Breaking News

Pojok Humam Hamid

Netanyahu dan Gaza City: Ketika Jalan Pulang dan Jalan Keluar Terkunci

Ini akan menjadi perang yang lama, melelahkan, penuh jebakan, dan pada akhirnya bisa membuat Israel terperangkap dalam “labirin” yang dbangun sendiri.

Editor: Zaenal
For Serambinews
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

BENJAMIN Netanyahu selalu mengerti satu hal yakni, politik bukan tentang kebenaran, tapi tentang momentum. 

Dan momentum, baginya, sering lahir di tengah krisis.

Selama tiga dekade kariernya, ia belajar bahwa perang, lebih dari perdamaian, dan mampu menyatukan barisan. 

Baginya, perang juga artinya membungkam lawan, dan menunda pertanyaan-pertanyaan yang tak ingin ia jawab.

Kini, kembali Gaza menjadi panggungnya. 

Rencana untuk mengambil alih Kota Gaza diumumkan dengan wajah serius dan nada yang nyaris ritual bagi kita.

Ia menyebutnya alasan keamanan, pembebasan sandera, dan “kewajiban moral” melindungi warga Israel. 

Semua terdengar mulia di podium. 

Tapi di balik retorika itu, ada satu hal yang tak pernah diucapkan. 

Bahwa ini bukan sekadar operasi militer, ini adalah pendudukan resmi, dengan semua konsekuensi yang akan mengikutinya selama bertahun-tahun.

Pada 10 Agustus 2025 yang baru lalu, Fareed Zakaria, anchor program GPS di CNN, membuka diskusi bersama Bret Stephens- kolumnis The New York Times  dan Tarek Masoud- Professor Harvard Kennedy School.

Ketiganya, meski dari latar yang berbeda, memandang rencana Netanyahu sebagai pilihan yang tidak hanya berisiko tinggi, tetapi juga hampir pasti menghancurkan sisa-sisa harapan perdamaian. 

Mereka menyebutnya sebagai “ tak ada jalan pulang.” 

Sebab, sekali tank Israel masuk dan bendera dikibarkan di atas Gaza, tidak ada lagi narasi “sementara” yang bisa dipercaya dunia.

Di Tel Aviv, pemerintah menyebutnya “zona aman.” 

Di PBB, diplomat menyebutnya “pendudukan.” 

Kata yang dipilih tergantung siapa yang berbicara--dan siapa yang akan membayar harganya.

Bahkan di Israel sendiri, suara skeptis tak bisa lagi dibungkam. 

Kepala Staf IDF- tentara Israel, Eyal Zamir, memberi peringatan yang terdengar seperti pesan terselubung. 

Ia mengingatkan, menaklukkan Gaza bukanlah operasi “masuk, pukul, lalu keluar.” 

Ini akan menjadi perang yang lama, melelahkan, penuh jebakan, dan pada akhirnya bisa membuat Israel terperangkap dalam “labirin” yang dbangun sendiri. 

“Labirin” yang menguras anggaran, merusak reputasi, dan menggerus dukungan internasional yang kini sudah rapuh.

Baca juga: VIDEO - Panas! Ben Gvir Dipermalukan Warga Israel dengan Teriakan Kriminal Dan Teroris

Kehancuran tatanan hukum internasional

Dari luar, gelombang kritik datang dari segala arah. 

PBB mengecam, Jerman dan Prancis mengkhawatirkan kehancuran tatanan hukum internasional.

Turki dan Mesir memperingatkan  potensi bahaya kawasan. 

Media internasional, dari The Guardian hingga The New York Times, menyebutnya “resep untuk perang tanpa akhir.”

Namun di Washington, peta reaksinya lebih rumit. 

Ada yang diam, ada yang setengah menyetujui. 

Donald Trump, yang sudah memposisikan diri sebagai pemain besar di Timur Tengah, tampak melihat peluang lain. 

Baginya, Gaza bukan sekadar beban keamanan Israel. 

Tanah itu  dimungkinkan  untuk menjadi lahan proyek “koridor ekonomi” atau wilayah administrasi khusus yang dikendalikan oleh sekutu-sekutu Amerika. 

Ide seperti ini, yang di masa lalu akan dianggap fantasi, kini meluncur mulus di meja perundingan informal.

Sementara itu, di Gaza, kehidupan berubah menjadi eksperimen sosial paling gelap abad ini. 

Peraturan baru membatasi bantuan kemanusiaan. 

Setiap organisasi internasional kini harus mendaftar dan memenuhi persyaratan ketat--resmi untuk alasan keamanan. 

Itu adalah cara praktis memperlambat distribusi makanan, obat-obatan, dan air bersih. 

Jika lapar adalah senjata, Gaza kini adalah laboratorium senjata itu.

Kritik pun datang dari arah yang paling menyakitkan bagi Netanyahu, dari keluarga para sandera. 

Mereka menuduh pemerintah Netanyahu lebih sibuk mengatur narasi politik daripada mengupayakan kembalinya orang-orang tercinta. 

Mereka ingin gencatan senjata, tetapi Netanyahu memberi mereka tank di jalan-jalan Gaza.

Di balik semua ini, ada kecurigaan yang makin sulit ditepis. 

Netanyahu sepertinya bukan sekadar mencari kemenangan militer. Ia membangun panggung politik. 

Perang adalah bahasa yang ia kuasai--ia bisa menjualnya di televisi, menggunakannya untuk membungkam oposisi, bahkan menundukkan sekutu yang ragu. 

Sejarah Israel, pelajaran yang kontras 

Perdamaian? 

Terlalu membosankan. 

Terlalu penuh kompromi. 

Terlalu berisiko menggerus basis politiknya di kanan.

Sejarah Israel sendiri menawarkan pelajaran yang kontras. 

Ehud Barak, mantan perdana menteri sekaligus panglima perang yang pernah memimpin operasi spektakuler, justru memilih jalan keluar dari Lebanon Selatan pada tahun 2000. 

Banyak yang mengecamnya sebagai “penyerahan,” tetapi Barak tahu bahwa pendudukan yang panjang adalah perang yang kalah secara diam-diam. 

Keputusan itu tidak membuat Israel bebas dari serangan, tapi memutus rantai pengeluaran militer tanpa ujung dan beban diplomatik yang terus membengkak.

Ariel Sharon, sosok buas yang pernah jadi arsitek permukiman di Tepi Barat, membuat kejutan lebih besar pada 2005 dengan menarik seluruh pasukan dan pemukim dari Gaza

Sharon bukanlah merpati perdamaian--ia tetap keras dalam isu keamanan--tetapi ia mampu melihat bahwa mengendalikan Gaza secara langsung adalah jebakan strategis. 

Baginya, terkadang mundur adalah cara untuk mempertahankan kekuatan jangka panjang.

Netanyahu tidak mengikuti pelajaran ini. 

Ia memilih arah berlawanan. 

Israel masuk, menancapkan bendera, dan menetap. 

Bedanya, kali ini dunia lebih terhubung, opini publik lebih cepat terbentuk, dan gambarnya--bangunan runtuh, anak-anak kelaparan, pengungsi berdesakan--berputar tanpa henti di ponsel miliaran manusia di seantero bumi.

Dan inilah bahaya yang tak kasat mata. 

Ketika perang menjadi pilihan, bukan karena semua pilihan lain gagal, tetapi karena perang itu sendiri memberi keuntungan politik.

Ketika kata “keamanan” menjadi selimut untuk menutupi strategi memperpanjang kekuasaan. 

Dan inilah strategi Netanyahu menghindari hukuman penjara yang telah menantinya cukup lama karena kasus korupsi.

Untuk itu ia mampu membuat penderitaan manusia direduksi menjadi angka dalam laporan intelijen.

Sejarah memberi banyak contoh bagaimana pendudukan melahirkan perlawanan yang lebih keras. 

Dari Aljazair, Vietnam hingga Irak, dari Lebanon hingga Afghanistan, kekuatan militer bisa merebut tanah tetapi jarang bisa menguasai hati. 

Jalan tiada ujung

Gaza bukan pengecualian. 

Justru, dengan setiap rumah yang runtuh dan setiap keluarga yang tercerai-berai, Israel menanam bibit kemarahan yang akan tumbuh selama generasi.

Netanyahu mungkin percaya bahwa dengan mengendalikan Gaza, ia mengendalikan ancaman. 

Tapi sejarah punya ironi. 

Kekuatan yang terlalu sering digunakan akan melahirkan lawan yang lebih gigih. 

Gaza bukan papan catur, dan rakyatnya bukan bidak. 

Mereka adalah sejarah yang hidup--dan sejarah punya cara sendiri untuk membalas.

Di mata dunia, mungkin Israel akan tercatat sebagai negara yang berhasil menaklukkan Gaza

Tapi di buku sejarah yang lebih jujur, ini akan dikenang sebagai momen ketika Israel menang di medan perang namun kalah di medan moral. 

Di bawah setiap puing, di balik setiap antrean bantuan, ada cerita bahwa tanah bisa direbut, tapi kemarahan yang lahir darinya tak bisa dibungkam.

Jika Netanyahu berpikir jalan ini bisa mengamankan masa depan Israel, ia salah membaca bab berikutnya dari sejarah. 

Pendudukan jarang berakhir dengan stabilitas. 

Lebih sering, pendudukan berakhir dengan biaya yang membengkak, reputasi yang hancur, dan musuh yang lebih banyak daripada saat memulai.

Hari ini, Netanyahu mungkin merasa sedang menulis bab kemenangan. 

Ia tak sadar, atau memang bengal, generasi berikutnya mungkin akan membacanya sebagai bab awal dari kekalahan yang lebih besar.

Kekalahan yang dimulai bukan di medan perang, tetapi di meja keputusan, ketika seorang pemimpin memilih jalan tanpa pulang, atau bahkan jalan tiada ujung.(*)

 

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved