Ahmad Humam Hamid*)
KETIKA Pirous pulang kampung segera setelah tamat dari sekolah di AS, yang ia cari adalah bukti akar Aceh masa lalu, yang tersimpan dalam berbagai bentuk.
Ada yang terlihat ada pula yang tak terlihat.
Ada yang sudah hilang, ada pula yang terurus dengan baik.
Pirous dengan sangat siap memastikan diri untuk masuk “berburu” di sebuah belantara budaya yang bernama Aceh.
Prious semenjak kecil adalah kutu buku, sekaligus pembelajar.
Ketika mungkin lebih dari 90 persen orang Aceh belum bisa membaca, Pirous kecil sudah membaca berbagai serial komik dan novel yang dibeli oleh ayahnya.
Bayangkan ketika konektivitas global masih bergantung kepada kapal uap, kartun Flash Gordon karya Alex Raymon yang pertama sekali diterbitkan di AS pada tahun 1934 telah dilahap oleh Pirous kecil pada tahun empat puluhan di Meulaboh.
Alex Raymon dalam dunia karton tidak hanya dianggap “nabinya” para kartunis komik dan media cetak AS, akan tetapi juga dianggap sebagai inspirator berbagai cerita dan film fiksi imiah, seperti Star Wars.
“Tercemarnya” Pirous dengan ”racun” imajinasi Flash Gordon pada tahun empat puluhan di sebuah kota kecil Meulaboh tentu saja menyamai anak-anak kecil seusianya yang bertebaran di kawasan negara maju, terutama Amerika Serikat, dan juga mungkin Eropah, pada waktu itu.
Pengembaraan Pirous kecil tidak hanya berhenti pada penglihatan visual gambar dan cerita.
Ayahnya yang mempunyai uang yang berlebih dan pandangannya tentang masa depan dengan pendikan tentu tahu arti bacaan untuk anaknya.
Ia membeli buku novel anak-anak seusia anaknya, dan Pirous mengakui ia sangat menggemari seri Petualangan Winnetau-anak Indian yang dikarang oleh Karl May.
Ini adalah novel yang luar biasa yang enak dibaca sampai hari.
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menyaksikan Seniman Bertasbih dan Berzikir (I)
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menemukan Kembali Aceh di Amerika Serikat (II)
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Kasab Meulaboh, Ibunda, dan Ikon Etnis (III)
Dari Komik ke Novel, hingga Kaligrafi
Jika pada Flash Gordon dunia imajinasi Pirous didapatkan dengan bantuan visual gambar komik yang berbicara, pada Winnatou ia mulai memperoleh bacaan sastera untuk melihat kehidupan.
Dan bacaan itu tentu saja telah memberikannya sebuah modal dasar dan bahkan lebih besar ilmu pengetahuan.
Ayahnya telah memberi sebuah bekal hidup luar biasa kepada Pirous, “imaginasi”, kata yang diakui oleh “raksasa” ilmu fisika dan filosof Albert Einstein, sebagai instrumen untuk melihat realitas objektif dan subjektif melebihi kemampuan ilmu pengetahuan.
Dua model bacaan yang diberikan oleh Ayahnya, komik dan novel, sesungguhnya menyamai, paling kurang tidak kurang dari yang diberikan oleh ibunya dalam karir Pirous di kemudian hari.
Dari Flash Gordon, Prious mendapat batu pijakan awal untuk sebuah imajinasi visual, sedangkan dari Winnatau dua imajinasi sekaligus.
Ia mendapatkan imajinasi dunia luar yang jauh dari Meulaboh dengan gambaran alam kehidupan praire, hutan sub-tropis, dan empat musim sepanjang tahun.
Bacaannya tentang Winnatau juga memberikan Pirous imajinasi sastrawi yang dikemudian hari menjadi bagian penting visual dari karya-karyanya.
Sekalipun Pirous menyatakan mungkin ayahnya tidak memiliki darah seni, pilihan ayahnya untuk membeli dan menyediakan bacaan untuk anaknya sungguh memberi kesan tersendiri.
Setidaknya Pirous tua punya intuisi yang “kuat” untuk masa depan anaknya sangat tergantung pada kemampuannya untuk mampu membaca dunia dan kehidupan.
Kalau memang benar klaim Pirous tentang ayahnya yang tidak punya darah seni, setidaknya secara tak sadar Pirous tua telah membuat sebuah tindakan yang membuat Pirous masuk ke sebuah jalan, yang pada akhirnya membawa Pirous ke sebuah ” high way” seni nasional dan international.
Pirous memulai perburuannya untuk akar kaligrafinya dengan mengulangi apa yang diberikan oleh ayahnya pada masa kecilnya, dan itu adalah Flash Gordonnya dengan topik dan pengarang yang lain.
Bentuk dan isi visual dari bacaan kali ini bukan biasa, arena yang dicari adalah artefak budaya yang tersebar berserakan di seluruh bumi Aceh.
Layaknya penambang emas di pedalaman pantai barat pada masa kerajaan Aceh yang tahu wilayah konsentrasi logam mulai itu, Pirous juga harus memutuskan wilayah dan lokasi yang sarat dengan artefak di sejumlah titik di Aceh untuk menjadi “logam mulianya”.
Pirous punya bacaan sejarah dan dan pergaulan yang luas tentang Aceh.
Kepergiannya ke Rochester setidaknya memberinya bekal untuk sebuah pencarian arkeologi.
Baca juga: Penelitian Arkeologi: Nenek Moyang Suku Gayo Bermigrasi dari Cina Selatan pada Zaman Prasejarah
Eksplorasi di Tanoh Abee, Makam Raja Pasai, dan Gampong Pande
Sungguh banyak tempat di Aceh yang ia kunjungi, namun tiga tempat yang kemudian menjadi ladang eksplorasi dan exploitasi utama seninya adalah Tanoh Abee, tepatnya Zawiyah Tanoh Abee di kecamatan Seulimum, Aceh Besar, Makam Raja-Raja Pasai, di Kecamatan Samudra, dan Gampong Pande di Banda Aceh.
Pilihan Tanoh Abee bagi Pirous bukan tanpa alasan.
Tanoh Abee adalah satu satunya tempat dimana konsentrasi transkrip dan manuskrip Aceh masa lalu tersimpan relatif lebih baik, walaupun cukup banyak pula yang telah hilang dimakan waktu.
Jumlah manuskrip masa lalu yang tersimpan di zawiyah itu sekitar 10.000. (Al Yasa dan Wamad 1992)
Pilihan Pirous terhadap Tanoh Abee sangat beralasan, karena selain dari beberapa karangan kitab dan hikayat, hanya zawiyah Tanoh Abee sajalah mampu memberikan sejumlah bukti penting artefak tentang praktek dan tradisi intelektual Aceh masa lalu.
Yang juga paling menarik tentang artefak Tanoh Abee juga mencerminkan pergumulan penalaran “the power of reason. and passion” dari berbagai pemahaman agama langsung dari asalnya, Mekkah dan Medinah, maupun dari kepustakaan Persia, Turki, dan Gujarat.
Zawiyah Tanoh Abee adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional (Aceh bahasa Aceh) yang didirikan oleh ulama asal Irak, Syekh Fayrus al-Baghdadi.
Dayah ini mencapai puncak perkembangannya pada akhir abad ke-19 di bawah pimpinan Syekh Abdul Wahab, alias Teungku Chik Tanoh Abee, yang sampai kini masih sangat dihormati dan dipandang sebagai figur terpenting dalam sejarah Dayah itu.
Baca juga: Napoleon, Kohler, Muzakir Walad, dan Warisan Gampong Pande (I)
Baca juga: Napoleon, Kohler, Muzakir Walad, dan Warisan Gampong Pande (II)
Ketika Azuymadi Azra (1994) menyatakan Aceh sebagai “nexus”-poros jaringan ilmu pengetahuan islam ke seluruh wilayah Melayu Nusantara pada abad ke 17, maka peninggalam budaya material tulisan yang masih tersedia hanya sejumah kitab, dan sejumlah hikayat yang berserakan di berbagai tempat.
Keunikan Tanoh Abee, sampai hari ketika Pirous mengunjunginya, adalah peninggalan artefak tulisan dan sejumlah benda lain yang terjaga selama lebih dari dua abad dengan suksesi kepemimpinan dan tradisi yang berlanjut.
Zawiyah yang didirikan oleh Syekh Fayrus Al Bagdadi yang sempat menjadi Qadhi-Malikul Adil Raja Iskandar Muda kemudian diteruskan oleh tujuh generasi lanjutan sampai kepada Tgk H. Muhammad Dahlan Al-Baghdadi pada penghujung abad ke 20.
Penelusuran yang dilakukan oleh Fadlan (2013) menemukan keluasan cakupan dari berbagai naskah yang ada di tanoh Abee mulai dari Ilmu Alquran, Hadis, Tafsir, Tauhid, Fikih, Tasawuf, Tata Bahasa, Logika, Ushul Fikih, Sejarah, Zikir, dan Doa.
Quran Aceh adalah julukan yang diberikan mushaf Alquran yang telah dimulai dari kerajaan Pasai pada abad ke 11 dan 12 dan kemudian terus berlanjut.
Tanoh Abee setidaknya mempunyai 23 Quran Aceh dari puluhan atau mungkin ratusan yang telah berumur cukup lama.
Berbagai bentuk mushaf Quran Aceh itu juga memberikan gambaran proses evolusi pribumisasi penulisan dan seni sekalgus, baik dengan melalui, iluminasi, dan warna.
Mushaf itu juga kemudian mencerminkan Acehnisasi penulisan Alquran yang termediasi melalui paling kurang tiga peradaban besar setelah periode Mekkah dan Madinah; Persia, India, dan mungkin Turki.
Salah satu contoh yang paling menonjol dari Mushaf Alquran Aceh misalnya berbeda dari khath dan motif mushaf pertama, Rasm Usmani, yang dibuat pada abad ke 7 semasa khalifah Usman.
Perbedaan itu sangat nyata pada motif hiasan dan ukiran dimana warna merah, hitam, dan kuning lebih menonjol yang pada mushaf pertama itu tidak seperti itu.
Baca juga: Napoleon, Kohler, Muzakir Walad, dan Warisan Gampong Pande (3- Habis)
Berbagai peninggalan Tanoh Abee baik berupa tradisi intelektual, mushaf, dan sejumlah artefak lain memberikan kekaguman tersendiri bagi Pirous, terutama dalam pencarian dirinya dan peta jalan untuk karir dan masa depannya.
Tanoh Abee kemudian menjadi tambang inspirasi dan kotemplasi Pirous dalam berbagai karyaseninya.
Puncak dari kekaguman Pirous terhadap Zawiyah Tanoh Abee diabadikan dalam bentuk kekaguman, kecintaan, takzim, hormat, dan doa kepada para ulama Tanoh Abee.
Karyanya yang diberi judul Doa XII/Penghormatan Kepada Tanah Abee sebagai pusat literasi Islam Melayu Nusantara pada zamannya dengan menempatkan kutipan surah Al Baqarah penutup ayat 148, “ Wallahu’ala kulli syaiin qadir” sebagai matahari dalam suasana senja dengan berbagai penumpukan dan gradasi warna dan citra reproduksi fotografi.
Pengakuan Pirous terhadap “Allah Maha Kuasa atas sesesuatu” ditimpakan di atas tembok kuno lebih mencerminkan pengakuan keluhuran budaya tradisional indatunya.
Kasih sayang relegius ibunya dan keseharian Pirous kecil dengan masyarakat Meulaboh yang kental dengan nilai-nilai keAcehan, asuhan dan darah seni dari ibunya, imajinasi Flash Gordon dan Winnetau tetap membekas dan berlanjut.
Pendidikan formal di ITB dan pengetahuan dan skill senirupa yang ia dapatkan di Rochester, AS membuatnya menjadi lebih mengenal dirinya.
Ia “menyerah” dan sekaligus mengakui dan takzim kepada ulama terdahulu, para ulama Tanoh Abee, sekaligus dengan tradisi intelekual yang berbungkus dengan seni yang luar biasa.
Pirous mendekap, asyik, dan tenggelam dalam pelukan Tanoh Abee.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.