa Bensin |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.