SERAMBINEWS.COM - Gampong Lampeudaya dan Gampong Suleue merupakan dua gampong di Kecamatan Darussalam, Aceh Besar.
Sejak resmi menjadi desa (gampong) pada tahun 1988 atau 30 tahun lalu, kedua gampong ini telah terlibat sengketa tapal batas.
Sengketa yang lama terpendam ini sempat mencuat kembali pada tahun 2010, saat sebuah perusahaan pengembang ingin membangun perumahan.
Pasalnya, status tanah dikeluarkan akte oleh Gampong Lampeudaya, sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tanah berada di Gampong Suleue.
Baca: Taruna ATKP Makassar Tewas Dianiaya Seniornya, Ini Kronologi dan Penyebabnya
Keadaan semakin meruncing setelah salah satu gampong membangun gapura tanpa persetujuan gampong lainnya di lahan tersebut.
Pertentangan mencapai klimaks saat kedua gampong itu berebut tempat penumpukan sampah di lahan sengketa.
Konsentrasi massa kedua gampong yang hampir menimbulkan kontak fisik pun terjadi saat gotong royong antargampong pada, 20 Januari 2019.
Beruntung, Kecamatan Darussalam saat ini dipimpin oleh seorang camat yang piawai dan mumpuni dalam menyelesaikan sengketa.
Baca: Mahasiswa UTU Galang Dana, Bantu Bocah Alami Pembekuan Darah di Kepala
Dia adalah Zia Ul Azmi SH, mantan Kepala Bagian Hukum dan HAM di Setda Kota Sabang, yang sejak sebelas bulan lalu dipercaya sebagai perpanjangan tangan Bupati Aceh Besar di Kecamatan Darussalam.
Bukannya lari dari persoalan, Zia Ul Azmi malah memanfaatkan konsentrasi massa dari kedua gampong tersebut untuk menyelesaikan konflik yang telah berusia 30 tahun.
Zia Ul Azmi sangat yakin dengan petuah indatu, “hana ujeun yang han pirang, hana prang yang han reuda (tak ada hujan yang tak reda, tak ada perang yang tidak berakhir).
Bahkan, konflik bersenjata antara GAM dengan Republik Indonesia yang juga berusia 30 tahun dan memakan banyak korban pun, dapat diselesaikan dengan damai.
Baca: Perusahaan Jasa Pengiriman Layangkan Surat Protes ke Jokowi Atas Kenaikan Tarif Kargo Pesawat 112%
Konon lagi jika hanya konflik antargampong yang kebanyakan masih terikat tali famili.
Beranjak dari keyakinan itu, Camat Zia Ul Azmi bersama Muspika mengajak para keuchik beserta imum mukim setempat, untuk segera mengakhiri persoalan tersebut dengan musyawarah dan perdamaian.
Musyawarah sempat berlangsung sangat rumit, karena para pihak mempertahankan kepentingan masing-masing.
Akhirnya, terjadilah tawar menawar, agar dilakukan tukar guling wilayah yang saling menguntungkan.
Sehingga terbentuknya sebuah garis lurus batas wilayah yang akhirnya diakui oleh kedua gampong berserta masyarakatnya.
Baca: Rusia Kembangkan Rudal Baru Untuk Tanggapi AS Keluar Dari Pakta Kontrol Senjata Nuklir
Menggali Persoalan Mengupayakan Penyelesaian
Kisah sukses Camat Zia Ul Azmi menyelesaikan sengketa tapal batas yang sudah berusia 30 tahun ini, diceritakannya kepada Tim Media Centre Pemkab Aceh Besar, di sela-sela kesibukannya melayani warga, di Kantor Camat Darussalam, dekat pasar Lambaro Angan, awal Februari 2019.
Sebagai Camat Darussalam, Zia Ul Azmi bertugas mengawal jalannya pemerintahan di 29 gampong dalam wilayahnya.
Karena itu, saat mengawali tugasnya sebelas bulan lalu, Zia Ul Azmi menggali persoalan yang tengah terjadi di daerahnya, untuk mempelajari dan mengupayakan proses penyelesaian.
Dari kajiannya, ternyata kasus yang paling banyak terjadi adalah persoalan tapal batas yang telah memecahkan belah persatuan dan persaudaraan dalam masyarakat.
Baca: Hotman Paris Hutapea Ungkap Banyak Pengusaha Kaya Transaksi Prostitusi Online Demi Lancarkan Proyek
Kondisi ini terjadi karena masing-masing pihak terkungkung sikap egois, tidak mau mengalah demi mempertahankan lahan.
"Persoalan tapal batas ini selalu mencuat kembali saat adanya rencana pembangunan di atas tanah yang belum jelas kepemilikan, atau ketika salah satu pihak membangun gapura gampong di atas tanah yang masih dalam status sengketa. Sehingga butuh keuletan dalam memediasi dan berani mengambil keputusan, tanpa menguntungkan sebelah pihak,” ungkap Camat Zia seperti dikutip Media Centre Pemkab Aceh Besar, dalam siaran pers kepada Serambinews.com.
Salah satu sengketa yang paling laten, kata Zia, adalah sengketa tapal batas Gampong Lampeudaya dan Gampong Suleue yang terjadi sejak tahun 1988.
Namun, berkat keuletan dan kepiawaan sang Camat bersama unsur Muspika dan imum mukim, serta keikhlasan perangkat dan warga di kedua gampong tersebut, konflik yang telah berusia 30 tahun itu, berakhir dengan damai.
Baca: Heboh Bocah Kelas 1 SD Diduga Disunat Jin, Sempat Mengeluhkan Sakit di Kemaluannya
Gampong Cot dan Lambada Peukan
Camat Zia Ul Azmi melanjutkan, konflik hampir serupa juga terjadi antara Gampong Cot dan Lambada Peukan.
Selama belasan tahun lalu, kedua gampong ini mempersengketakan lahan masjid, pasar Lambaro Angan, serta batas jalan masuk gampong.
Persengketaan antarkedua gampong ini juga hampir menimbulkan pertemuan massa antargampong.
Dalam menyelesaikan masalah ini, Camat bersama Danramil, Kapolsek, dan Imum Mukil Lambaro Angan, memfasilitasi dan memediasi proses pembagian jatah blok pasar, serta melepaskan tanah Masjid Besar Lambaro Angan menjadi milik mukim.
Konflik belasan tahun pun terselesaikan dengan jalan damai.
Camat Zia Ul Azmi juga mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang berupaya menyelesaikan beberapa persoalan tapal batas lainnya di beberapa desa lainnya.
Baca: Dua Kapal Perang Rusia Sudah Dipasang Senjata yang Bisa Bikin Lawan Halusinasi dan Muntah
Hanya saja, persoalan di beberapa desa ini belum begitu rumit.
Sehingga ia berharap seluruh persoalan tapal batas di Kecamatan Darussalam, dapat terselesaikan dalam tahun 2019 ini.
Humas Pemkab Aceh Besar menyatakan, persoalan tapal batas tidak hanya terjadi di Kecamatan Darussalam, tapi juga terjadi di banyak gampong lainnya dalam wilayah Aceh Besar.
Konflik ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena dapat memicu konflik dan bisa-bisa memakan korban jiwa.
“Pemerintah Aceh Besar sangat berharap pemerintahan gampong bersama Muspika untuk duduk bersama melakukan musyawarah dan mufakat, menyelesaikan persoalan dengan damai dan penuh kekeluargaan,” demikian siaran pers Humas Pemkab Aceh Besar.(Zainal Arifin M Nur)