OLEH SAIFUDDIN BANTASYAM, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
“TERSANGKA ditahan untuk 20 hari pertama terhitung 23 September sampai dengan 12 Oktober di Rumah Tahanan KPK pada Kavling C1” kata Ketua KPK Alexander Marwata 23 September lalu dalam konperensi pers di Gedung KPK.
Tersangka yang dimaksudkan oleh Alexander itu bukan orang biasa, melainkan wakil Tuhan di dunia, seorang hakim agung di Mahkamah Agung (MA), yang adalah benteng terakhir keadilan.
Posisi sebagai benteng terakhir itu bukan sekedar julukan, melainkan memang demikian faktanya dalam ketentuan normatif.
Dalam kasus pidana, seseorang yang tak menerima putusan pengadilan negeri, dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi.
Upaya hukum lain (upaya hukum luar biasa) adalah dalam bentuk peninjauan kembali terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bentengnya ada di MA baik untuk perkara pidana maupun perdata.
Artinya, tak ada kesempatan atau celah lain.
Pihak-pihak yang berperkara kemudian berusaha sedemikian rupa untuk memengaruhi hakim agar membuat putusan yang menguntungkan mereka.
Dalam arti kata, jika proses banding di pengadilan tinggi tak sempat dipengaruhi, maka kesempatan itu ada saat kasus sampai di MA.
Baca juga: Ingat Kasus di Aceh Utara? Putri Candrawathi tak Ditahan Alasan Balita, YARA: Ini Lukai Keadilan
Baca juga: Namanya Dibandingkan dengan Kasus PC, Angelina Sondakh: Lebih Baik Mendapat Keadilan dari Allah
“Ada banyak jalan ke Roma” untuk menuju ke ruang hakim di MA itu.
Di antaranya adalah dengan mendekati panitera.
Bahkan ada juga yang mendekati sekretaris MA (Nurhadi, seorang sekretaris MA, sudah dihukum karena korupsi).
Atau langsung menemui hakim.
Takut? Rasa takut mungkin sudah hilang karena ada pandangan, uang bisa memberi kemenangan, keadilan dapat dibeli, atau meminta mafia untuk mengurus perkara itu menuju kepada kemenangan.
Lalu, saat proses hukum di MA dapat dibeli dengan uang, maka disebutlah bahwa benteng terakhir keadilan sudah runtuh.
Hakim (sudah dinonaktifkan) Sudrajat Dimyati memang hakim pertama di MA yang ditangkap oleh KPK.
Namun, wakil Tuhan di dunia itu yang sudah dijerat dengan hukum ada dua puluhan jumlahnya.
Tak tanggung- tanggung, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan hakim MK pun--yang mengadili konflik UU dengan konstitusi- -sudah jadi pesakitan.
Masuk bui karena menerima suap.
Baca juga: Lantang, Suara Salsabila Baca Puisi Tiada Keadilan Saat Demo Tolak Kenaikan Harga BBM di Lhokseumawe
Dimensi proses Siapa yang patut dipersalahkan atas atas kelakuan koruptif hakim itu? Orangorang dapat mencalonkan diri dalam proses rekrutmen calon-calon hakim MA.
Seluruh calon yang memenuhi syarat diusulkan oleh Komisi Yudisial (KY) ke DPR-RI untuk memilih para calon dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.
Hakim Agung yang terpilih kemudian ditetapkan oleh Presiden.
Keterlibatan KY dalam seleksi calon hakim agung dapat menggantikan atau melengkapi peran yang tidak dimainkan sebelumnya oleh MA (yang lebih teknis).
Peran tersebut adalah menelesuri rekam jejak baik prestasi maupun kelakuan calon hakim.
KY pun kemudian, menurut konstitusi, diberi fungsi mengawasi serta menjaga harkat dan martabat hakim.
Seharusnya, dengan kehadiran KY yang merupakan “state auxiliary body” justru harus memperkuat lembaga yudikatif menjadi benarbenar merdeka, kuat, bersih dan profesional.
Kenyataannya tidak demikian.
Dalam sepuluh tahun belakangan ini, ada dua puluhan hakim terlibat dalam kasus suap.
Kasus Sudrajad itu pun menjadi noda besar sebab pada 2013 dulu, saat seleksi calon hakim agung di DPRRI, dia diisukan melobi seorang anggota Komisi III di sebuah toilet di gedung DPRRI.
Dia pun kemudian gagal terpilih, hanya dapat satu suara.
Baca juga: Tunjangan Profesi Guru Dihapus dari RUU Sisdiknas, PGRI: Melukai Rasa Keadilan bagi Para Pendidik
Dia baru terpilih pada tahun berikutnya.
KY yang melakukan pemeriksaan mengatakan bahwa Sudrajat tak bersalah dalam kasus yang dikenal dengan kasus “lobi toilet” itu.
Sebelum ke KY, masyarakat juga (diminta) terlibat memberikan masukan tentang segala sesuatu yang mereka tahu terkait dengan calon hakim.
DPR-RI kemudian melakukan “fit and proper test” berdasarkan nama calon yang diajukan KY.
Pimpinan MA tempat hakim agung berkarier juga berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan.
Jika ditelusuri, maka pihakpihak di atas berpotensi bagi munculnya kebobrokan di lembaga pengadilan.
Moral dan etika Rakyat berharap, tetapi yang terjadi kemudian adalah ibarat pagar makan di tanaman.
Rakyat mencari keadilan.
Namun, yang muncul adalah ketidakadilan karena institusi tak memiliki integritas dan korup.
Khusus untuk MA, kasus melibatkan Sudrajat itu merupakan satu tamparan sendiri kepada MA karena pada Desember 2021 yang lalu Kementerian PAN dan RB memberi penghargaan kepada Ketua Mahkamah Agung RI sebagai Pemimpin Perubahan kepada Ketua MA.
Mahkamah Agung tentu saja melakukan pengawasan kepada para hakim dan juga memiliki program PPIH (Program Peningkatan Integritas Hakim).
Baca juga: Gigih Perjuangkan Keadilan Brigadir J, Ternyata Istri & Anak Kamaruddin Pernah Dibakar Hidup-hidup
Kasus Sudrajad menunjukkan bahwa upaya MA sendiri dalam mewujudkan pengadilan yang bersih dan berwibawa kembali bobol.
“Case management system” di MA tampaknya tak dapat diandalkan.
Keadaan yang anomali dalam dunia penegakan hukum ini akhirnya akan memunculkan ketidakpercayaan publik (public distrust).
Jika publik tidak lagi menaruh kepercayaan maka tidak ada lagi kepemimpinan meskipun pimpinan itu menyatakan secara jujur sudah bertaubat terhadap kesalahan masa lalu dan menggunakan retorika yang indah dan menarik untuk memukau publik.
Namun, publik tetap tak akan percaya.
Kepercayaan publik adalah pilar kekuatan.
Ketika pilar kekuatan tidak ada lagi, konstruksi bangunan akan hancur, roboh menimpa para penghuninya, yang merupakan penegak keadilan.
Karena itu, mereka yang ada di area tersebut, mesti dijaga agar taat pada etika dan memiliki moralitas yang tinggi.
Kata Aristoteles, etika adalah filsafat moral.
Etika (ethos) adalah perasaan batin, kecenderungan hati seseorang untuk berbuat kebaikan.
Ada pun moralitas adalah apa yang disebut oleh Immanuel Kant sebagai kesesuaian sikap kita dengan norma atau hukum batiniah kita, apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita.
Menurut Kant, moralitas itu akan tercapai apabila kita menaati hukum lahiriah bukan lantaran hal itu membawa akibat yang menguntungkan kita atau takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan karena kita menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita.
Keseluruhan perbuatan dan perilaku penegak hukum, diatur, ditentukan, dan dibimbing oleh norma moral yang berlaku umum untuk semua manusia.
Dalam konteks ini, perbuatan dan perilaku manusia yang berlandas pada syarat-syarat moral dianggap sebagai perilaku yang baik.
Namun, jika sebaliknya, maka akan dinyatakan sebagai perbuatan dan perilaku yang buruk.
Pagar makan tanaman tentulah suatu bentuk perilaku buruk, tidak etis sekaligus tidak bermoral dan karena itu harus dicegah.
Pasar gelap yang memperdagangkan keadilan itu harus ditutup permanen.
Kasus Sudrajad itu mungkin dapat dijadikan pintu masuk untuk melakukan pembersihan dan membongkar kemungkinan terlibatnya lebih banyak hakim dan panitera.
Di samping itu, proses rekrutmen, pengawasan oleh KY dan MA terhadap hakim, semestinya juga menyentuh sisi-sisi moral para hakim, bahkan sebelum jadi hakim.
Perkembangan kesadaran moral ini memerlukan pendidikan, keteladanan, bimbingan, arahan, dan kemudian tak memberi ampun saat hal tersebut dilanggar oleh mereka yang “mewakili” Tuhan di dunia.(saifudin@unsyiah.ac.id)
Baca juga: Forkopimda Bireuen Hadiri Seminar Hukum Terkait Keadilan Restoratif
Baca juga: Kejari Aceh Singkil Luncurkan Rumah Restorative Justice, Hapo Hukum Sime Keadilan