Pojok Humam Hamid

MSAKA21: Indrapuri, Candi yang Menjadi Masjid - Bagian IX

Batu-batu tua Indrapuri adalah kitab terbuka yang, jika kita mau membaca, akan menceritakan kisah konversi kosmos, dari animisme, ke Hindu

|
Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Ahmad Humam Hamid*)

SEJARAH bukanlah sekadar rentetan tanggal atau silsilah raja. Ia adalah lapisan, seperti tanah yang menyimpan arang pembakaran, tulang belulang, serpihan gerabah, dan akhirnya beton modern. 

Indrapuri, di Aceh Besar-lintaaan Banda Aceh Medan hari ini, adalah salah satu lapisan paling dramatis dari sejarah panjang Aceh. 

Sebuah candi Hindu yang kemudian diubah menjadi masjid, berdiri hingga hari ini sebagai bukti keras bahwa peradaban tidak pernah berdiri di ruang kosong. 

Batu-batu tua Indrapuri adalah kitab terbuka yang, jika kita mau membaca, akan menceritakan kisah konversi kosmos, dari animisme, ke Hindu, lalu ke Islam--tanpa pernah benar-benar menghapus yang lama.

Nama Indrapuri sendiri sudah menjadi semacam deklarasi. 

“Indra” adalah dewa hujan, perang, dan surga dalam mitologi Hindu, sedangkan “puri” berarti kota atau istana. 

Jadi Indrapuri berarti “kota Indra,” sebuah pusat kekuasaan sakral yang mengikat politik dengan kosmologi. 

Letaknya di sepanjang lembah Krueng Aceh, sungai yang mengalir deras dari pegunungan Seulawah Agam ke Samudra Hindia. 

Sungai bukan sekadar air, melainkan jalur niaga, garis hidup pertanian, sekaligus lambang kesuburan. 

Baca juga: MSAKA21: Aceh - Roh yang Tak Pernah Mati dan Animisme Ribuan Tahun - Bagian VII

Diubah Menjadi Masjid

Tidak ada yang kebetulan, karena menempatkan pusat spiritual di Indrapuri berarti menanam simbol Indra di jantung kosmos Aceh.

Bukti arkeologis menunjukkan bahwa Indrapuri dulunya adalah candi Hindu. 

Fondasi batu yang kini menjadi dasar Masjid Indrapuri adalah bagian dari struktur candi, kemungkinan dipersembahkan kepada Indra atau Wisnu. 

Namun yang paling penting bukanlah apakah ia candi Indra atau Wisnu, melainkan bahwa ia adalah tempat di mana kosmos Hindu pernah dipanggil dan dirayakan di Aceh.

Abad ke-13 menjadi titik balik. Islam masuk ke Aceh melalui Samudra Pasai, kemudian bergerak ke wilayah Aceh Besar. 

Candi Indrapuri tidak dihancurkan sepenuhnya. Ia dialihfungsikan, diislamkan, diubah menjadi masjid. 

Batu-batu lama tetap dipertahankan, dinding-dinding batu yang membentuk persegi panjang dijadikan alas masjid.

Inilah yang membuat Indrapuri istimewa.

Ia adalah arsitektur konversi. 

Di tempat lain, kuil-kuil Hindu dihancurkan untuk mendirikan masjid baru, atau gereja dirubuhkan untuk membangun masjid. 

Tetapi di Indrapuri, tidak ada tabula rasa. 

Yang ada adalah semacam kompromi sejarah, yang lama dipakai ulang untuk menopang yang baru.

Hari ini, jika kita berdiri di halaman Masjid Indrapuri, kita masih bisa melihat jejak candi itu. 

Ia bukan lagi tempat persembahan untuk Indra, tetapi untuk Allah. SWT.

Namun dalam batu-batu itu, jejak Hindu tidak sepenuhnya hilang. Ia menjadi lapisan sunyi yang menopang lapisan baru.

Dalam kacamata hari ini, Indrapuri bukan hanya situs keagamaan, tetapi juga arena politik. 

Tradisi lisan menyebutkan bahwa beberapa sultan Aceh dilantik di masjid ini. 

Artinya, fungsi candi sebagai pusat legitimasi politik tidak lenyap, hanya berubah dari Hindu ke Islam.

Di tangan raja Hindu, Indrapuri adalah kota Indra, sumber legitimasi kosmik. 

Di tangan sultan Islam, Indrapuri adalah masjid, sumber legitimasi syariat. 

Simbol boleh berganti, tetapi politik tetap sama, kekuasaan butuh tempat sakral. 

Indrapuri adalah panggung yang sama, hanya naskah kosmos yang diubah.

Fenomena seperti Indrapuri bukanlah unik. Dalam sejarah dunia, transformasi ruang suci sering terjadi ketika sebuah agama baru menggantikan yang lama. 

Dalam skala yang “masif” Hagia Sophia di Istanbul adalah contoh paling terkenal. 

Ia berobah dari basilika Kristen Bizantium menjadi masjid Utsmani, dan hari ini kembali menjadi masjid setelah sempat menjadi museum. 

Seperti Indrapuri, Hagia Sophia tidak dihancurkan. Ia diadaptasi, dilapisi simbol baru di atas lapisan lama.

Di India, pengalaman lain justru lebih keras. 

Ketika Kesultanan Delhi berdiri pada abad ke-12, mereka membangun Masjid Quwwat-ul-Islam di Delhi dengan menggunakan batu-batu kuil Hindu dan Jain yang dihancurkan. 

Pilar-pilar kuil dipakai kembali, tetapi dengan penghapusan ikon-ikon dewa. Di sini, lapisan lama dipertahankan hanya sebagai bahan baku, bukan sebagai fondasi simbolik.

Indrapuri, jika dibandingkan, lebih mirip Hagia Sophia daripada Quwwat-ul-Islam. Ia adalah pengambilalihan simbolik yang damai, bukan penghancuran, tetapi penyesuaian. 

Seolah Islam di Aceh ingin mengatakan, kami tidak akan menghapus yang lama, tetapi kami akan menempatkan Allah di atas fondasi Indra.

Di Jawa, kita juga mengenal fenomena sinkretisme. Masjid-masjid awal di Demak atau Banten sering kali dibangun dengan gaya arsitektur yang masih sangat dekat dengan tradisi Hindu–Buddha:.

Mesid dubangun dengan atap tumpang tiga, tiang saka guru, ornamen yang lebih mirip pura daripada masjid Timur Tengah. 

Namun di Jawa, kita jarang menemukan candi Hindu yang langsung diubah menjadi masjid. Yang ada adalah adaptasi gaya, bukan alih fungsi.

Aceh berbeda. Di Indrapuri, transformasi itu literal, candi menjadi masjid. 

Perubahan itu fisik, bukan sekadar gaya. Karena itu, Indrapuri jauh lebih kuat sebagai bukti peralihan kosmos.

Sebelum Hindu, Aceh sudah hidup dalam animisme dan dinamisme. 

Gunung dianggap sakral, batu dipercaya memiliki roh, sungai menjadi tempat bersemayam makhluk halus. 

Hindu datang, memberi sistem mitologi yang lebih kompleks. 

Indra, Wisnu, kosmos gunung Meru, lingga-yoni.

Islam kemudian masuk, membawa Allah SWT sebagai Tuhan Tunggal, nabi-nabi sebagai teladan, syariat sebagai aturan hidup.

Namun dalam praktik sehari-hari, animisme dan Hindu tidak benar-benar hilang. 

Bahkan hingga kini, di Aceh kita masih menemukan praktik yang berbau pra-Islam, doa tak terhingga di kuburan, ritual tolak bala, dan keyakinan terhadap tempat keramat. 

Indrapuri adalah simbol batu dari kenyataan sosial itu. Islam berdiri di atas Hindu, yang berdiri di atas animisme. 

Tidak ada yang benar-benar hilang, semuanya bertumpuk.

Mengapa Indrapuri  sangat penting untuk hari ini dan masa depan? 

Karena ia menunjukkan bahwa Aceh tidak lahir sebagai Islam yang murni, melainkan melalui proses panjang. 

Aceh adalah animisme yang diislamkan melalui Hindu. Batu-batu Indrapuri adalah saksi dari proses itu.

 

Pelajaran Penting

Bagi identitas Aceh hari ini, Indrapuri bisa dibaca sebagai pengingat bahwa klaim “Islam murni” sering kali adalah ilusi. 

Islam Aceh tidak murni, ia bercampur dengan Hindu, animisme, dan tradisi lokal. Dan itu bukan kelemahan, melainkan kekayaan.

Ada tiga pelajaran besar dari Indrapuri

Pertama, peradaban tidak pernah tunggal. Ia selalu bertumpuk, lapis demi lapis, dan yang lama tidak pernah benar-benar hilang. 

Kedua, perubahan agama bukan selalu berarti penghancuran. Bisa jadi ia adalah negosiasi simbolik, seperti Indrapuri

Ketiga, politik selalu membutuhkan panggung sakral. Dari Indra ke Allah, dari candi ke masjid, panggung tetap sama, yakni legitimasi kuasa.

Indrapuri adalah batu-batu yang bicara. 

Ia adalah kitab arsitektur tentang peradaban Aceh. 

Ia lebih dari sekadar masjid tua. 

Ia adalah metafora tentang bagaimana peradaban dibangun, bukan dengan penghapusan, tetapi dengan penumpukan.

Seperti Hagia Sophia di Istanbul, Indrapuri adalah simbol bahwa agama-agama tidak berdiri dalam ruang kosong, melainkan selalu mengambil alih ruang lama. 

Bedanya, di Aceh, pengambilalihan itu terasa lebih damai, dan lebih reseptif

Dan di situlah pentingnya Indrapuri

Ia mengingatkan kita bahwa Islam Aceh, betapapun kerasnya ia ingin disebut “murni,” sejatinya berdiri di atas fondasi Indra, di atas kosmos Hindu, di atas roh-roh animisme. 

Batu-batu tua itu tidak bisa dibohongi, sejarah Aceh adalah sejarah lapisan, dan Indrapuri adalah saksinya.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved