Oleh: Teuku Muttaqin Mansur*)
KAMIS (20 Oktober 2022), sejumlah media memberitakan bahwa tim Bareskrim Polri telah melaksanakan sosialisasi terkait dengan penerapan Restorative Justice (RJ) di Polda Aceh.
Sebelumnya, antara bulan Maret 2022 sampai dengan bulan September 2022 institusi kejaksaan juga gencar melakukan sosialisasi RJ, bahkan di sejumlah wilayah kejaksaan telah menginisiasi pembentukan kampung Restorative Justice.
Restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang bertujuan mencari solusi terhadap tindak pidana agar tercapai perdamaian dan pemulihan kembali para pihak seperti keadaan semula.
Terkesan, penyelesaian model RJ adalah barang baru kita.
Padahal, dalam konteks ke-Indonesiaan, penyelesaian sengketa dengan basis perdamaian sebenarnya telah dijalankan secara turun-temurun melalui peradilan adat, termasuk di Aceh.
Namun, terkadang penyelesaian melalui peradilan adat, seolah dianggap kurang ‘bertaring’ jika berhadapan dengan hukum formal.
Baca juga: Kejari Singkil Selesaikan Kasus Penggelapan Uang Ayam Potong dengan Pendekatan Keadilan Restoratif
Baca juga: Semua Desa di Aceh Singkil Miliki Rumah Keadilan Restoratif
Perkembangan RJ
Konsep RJ pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1970-an di Kanada untuk menyelesaikan kasus pelaku kriminal terhadap anak.
Sebelum dilaksanakan hukuman, pelaku dan korban dalam kasus tersebut diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukum yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan Hakim.
Kemudian, konsep ini berkembang cukup pesat, setidaknya, dalam 30 tahun terakhir telah mulai digunakan di beberapa Negara, seperti, Australia, Kanada, Inggris dan Wales, New Zealand, dan beberapa negara lainnya di Eropa, kawasan Pasifik, hingga di Indonesia.
Sesungguhnya, penerapan RJ adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa.
Sebelumnya, penyelesaian tindak pidana seolah-olah hanya dapat diselesaikan dengan mekanisme retributive justice berupa penghukuman tubuh-badan, pembalasan atau pemberian nestapa kepada pelanggar.
Belakangan, disadari bahwa konsep retributive justice justru dianggap akan menimbulkan dendam berkepanjangan dan menambah jumlah orang di penjara.
Padahal, sejumlah keluhan menunjukkan penjara telah menjadi ruang ‘sempit dan terbatas’ seiring dengan semakin bertambah jumlah pelaku tindak pidana.
Dalam konteks ini, penyelesaian melalui RJ memberikan alternatif, di mana para pihak menyelesaikan sendiri perkara mereka, tanpa adanya penghukuman atau penjara.
Dalam mekanisme RJ, penegak hukum menjadi fasilitator atau mediator.
Dengan harapan, seluruh tujuan hukum berupa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan dapat terpenuhi.
RJ di Indonesia
Penerapan RJ di Indonesia telah dimplementasikan oleh penegak hukum kita, kepolisian dalam program Presisinya, kejaksaan dengan Rumah Resoratifnya, dan peradilan dengan program mediasinya.
Pada tingkat kepolisian, RJ diatur melalui Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, dan secara khusus lagi diatur melalui Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Pada tingkat kejaksaan, RJ diatur dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Pedoman Kejaksaan Nomor 18 tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif.
Sedangkan pada tingkat peradilan, terdapat dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, namun secara teknis diatur melalui Surat Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di lingkungan Peradilan Umum.
Dengan adanya peraturan tersebut, maka Polri dapat melakukan penghentian penyidikan, kejaksaan dapat menghentikan penuntutan atau merehabilitasi penyalahguna narkotika.
Sementara, pada tingkat peradilan, hakim/pengadilan dapat menghentikan proses persidangan. Intinya, perkara pidana jika sudah di RJ, penyelesaiannya adalah win-win solution di luar ranah formal, yang biasa juga dikenal dengan istilah penyelesaian perkara secara nonlitigasi.
Menurut beberapa sumber, perkara yang sudah di RJ oleh penegak hukum cukup banyak.
Di kepolisian misalnya, sampai Juli 2022 sebanyak 15.811 kasus telah diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif.
Sementara pada tingkat kejaksaan, sampai Mei 2022 setidaknya 1.070 perkara dihentikan penuntutan, termasuk beberapa kasus di Aceh telah diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.
Baca juga: Jaksa Agung Kedepankan Keadilan Restoratif, Penyalahguna Narkoba Tak Lagi Dipenjara
Kriteria Perkara RJ
Pada tingkat kepolisian, perkara yang dapat di RJ-kan harus memenuhi persyaratan materil dan formil. Sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Kapolri Nomor 8/2021, persyaratan materil yang harus dipenuhi, meliputi:
Tidak menimbulkan keresahan dan atau penolakan dari masyarakat
Tidak berdampak konflik sosial
Tidak berpotensi memecah belah bangsa
Tidak bersifat radikalisme dan separatism
Dan bukan pelaku pengulangan (residivis) tindak pidana
Serta bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang.
Sedangkan persyaratan formil yang mesti dipenuhi diantaranya; sudah ada perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali kasus tindak pidana narkoba, adanya pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, kecuali untuk tindak pidana narkoba.
Selebihnya, diperlukan formalitas berupa surat kesepakatan perdamaian secara tertulis dari para pihak.
Sedangkan pada tingkat kejaksaan, persyaratan RJ diatur dalam Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Nomor 15/2020 yaitu:
a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000, (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Baca juga: Fungsikan Peradilan Adat untuk Cegah Duel Maut
RJ dan Peradilan Adat
Apabila kita kaitkan dengan penyelesaian sengketa melalui peradilan adat, konsep RJ bukan barang baru bagi kita.
Dalam masyarakat kita (Aceh), konsep “uleu beumatee ranteng bek patah” (ular harus mati, ranting pemukul tidak patah) adalah penyelesaian sengketa yang telah memperhatikan kepentingan kedua belah pihak.
Pelanggar tidak merasa telah dihukum, begitu pula korban, tidak merasa dikorbankan.
Kedua belah pihak berdamai dan menerima secara ikhlas putusan peradilan adat, bukan karena keterpaksaan.
Ini merupakan wujud dari pemulihan dan menjaga keharmonian masyarakat, yang ternyata juga terpatri dari maksud mekanisme penyelesaian tindak pidana melalui RJ.
Bagi saya, kesempatan penyelesaian sengketa (perdata dan tindak pidana) pertama sekali tetap didorong melalui peradilan adat.
Jika lolos, atau para pihak tidak puas di peradilan adat, maka dapat mengajukan ke aparat penegak hukum.
Dengan catatan, aparat penegak hukum menggunakan penyelesaian di peradilan adat sebagai dasar dalam RJ.
Namun demikian, untuk 18 jenis sengketa yang menjadi kewenangan peradilan adat,
(1) perselisihan dalam rumah tangga;
(2) sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraid;
(3) perselisihan antar warga;
(4) khalwat;
(5) perselisihan tentang hak milik;
(6) pencurian ringan dalam keluarga;
(7) perselisihan harta sehareukat;
(8) pencurian ringan;
(9) pencurian ternak peliharaan;
(10) persengketaan di laut;
(11) pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
(12) persengketaan di pasar;
(13) penganiayaan ringan;
(14) pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
(15) fitnah, hasutan dan pencemaran nama baik;
(16) pencemaran lingkungan (skala ringan);
(17) ancam mengancam; dan
(18) sengketa/perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat, seyogyanya tetap dikembalikan ke pihak adat sebagai langkah akhir penyelesaian.
Apabila jenis sengketa/tindak pidana itu tidak termasuk dalam 18 kewenangan peradilan adat, barulah aparat penegak hukum menyelesaikan dengan mekanisme RJ sesuai dengan tingkatnya masing-masing.(*)
*) PENULIS adalah Dosen/Peneliti Hukum Adat dan Direktur Geuthee Institute Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI