Kupi Beungoh

Muhammad, Nabi Ramah Anak dan Perempuan

Beliau berasal dari garis keturunan bangsawan Arab, sosok yang paling dipercaya dan memimpin yang mampu menyatukan kabilah Arab

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Muhibuddin Hanafiah 

Oleh: Muhibuddin Hanafiah

Nabi Muhammad SAW dilahirkan dari kalangan bangsawan Arab.

Beliau tumbuh dan dewasa di tengah-tengah bangsawan Arab. Sebenarnya Nabi telah berada pada strata sosial tertinggi dalam masyarakat Arab semenjak usia beliau masih remaja.

Beliau berasal dari garis keturunan bangsawan Arab, sosok yang paling dipercaya dan memimpin yang mampu menyatukan kabilah Arab yang terbiasa berseteru. 

Nabi juga seorang pengusaha sukses, penglima perang yang dikagumi musuh, serat kepala negara Madinah. Namun uniknya, kepribadian beliau tidak sedikitpun dipengaruhi oleh tradisi dan kebiasaan mereka yang cenderung jahiliyah.

Bahkan Nabi kemudian mengubah sikap kejahiliyahan mereka melalui dakwah dan sikap hidup beliau sendiri.

Diantara yang Nabi lakukan untuk mendobrak perilaku bangsa Arab kala itu adalah menyayangi anak-anak dan perempuan. Dimana dalam budaya bangsa Arab era jahiliyah, anak-anak dan perempuan tidak memiliki keistimewaan sama sekali. 

Sementara itu, Nabi Muhammad SAW justru merupakan sosok pribadi yang selalu dekat dan memihak kepada orang-orang yang lemah powernya dalam strata sosial kemasyarakatan seperti anak-anak, anak yatim, kaum perempuan dan fakir-miskin (mustadh’afin).

Oleh karena itu dalam kesehariannya Nabi Muhammad SAW lebih banyak bergaul dengan golongan mustadh’afin tersebut ketimbang dengan kaum elit bangsa Arab saat itu.

Menyoal tentang keprihatinannya terhadap anak yatim, dalan sebuah hadits beliau bersabda yang diriwayatkan Imam Bujhari; “Kedudukanku dan orang yang mengasuh anak yatim nanti di syurga seperti kedua jari ini (Nabi merapatkan jari tengah dengan jari telunjuknya). 

Baca juga: Jejak Sejarah Aceh-Amerika, Peneliti AS Temui Bupati Abdya Bahas Logo Kota Salem yang Memuat Po Adam

Demikian juga Nabi sangat menghargai anak-anak sebagaimana kedekatan beliau dengan kedua cucunya, Hasan dan Husain, menyayangi anak perempuan sebagaimana kecintaan beliau kepada putri kecintaannya, Fatimah al-Zahra.

Meneladani sikap Nabi seperti ini, maka ulama sebagai pewaris para nabi sejatinya meneruskan warisan sikap Nabi ini terhadap kaum perempuan, anak-anak, anak yatim, dan para fakir-miskin serta kelompok mustadh’afin lainnya. 

Sikap ulama di era modern ini jangan lagi kembali ke era jahiliyah yang tidak ramah pada anak-anak, anak yatim dan perempuan. Karena hal ini kebalikan dari sikap Nabi sebagai pemberi mandat (warisan) kenabian untuk diteruskan oleh kaum ulama hingga akhir zaman.    

Dalam sebuah riwayat disebutkan ada seorang ibu membawa bayi laki-lakinya yang sedang menyusui ke hadapan Rasulullah, lalu bayi laki-laki didudukkan di pangkuan beliau, tidak lama kemudian bayi laki-laki itu mengencingi pakaian beliau.

Ibu dari bayi itu menariknya cepat-cepat karena merasa bersalah kepada Nabi, lalu Nabi bersabda; “janganlah engkau berlaku kasar kepada bayi ini, kencing bayi ini bisa dihilangkan (najisnya) cukup dengan memercikkan air ke atas pakaian bekas kencingnya, tetapi luka perasaan bayi itu sulit dihapus”.

Dalam riyawat tersebut, sang ibu dari bayi itu adalah Ummu Qais bin Mihshan, seorang shahabiyah Makkah yang awal mula memeluk Islam. Kecintaan rasulullah kepada anak-anak, bahkan kepada seorang bayi sekalipun terungkap jelas dalam hadits ini. 

Beliau lebih menjaga kembang-tumbuh jiwa bayi itu daripada kotornya pakaian beliau. Bahkan rasulullah secara langsung mengedukasi kita bahwa Islam tidak membenarkan perilaku kasar kepada anak-anak karena akan mempengaruhi perkembangan jiwanya kelak. 

Keberpihakan Rasulullah kepada kaum perempuan juga bisa ditemukan dalam khutbah (pidato) beliau pada saat melaksanakan Haji Wada’ (haji perpisahan) 632 M/10 H, tepatnya pada wuquf di padang Arafah.

Baca juga: Kemarin Naik, Harga Emas Antam Hari Ini Berapa? Cek Sekarang Rinciannya Pada 20 Agustus 2025

Dalam kesempatan tersebut beliau menekankan pentingnya mengayomi para istri dan mebjadi pelindung kaum perempuan. Karena mereka itu mempunyai hak atas suami dan ayahnya untuk mendapatkan kelembutan, kasih sayang, perlindungan dan keterpenuhan sandang, pangan dan pakaian serta kenyamanan dalam keluarga.

Sebagai manusia kaum perempuan harus terbebas dari segala penindasan, kekerasan, diskrimanasi dan segala bentuk kedhaliman dan ketidakadilan.

Dalam ajaran Islam kaum perempuan, anak kaum orang yang sudah berusia lanjut harus mendapatkan perioritas perlindungan baik dalam suasana damai apalagi dalam kondisi perang. 

Penghargaan Nabi terhadap kaum perempuan baik sebagai ibu, istri maupun anak dapat ditemukan dalam sejumlah hadits Nabi baik yang berupa ucapan, perbuatan maupun sikap Nabi sendiri. 

Perempuan sebagai ibu diberikan kedudukan tiga kali lipat dari kedudukan ayah, perempuan sebagai istri diperintahkan untuk bergaul secara makruf, dan perempuan sebagai anak dianjurkan untuk mencurahkan kasih sayang tanpa membedakan dengan anak laki-laki.  

Di saat bangssa  Arab memandang rendah kaum perempuan dan khususnya anak perempuan Nabi justru memulikannya.

Jarang dan bahkan tidak pernah ada dalam tradisi kaum jahiliyah seorang suami atau ayah bergaul setara dengan istri dan anak perempuannya, konon lagi menghormatinya. Kehadiran Islam yang dibawa oleh Rasulullah justru menghapus tradisi kaum jahiliyah yang memandang rendah anak perempuan.

Nabi sendiri mencohkan bagaimana Islam memperlakukan istri dan anak perempuan.

Nabi sangat memancai para istrinya, mengajak bersama kemanapun Nabi pergi bahkan ke medan perang sekalipun. Rasulullah ikut membantu pekerjaan rumah tangga, menghibur di kala sedih, bersikap romantis, meluangkan waktu untuk bermain bersama, dan melibatkan istri dalam merencakanan sesuatu pekerjaan penting, membantu istri kala dalam kesulitan, menghargai setiap ikhtiar istri, serta tidak pernah menyakiti hati istri beliau baik secara fisik maupun verbal.

Dalam sebuah hadits yang cukup populer diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan hadits ini diterima langsung dari istri Nabi, Siti Aisyah, Rasulullah bersabda; “sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya, dan aku adalah orang yang terbaik diantara kalian terhadap istriku”. Sehingga pantas saja di hadits yang lain Nabi bersabda; “rumahku adalah syurgaku”.

Bagaimana kondisi umat Islam hari ini bila bercermin pada keteladanan yang telah diwariskan oleh suri teladan Rasulullah khususnya dalam memperlakukan kaum perempuan dan anak-anak?

Baca juga: 8.000 Honorer di Aceh Utara Diusul Jadi PPPK Paruh Waktu

Di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya muslim seperti Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, Banglades, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Yaman dan sejumlah negeri-negeri muslim di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya, kondisi kehidupan kaum perempuan dan anak-anak belum begitu mengembirakan. Mereka masih berada pada posisi di bawah tekanan setting sosial yang kurang menghargai keberadaan kaum perempuan konon lagi anak-anak.

Kultur yang kurang memihak kepada kaum perempuan masih mendominasi dan sampai saat ini nasib kaum perempuan belum terwujud sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah SAW.

Tragedi demi tragedi kemusiaan terus saja menimpa kaum perempuan dan anak, mulai dari kasus perdagangan manusia (traffiking), pekerja anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan fisik dan seksual, penelantaran hak-hak pasca perceraian, pengabaian hak-hak sebagai istri yang sah, dan masih sederet kepiluan lainnya yang diderita oleh kaum perempuajn dan anak di negeri-negeri tersebut. 

pemerintah dan beberapa organisasi yang bergerak pada ranah kemanusiaan ini juga belum bisa mengurangi dampak dari pemahaman kultur yang menyimpang dari ajaran Islam ini. Banyak kasus yang menimpa perempuan yang dibawa ke ranah hukum, perempuan sebagai korban justru bernasib sebaliknya, dipersalahkan dan dituduh sebagai akar dari kasus yang dialaminya.

Melalui momen mengenang kembali kelahiran Rasulullah SAW (maulid) di tahun ini, sudah saatnya umat Islam melakukan muhasabah (instrospeksi) atas kesalahan selama ini dalam memperlakukan kaum perempuan baik sebagai ibu, istri maupun anak.

Mari membentuk maindset dan sikap yang benar tentang bagaimana memuliakan, menghormati dan memberikan hak-hak kaum perempuan sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah kepada istri dan anak-anak.

Terutama hak-hak psikologis dalam kehidupan rumah tangga dan juga pemenuhan kebutuhan fisik dan sosial yang layak dan pantas. Hentikan perilaku dhalim kepada mereka dalam bentuk apapun, jadikan keluarga sebagai tempat yang teduh, nyaman dan tentram. Karena dari sinilah cayaha dan lantera Islam mulai bersemi untuk menerangi hiruk-pikuk kehidupan dunia yang semakin gelap dan tidak karuan. Semoga!

 

Penulis adalah Akademisi UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh   

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved