Itu adalah buku-buku komunikami korporasi yang menjadi bacaan wajib program MBA tidak hanya di kampus-kampus kecil di dunia, tetapi juga di Harvad Business School, Sloan di MIT, ataupun Wharton School di Universitas Pensylvania.
Salah satu topik penting yang dibahas adalah identitas, branding, reputasi, dan iklan.
Dan itulah salah satu yang dikerjakan oleh Jasman J. Makruf.
Seperti pengakuannya kepada saya, ia tak sulit untuk membangun kampusnya yang unik dan padu, walaupun ia harus mengerahkan paling kurang 20 orang tokoh ketika ia menggagas maket dan sentuhan keindahan etnik dan unversial berikut dengan struktur dan keindahan aritektur.
Modal nama Teuku Umar baginya adalah anugerah dan asset yang paling besar.
Ia segera berkomunikasi dengan AD Pirous.
Ia mengaku kepada saya ia mendapat pencerahan besar dari AD tentang kehidupan, ilmu, seni, dan wawasan masa depan.
Ia tidak lagi melihat Pirous sebagai praktisi Seni Rupa.
Ia telah mendapatkan Pirous sebagai seorang generalis yang punya wawasan luas dan bahkan holistik.
Dan Jasman tahu ia harus “mencuri” kehebatan Pirous untuk dibawa kembali kampung halaman sang maestro.
Saya setuju dengan Jasman bahwa narasi Teuku Umar yang ada selama ini lebih bersifat “ketenteraan” yang menjagokan fisik tempur, walaupun ia mempunyai strategi yang lumayan.
Tantangan terbesar dengan nama Teuku Umar bagi Jasman bagaimana mencari alur sejarah yang menggambarkan Teuku Umar bukan hanya sosok yang mengandalkan “otot”, tetapi juga “reason” -penalaran dan “passion”-gairah menyala yang mumpuni.
Jasman lama gelisah.
Kegelisahan itu buyar seketika ketika ia bertemu Pirous dan melihat lukisan T. Umar di galerinya.
Apa yang dipikirkan oleh Jasman telah dikerjakan oleh Pirous dalam bentuk yang paripurna, menurut Jasman.
Teuku Umar telah “dihidupkan”oleh Pirous dan gambar itu akan “hidup” sepanjang zaman.
Dalam ceritanya kepada saya, Jasman bangga mengatakan bahwa UTU sudah punya identitas, sudah punya roh, dus sudah ada branding.
Tinggal sekarang katanya bagimana membangun reputasi.
Ia telah mendapat dua dari Pirous, wawasan dan seni yang kemudian dikawinkan dengan ilmu pemasaran yang ditekuninya.
Ketika saya bertanya tentang klaim identitas yang ia temukan, ia bahkan mempersilakan saya melihat lukisan Teuku Umar dan mempelajarinya.
Baca juga: Napoleon, Kohler, Muzakir Walad, dan Warisan Gampong Pande (3- Habis)
Dari Agam dan Berotot ke Seumike, Syae, dan Zike
Ketika melihat gambar itu bakda subuh beberapa hari yang lalu dengan sangat sama, saya segera menangkap T. Umar telah dirobah narasinya dari narasi “agam” dan “berotot” kepada narasi “seumike”dan “syae dan zike” oleh Pirous.
Kebalikan dari ikon USK dan UIN Ar-Raniry yang membuat gambaran visual utuh tentang AsSingkili dan Ar-Raniry, Pirous justeru menghilangkan gambar foto fisik T. Umar ke dalam bentuk guratan-guratan arwah yang syuhada yang sangat bernuansa perang sabil.
Pirous dengan sangat berhasil menyajikan tentang kesucian darah perang T. Umar dengan pedang yang terhunus, bercak darah pada sarung, wajah, topi, dan baju.
Lukisan itu menyertakan kepingan hikayat Prang Sabi yang robek dan ada pula sejumlah huruf Arab merah yang di sisi bahu dan kepala Teuku Umar.
Bagi yang buta aksara huruf Arab, lukisan T. Umar mungkin akan menyangka itu adalah ayat Alquran.
Padahal Pirous dengan sengaja telah membawa essensi Alquran yang telah “diAcehkan” oleh Teungku Syik Pante Kulu dalam hikayat Perang Sabil.
Bait sumpah Melayu Jawi hikayat itu dikutip oleh Pirous dan menjadi pembebas narasi Teuku Umar sebagai sosok maskulin yang berotot.
Lihatlah tulisan jawi disebelah kanan. Nibak mate di rum inong-daripada mati di rumah isteri, bah le keunong senjata kaphe-biarlah kena senjata kafir.
Di sebelah kiri ditulis lagi, nibak mate di ateuh tilam,-daripada mati di atas tilam, bahle lam seuh prang syahid meugule-biarlah mati syahid dalam saf perang saja.
Dengan nuansa gambar yang unik, dan kutipan bait syair itu Pirous telah sangat jitu memberikan tambahan kepada T. Umar.
Ia dan tentaranya tidak hanya berperang dengan raganya, tetapi juga dengan sukma, menyongsong kematian yang sangat indah.
Pirous telah merobah gambar fisik T Umar dalam kedalam bentuk cerita yang sangat sastrawi, dan itulah “nyawa” dari lukisan itu.
Mungkin itulah yang disebut dengan aura dan roh oleh Jasman kepada saya.
Bait indah menggambarkan tentang logika kematian dengan alasan, yang kemudian dibungkus rapi dengan kalimat indah, dan itu adalah “reason” sekaligus “passion” yang mengantarkan T. Umar ke wilayah penalaran sebagai jantung ilmu pengetahuan.
Melalui lukisan itu T. Umar telah komplit bersenyawa dan menyatu dengan Universitas kebangaan pantai barat itu.
Atas pemintaan Jasman-tanpa dimintapun mungkin akan dikasih- Pirous menghadiahkan replika besar gambar itu kepada UTU, dan kini dijadikan sebagai gambar pemula di Hall of Fame - dinding tokoh hebat di Universitas itu.
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.