Opini

Dunia Pendidikan: Antara Disiplin, Kekerasan dan Kekuasaan

Tidak berhenti disitu, Gubernur Banten juga menonaktifkan sang Kepsek dari jabatannya sebagai konsekuensi dari tindakan kekerasan terhadap

Editor: Ansari Hasyim
Thumbnail Serambi On TV
Muhammad Yasar, dosen Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Ketua Majelis Pengurus Wilayah Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (MPW Pemuda ICMI) Aceh. 

Sebagai sanksinya dalam Pasal 437 ayat (2) menyebut bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan kawasan tanpa rokok dapat dikenai pidana denda paling banyak Rp 50 juta.

Di Aceh Selatan, sang guru tidak melakukan kekerasan fisik. Ia hanya menyita ponsel siswa yang membawa alat komunikasi ke lingkungan pesantren, yang notabenenya memiliki peraturan ketat tentang penggunaan gawai.

Namun, alih-alih mendapat dukungan atas langkah mendisiplinkan siswa, guru tersebut justru diberhentikan secara sepihak. Hal ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan dan pengaruh politik bisa membelokkan prinsip-prinsip dasar pendidikan.

Secara ideal, orang tua adalah mitra utama guru dalam mendidik anak. Tri pusat pendidikan, yakni rumah, sekolah, dan lingkungan adalah pilar yang harus bersinergi. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit orang tua yang justru menjadi penghambat proses pendidikan.

Mereka lebih sering membela anaknya secara membabi buta daripada introspeksi dan berkomunikasi dengan bijak kepada pihak sekolah.

Tindakan orang tua yang langsung membawa persoalan ke ranah hukum atau menggunakan pengaruh jabatan untuk membungkam guru menunjukkan ketidakdewasaan dalam memahami peran mereka sebagai bagian dari sistem pendidikan.

Dalam jangka panjang, sikap semacam ini akan menciptakan generasi yang anti-kritik, mudah merasa sebagai korban (cemen), dan tidak siap menghadapi kenyataan hidup yang penuh disiplin dan konsekuensi.

Guru yang Dilemahkan

Situasi ini tentu membuat guru berada di posisi yang semakin sulit. Mereka dituntut untuk mendidik dan membentuk karakter anak bangsa, namun hak mereka untuk menegakkan disiplin kian dipersempit. Setiap tindakan bisa direkam, disalahartikan, dan diseret ke ranah hukum atau media sosial.

Akibatnya, banyak guru yang akhirnya memilih untuk “main aman”, tidak tegas, tidak berani menindak, dan membiarkan pelanggaran terjadi demi menghindari risiko personal dan profesional.
Padahal, tanpa ketegasan dan disiplin, proses pendidikan tidak akan pernah berjalan dengan maksimal.

Di masa lalu, banyak dari kita yang mungkin pernah dimarahi guru, dihukum berdiri, atau bahkan dicubit dan ditempeleng.  Ketika mengadu kepada orang tua, alih-alih mendapat pembelaan justru mendapatkan ganjaran yang lebih berat.

Tapi dari situlah kita belajar tanggung jawab, belajar bahwa setiap tindakan ada konsekuensinya. Apakah semua metode itu ideal? Tentu tidak. Tapi nilai moral yang dibangun di dalamnya adalah fondasi pembentukan karakter.

Perlu ada langkah serius dari pemerintah dan lembaga pendidikan dalam menyikapi fenomena ini. Pertama, negara harus melindungi guru sebagai pendidik profesional. Jangan sampai guru selalu jadi pihak yang dikorbankan untuk meredam amarah publik atau tekanan politik.

Setiap laporan harus ditangani dengan mekanisme yang adil, objektif, dan berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan. Kedua, perlu dilakukan edukasi dan literasi kepada orang tua mengenai peran mereka dalam pendidikan.

Sekolah tidak hanya mengajar matematika, sains dan bahasa, tapi juga membentuk karakter dan moral. Itu membutuhkan kerja sama yang erat, bukan sikap konfrontatif yang merusak.

Dan ketiga, setiap sekolah atau pesantren harus memperjelas tata tertib dan konsekuensinya kepada seluruh pihak, baik siswa maupun orang tua. Ini penting untuk menghindari kesalahpahaman dan konflik yang seharusnya bisa dicegah.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved