Liputan Eksklusif Aceh

Sudah 2 Dekade, Penyebab Konflik Manusia dengan Buaya di Aceh Singkil

"Kondisi itu menyebabkan tumpang tindih dengan habitat buaya, sehingga menumbuhkan potensi konflik," kata Kepala Dinas Perikanan Aceh Singkil,

Penulis: Dede Rosadi | Editor: Nurul Hayati
SERAMBINEWS.COM/ DEDE ROSADI
CARI LOKAN: Warga cari lokan di sungai Singkil, Aceh Singkil, yang terapat banyak buaya. 

"Kondisi itu menyebabkan tumpang tindih dengan habitat buaya, sehingga menumbuhkan potensi konflik," kata Kepala Dinas Perikanan Aceh Singkil, Saiful Umar. 

Laporan Dede Rosadi I Aceh Singkil 

SERAMBINEWS.COM, SINGKIL - Banyak faktor jadi penyebab konflik manusia dengan buaya di Kabupaten Aceh Singkil, hampir dua dekade belum berakhir. 

Salah satunya akibat tumpang tindih ruang hidup atau habitat buaya dengan aktivasi manusia. 

Satu sisi manusia butuh makan, sehingga nekat menerobos kandang buaya. 

Beberapa sungai di Kabupaten Aceh Singkil, sejak lama di kenal merupakan habitat alami buaya muara atau crocodylus porosus.

Akan tetapi, belakangan terjadi perluasan wilayah aktivitas nelayan.

"Kondisi itu menyebabkan tumpang tindih dengan habitat buaya, sehingga menumbuhkan potensi konflik," kata Kepala Dinas Perikanan Aceh Singkil, Saiful Umar. 

Penyebab berikutnya aktivitas manusia yang berisiko.

Seperti interaksi manusia dengan buaya meningkat pada malam hari atau senja saat periode aktif buaya. 

Mulai dari mencari ikan, pasang bubu, mencari teripang, atau mencari pakan ternak, banyak dilakukan nelayan dan warga pinggir sungai. 

Hal itu berkaca dari beberapa korban tewas di lokasi rawan buaya. 

Umpamanya di perairan Kepulauan Banyak, Teluk Rumbia, dan Singkil karena aktivitas tradisional di perairan dekat habitat buaya.

TERLILIT JARING: Mulut buaya terlilit jaring nelayan di sungai Lae Cinendang Desa Tanah Bara, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, 9 Agustus 2025.
TERLILIT JARING: Mulut buaya terlilit jaring nelayan di sungai Lae Cinendang Desa Tanah Bara, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, 9 Agustus 2025. (SERAMBINEWS.COM/DEDE ROSADI)

Baca juga: Liputan Eksklusif Aceh : Menguji Nyali di Sarang Buaya Aceh Singkil 

Konflik buaya dengan manusia juga terjadi akibat populasi buaya meningkat tanpa pengendalian. 

Hal itu sebut Saiful Umar, akibat ketersediaan predator alami seperti biawak berkurang.

Sehingga populasi buaya tidak terkendali. 

"Faktor ini disebabkan perburuan biawak sebagai pemangsa telur dan anak buaya," ungkapnya.

Lalu kebiasaan buang bangkai ke sungai.

Kebiasaan tersebut jamak dilakukan warga yang tinggal di daerah aliran sungai serta lau. 

Padahal dapat menarik perhatiaan buaya ke area pemukiman atau lokasi aktivitas manusia.

Sementara itu berdasarkan catatan Serambinews.com, warga daerah aliran sungai biasa mandi, mencuci dan buang hajat di sungai. 

Ketika kebiasaan warga belum berubah, sebaran buaya terus meluas, sehingga bisa mengancam siapa saja yang beraktivitas di sungai. 

Peristiwa serangan buaya ketika warga buang hajat di sungai pernah terjadi di Kecamatan Kuala Baru.(*)

Baca juga: Kisah Korban Selamat dari Terkaman Buaya di Aceh Singkil, Mengais Nafkah dengan Tangan tak Sempurna 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved