Opini

Kecerdasan Intelektual dan Emosional Berdampak Terhadap Kinerja Aceh

Dalam konteks inilah, diskusi tentang faktor-faktor penentu kinerja sumber daya manusia, khususnya kecerdasan intelektual (IQ)

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof Dr Apridar SE MSi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK) dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh. 

Kemampuan ini langsung berkontribusi pada kinerjanya, terutama dalam peran yang membutuhkan kolaborasi tim dan pelayanan pelanggan. Selain itu, kemampuan mengelola stres dan tetap sabar (sabar) dalam menghadapi tekanan kerja akan langsung meningkatkan kepuasan kerjanya secara internal. 

Sehingga orang tersebut akan merasa mampu mengendalikan lingkungannya. Nilai-nilai syariat seperti sabar, pemaaf (afw), dan lemah lembut (hilm) sangat selaras dengan komponen pengelolaan diri dalam kecerdasan emosional.

Namun, penelitian bijak tersebut juga memberikan peringatan, dimana motivasi tidak memediasi pengaruh EQ terhadap kepuasan dan kinerja. Artinya, kecerdasan emosional berdiri sendiri sebagai predictor yang kuat. 

Seseorang bisa merasa puas dan berkinerja baik karena kemampuannya membina hubungan yang harmonis, terlepas dari tingkat motivasi dasarnya. 

Ini memperkuat argumen bahwa investasi dalam pelatihan EQ yang dalam konteks Aceh dapat diintegrasikan dengan pelatihan akhlak dan adab berinteraksi sesuai Islam adalah langkah strategis untuk meningkatkan produktivitas secara keseluruhan.

Lantas, bagaimana implikasinya bagi pembangunan SDM Aceh?

Pertama, dunia pendidikan dan pelatihan di Aceh perlu meninggalkan paradigma yang hanya mengejar nilai akademik (IQ). Kurikulum harus diperkaya dengan pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual yang dikemas sesuai nilai Islam Aceh. 

Pembelajaran tentang adab, manajemen konflik, komunikasi efektif, dan ketahanan mental (tawakal) harus menjadi bagian integral.

Kedua, organisasi dan perusahaan di Aceh perlu menciptakan “Islamic Work Environment”. Kebijakan dan budaya organisasi harus dirancang untuk tidak hanya memacu target, tetapi juga membangun karakter. 

Sistem reward dan punishment dapat memasukkan unsur penilaian akhlak dan kontribusi sosial. Kepemimpinan yang melayani (khidmah) dan empatik, yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, harus menjadi model bagi para manajer.

Ketiga, individu Muslim Aceh harus menyadari bahwa pengamalan syariat Islam yang kaffah (menyeluruh) sesungguhnya adalah pelatihan terbaik untuk mengasah baik IQ maupun EQ. Ibadah shalat melatih disiplin dan manajemen waktu. 

Puasa melatih pengendalian diri dan empati. Zakat dan sedekah melatih kepedulian sosial. Semua ini adalah fondasi untuk menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga berkarakter kuat dan mampu berkontribusi maksimal dalam pekerjaannya.

Kesimpulannya, sinergi antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan motivasi yang dijiwai oleh nilai-nilai Syariat Islam adalah resep unggulan untuk membangun kinerja karyawan Aceh yang produktif, berintegritas, dan bermartabat. Temuan penelitian dari Riau tersebut menjadi cermin bahwa kesuksesan itu multidimensi. 

Aceh, dengan kekayaan nilai-nilai Islamnya, memiliki potensi besar untuk tidak hanya mengejar ketertinggalan secara ekonomi, tetapi juga menjadi contoh bagaimana etika kerja Islami dapat menjadi “engine of growth”  yang berkelanjutan dan berkeadilan. 

IQ dan EQ adalah tools-nya, sedangkan Syariat Islam adalah jiwa yang mengarahkan dan memuliakan penggunaannya. Semoga Aceh mampu membangun sumberdaya manusia yang unggul dengan karakter yang mumpuni, amin!

 

 

 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved