Opini

Tiram, Mutiara Ekonomi Biru Aceh  

Aceh memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh banyak daerah lain di Indonesia: perairan yang masih bersih dan minim polusi industri

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. 

Laboratorium dan Pusat Pembibitan Tiram.

Cerita dimulai dari air laut jernih yang dipompa, lalu disaring dan disterilkan dengan ketat sebelum masuk ke ruang hatchery. Di sanalah, para induk tiram unggul ditempatkan dalam tanki khusus. Suhu dan makanannya diatur sedemikian rupa sehingga mereka termotivasi untuk memijah.

Telur-telur kecil yang telah dibuahi kemudian dipindahkan dengan penuh kehati-hatian ke tanki pemeliharaan larva. Selama beberapa minggu, para teknisi laboratorium yang terlatih dengan cermat mengawasi mereka, memberikan pakan alami berupa mikroalga yang juga dibudidayakan di tempat yang sama.

Larva-larva itu bertransformasi menjadi benih tiram atau spat yang menempel pada kolektor. Benih-benih ini kemudian dipindahkan ke tanki pendederan hingga cukup kuat untuk didistribusikan.

Seluruh proses ini didukung oleh generator yang senantiasa berdengung, siap menyala jika listrik padam. Para peneliti dari lembaga penelitian setempat datang secara berkala, memantau kualitas air dan kesehatan benih, memastikan semuanya berjalan sesuai standar.

Laboratorium yang dirancang bukan hanya bangunan. Ia adalah simbol harapan. Dari sini, bibit-bibit tiram berkualitas akan disalurkan kepada para nelayan di sepanjang pesisir Aceh. Tujuannya jelas: memutus ketergantungan pada bibit luar, menciptakan lapangan kerja baru, dan menjadikan Aceh sebagai pusat tiram terkemuka yang mandiri dan berdaulat.

Sinergi Syariat dan Sains: Strategi Menuju Pusat Budidaya

Lalu, bagaimana Aceh dapat bangkit? Kunci utamanya terletak pada sinergi antara nilai-nilai syariat Islam dengan pendekatan sains dan teknologi modern.

Pertama, Pendekatan Ekosistem Syar'i. Pemerintah Daerah, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan yang berperspektif syariah, dapat memelopori program budidaya terintegrasi. Ini bukan hanya soal memberikan bantuan infrastruktur seperti rumah produksi, tetapi membangun ekosistem usaha yang sesuai syariah.

Pembiayaan dapat difasilitasi melalui Lembaga Keuangan Syariah Baitul Mal wat Tamwil (BMT) atau Bank Syariah dengan skema bagi hasil (mudharabah atau musyarakah), yang melindungi nelayan dari jeratan riba. Skema ini menjadikan nelayan sebagai mitra, bukan sekadar debitor.

Kedua, Penguatan SDM Berbasis Pesantren dan Dayah. Dayah-dayah dan perguruan tinggi Islam di Aceh dapat menjadi pusat penyuluhan dan pelatihan. Materinya tidak hanya teknik budidaya modern dan pengolahan produk (nugget, kerupuk, saus tiram), tetapi juga dikaitkan dengan nilai-nilai syariah: pentingnya menjaga kebersihan (an-nazhafah min al-iman), etos kerja (amal shalih), kejujuran dalam berusaha (shiddiq), dan manajemen keuangan halal.

Dengan demikian, lahir bukan hanya nelayan yang terampil, tetapi juga entrepreneur muslim yang tangguh.

Ketiga, Restorasi Mangrove sebagai Ibadah. Program restorasi hutan mangrove harus digalakkan bukan hanya sebagai proyek lingkungan, tetapi sebagai bagian dari ibadah untuk menjaga keseimbangan alam (mizan). Hutan mangrove adalah tempat berkembang biak tiram alami. Menjaganya adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) untuk keberlangsungan ekonomi umat.
Keempat, Branding "Halal, Tayyib, and Acehnic".

Pemerintah harus aktif mem-branding tiram Aceh dengan label uniknya: produk dari daerah syariah yang terjamin kehalalan dan kebersihannya. Pameran-pameran di negara-negara OKI (Organisasi Kerjasama Islam) harus menjadi target utama. Bea Cukai Aceh, yang sudah memberikan asistensi, dapat difungsikan secara maksimal untuk memastikan standar ekspor yang ketat dan cepat.

Mewujudkan Khairu Ummah melalui Kekuatan Laut

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved